Cerpen
Pohon Bersenandung

Pohon Bersenandung

RUKAYAH terjaga dari tidur. Ini malam keempat ia mendengar suara perempuan bersenandung dari arah pohon sawo di depan rumah. Ia turun dari ranjang, lalu berjalan berjingkat mendekati jendela kamar. Ia menyingkap sedikit tirai jendela dan megintip ke luar. Malam gulita dan ia tak melihat satu sosok pun di sekitar pohon tinggi dan rindang itu. Suara senandung itu pun tiada terdengar lagi.

Rukayah menutup tirai jendela dan memandang tempat tidur. Ada Haris yang tertidur pulas. Suaminya itu tak akan mendengar apa-apa saat tidur. Ada bom meledak pun lelaki itu akan tetap pulas. Ada gumpalan kapas di kedua lubang telinga Haris.

Dulu, rumah Haris di tepi jalan provinsi. Bising sepanjang waktu oleh suara knalpot dan klakson beragam kendaraan. Untuk bisa tidur, Haris –saat itu masih calon suami Rukayah—menyumpal kedua lubang telinganya dengan bulatan kapas. Kebiasaan itu terbawa sampai sekarang –setelah jadi suami Rukayah.

Rukayah duduk di tepi ranjang. Dalam remang lampu tempel 5 watt, ia melirik jam di dinding kamar. Pukul 23.45. Dada Rukayah berdebaran. Menunggu dan menghitung dalam hati.

Satu, dua,….Buk! Suara itu terdengar lagi seperti tiga malam sebelumnya. Seperti suara sesuatu jatuh dari pohon, lalu suara perempuan itu terdengar lagi. Suara perempuan bersenandung –entah lagu apa—yang kian menjauh lalu hilang ditelan suara derik jangkerik.

Rukayah melompat ke ranjang, bersembunyi di balik selimut. Rukayah memeluk Haris erat-erat –seperti tiga malam sebelumnya. Suara dengkur Haris yang tepat di telinga Rukayah, mampu mengurangi rasa takut perempuan muda itu.

***

Enam bulan yang lalu, tabungan Haris cukup untuk membangun rumah sendiri. Mereka membangun rumah kayu di tanah di pojok kampung –itu tanah jatah warisan untuk Rukayah. Di tanah itu ada satu pohon sawo dan ayah mengizinkan Rukayah untuk menebang pohon itu bila merasa terganggu.

Rukayah bilang pada Haris tentang rencana menebang pohon sawo yang mulai berbuah dan beberapa buahnya telah matang itu. Pohon itu mengganggu pemandangan karena berada beberapa meter di depan pintu rumah. Bila mereka menebang pohon itu, mereka bisa memanfaatkan kayunya sebagai meja, kursi dan perabot lain, atau untuk persediaan kayu bakar selama beberapa bulan.

“Silakan saja, kalau ada yang mau,” kata Haris, sebelum berangkat kerja.

Rukayah menghubungi Kang Jamin, meminta lelaki setengah baya itu untuk menebang pohon sawo berusia puluhan tahun itu. Kang Jamin menggeleng dengan wajah menyimpan takut.

“Ada penunggunya,” kata Kang Jamin.

“Tolong Kang Jamin carikan orang yang mau,” kata Rukayah.

Kang Jamin menghubungi beberapa temannya melalui ponsel. Kang Jamin mengangkat bahu. Rukayah nyaris menyerah, tetapi ia mendesak Kang Jamin.

“Tolonglah aku, Kang. Sekali ini saja, ya?”

Kang Jamin berpikir beberapa saat, lalu berkata, “Baiklah. Dua juta, bagaimana?”

Kali ini Rukayah yang mengangkat bahu. Kang Jamin meminta ongkos tebang terlalu tinggi. Mungkin memang segitu ongkos untuk menebang pohon berbatang besar dan setinggi itu. Tetapi, dua juta! Lebih baik Rukayah mencari cara lain saja.

Ketika hendak pulang, Rukayah melihat dua anak kecil berseragam putih merah berlarian dan tertawa.

“Apa?” tanya Rukayah.

“Ada orang gila, Mbak Rukayah,” kata Annisa.

“Rambutnya panjang dan menggumpal,” sahut Murni.

“Kalian menggodanya?” tanya Rukayah.

Dua anak kecil itu mengangguk bersamaan, lalu pergi membawa sisa tawa mereka. Rukayah kembali melangkah. Di perjalanan Rukayah berpapasan dengan seorang perempuan memakai daster kumal, berkulit tubuh kotor dan berambut panjang menggumpal.

Perempuan kumal itu berhenti di seberang jalan dan menatap Rukayah beberapa saat, lalu menyodorkan tangannya yang menggenggam buah sawo, menyeringai dan berkata, “Enak…enak….” Hanya itu. Perempuan kumal itu kemudian pergi sambil bersenandung, entah lagu apa.

Rukayah tertegun. Senandung itu, terdengar begitu akrab di telinga Rukayah.

***

Bakda salat asar Rukayah duduk di teras, menunggu tukang bakso lewat. Sekira tujuh bulan ini Rukayah gemar sekali makan daging. Kata orang, kalau perempuan gemar makan daging saat mengandung, maka kelak akan melahirkan bayi laki-laki. Rukayah tersenyum dan mengelus perutnya yang membuncit di balik daster batik hijau pupus.

Suara klakson dua kali. Kendaraan yang akan melintasi tikungan di depan rumah Rukayah, memang selalu membunyikan klakson. Rukayah melihat sebuah mobil Satpol PP bergerak dari arah timur. Mobil bak terbuka bercat coklat itu melambat ketika akan menikung.

Rukayah melihat jelas, di bak mobil itu duduk beberapa orang Pamong Praja berseragam coklat menghadap ke selatan. Dua orang lagi duduk menghadap ke utara –ke arah rumah Rukayah.

Dua Pamong Praja yang menghadap utara itu duduk mengapit seorang perempuan berdaster kumal dan berambut panjang menggumpal. Perempuan kumal itu menyeringai pada Rukayah.

Dada Rukayah berdebaran. Rukayah yakin, ia mendengar perempuan kumal itu bersenandung, entah lagu apa, sebelum mobil yang membawanya menghilang di tikungan jalan.

***

Usai salat subuh, minum segelas kopi susu dan mengenakan jaket kulit hitam, Haris berkata pada Rukayah, “Ada temanku yang berani menebang pohon sawo kita. Mungkin nanti siang atau lusa dia akan ke sini, melihat-lihat pohon itu. Kalau dia datang, kau panggillah ayah untuk membantu menawar ongkos tebang yang cocok.”

“Tapi, Mas….”

“Aku harus mengabulkan permintaan isteri yang sedang hamil, bukan?”

“Aku berubah pikiran, Mas.”

Haris mengernyitkan dahi. Duduk di kursi ruang tamu.

“Maksud kamu?”

“Biarkan pohon sawo itu tetap tumbuh, Mas. Kalau pohon itu menghalangi pintu rumah, kita ubah saja posisi pintu rumah kita.”

“Kamu nggak takut? Mungkin saja pohon itu ada penunggunya?” tanya Haris.

“Penunggunya sudah pergi kok, Mas.”

“Pergi?”

“Mmm, bercanda, Mas. Semua pohon pasti ada penunggunya to, Mas? Burung, kelelawar, bunglon, semut….”

“Syukurlah kalau begitu. Aku pun merasa sayang kalau kita menebang pohon itu. Aku bayangkan kelak kita menggelar tikar di bawah pohon itu. Bersama anak-anak, kita makan sawo bersama. Ya, sebaiknya kita ubah saja posisi pintu rumah kita,” kata Haris, lalu mengeluarkan motor bebek dari ruang tamu, siap berangkat menunaikan tugas sebagai sopir bus antar desa.

Di teras, Rukayah melambaikan tangan sampai motor suaminya menghilang di tikungan jalan. Langit timur mulai bersinar keemasan.

Rukayah duduk di kursi teras. Mengusap-usap perutnya dan tersenyum. Rukayah memandang pohon sawo tinggi dan rimbun di depannya. Beberapa saat kemudian bibir bersenandung.

Ia diam beberapa jenak, kemudian bersenandung lagi. Rukayah terus bersenandung, berulang-ulang, entah lagu apa.[]

 


Penulis

Sulistiyo Suparno, kelahiran Batang, 9 Mei 1974. Gemar menulis cerpen sejak SMA. Cerpen-cerpennya tersiar di berbagai media cetak dan daring. Sehari-hari bersama istri jualan bakso. Bermukim di Limpung, Batang, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *