Resensi Buku
Yang Membahasakan Penyakit

Yang Membahasakan Penyakit

Judul buku  : Penyakit Sebagai Metafora
Penulis        : Susan Sontag
Penerbit      : Basabasi
Cetakan      : Pertama, Februari 2021
Tebal           : iv + 103 halaman
ISBN            : 978-623-305-179-8

Siapa dari kita yang tak berpenyakit? Tiap-tiap manusia niscaya sempat menyandang penyakit, entah sudah lolos menjalaninya atau sedang berada dalam bayang-bayang penyakit tertentu. Kita memang tak bisa menebak penyakit apa yang bakal mendera jiwa raga. Penyakit mengintai setiap waktu. Seperti virus corona yang jadi pandemi global kali ini, umpamanya.

Manusia mengungkapkan penyakit dalam beragam hal. Demi urusan politik, sosial-kultural, ekonomi, dan lain-lain. Fenomena kebahasaan inilah yang jadi topik utama buku Penyakit sebagai Metafora garapan Susan Sontag.

Objek bahasan Susan Sontag bukan penyakit secara fisik, melainkan penggunaan penyakit sebagai kiasan atau metafora. Pemakaian metafora penyakit rupanya terjalin dalam sejarah yang panjang. Beberapa penyakit tak luput dan terus langgeng, dari masa ke masa.

Susan Sontag memungut-mendedah pemakaian ungkapan ini dalam beragam sudut, dengan menukil gagasan ahli medis, politikus, psikiater, filsuf, maupun sastrawan. Buku ini menarik kita dengan pengandaian-penafsiran atas penyakit di masa lampau. Kita pun diajak memikirkan penyakit mengacu sekian metafora.

Di sekitar kita, keberadaan penyakit nyata adanya. Semua bisa bermula gegara sanitasi lingkungan yang buruk, asupan tak sehat, bakteri, virus, kegagalan fungsi organ, atau warisan turunan. Kedatangan penyakit lantas mengundang duka, derita lahir-batin, rasa prihatin, kehebohan, sesekali juga ejekan dan sinisme.

Kita memandang penyakit sebagai jeda, azab, atau hidayah. Tentu saja, dengan berbagai pemaknaan bertaut tradisi dan kepercayaan. Adanya penyakit sebagai musuh atau bahaya bersama, tapi malah digunakan sebagai metafora, memang kasus unik dan perlu digarisbawahi.

Susan Sontag mendaratkan dua penyakit besar-penting dalam sejarah manusia sebagai pokok bahasan: kanker dan TBC (tuberkulosis). Kedua penyakit ini memiliki dua perbedaan mendasar, tapi juga memiliki distingsi dalam persemaian metafora. Pemakaian metafora penyakit saling-silang dan tumpang tindih. Selain itu, jurnalis dan pemikir kondang asal Amerika ini, tak lupa menyinggung beberapa penyakit yang juga sempat digunakan sebagai metafora, seperti kolera dan sifilis.

Dulu, penyakit dianggap misterius, sampai mengguncang stabilitas penduduk dan hanya dimiliki kelas bawah yang hidupnya compang-camping, bukan milik kelas bangsawan atau ningrat yang mapan. Susan Sontag menjelaskan, “Tuberkulosis kerap dibayangkan sebagai penyakit kemiskinan dan kekurangan pakaian tipis, tubuh kurus kerempeng, ruangan yang tak dilengkapi pemanas, kebersihan yang buruk, makanan yang tidak memadai.” (hlm. 16) Stereotip atas penyakit melekat dengan pembedaan kelas atau stratifikasi sosial.

Pencapaian sains di masa itu, yang masih terbatas tinimbang sekarang, membuat datangnya penyakit jadi gempar. Belum lagi ditambah kepercayaan tradisional, membikin penyakit berbau mistis. Penyakit mencandrakan sesuatu yang abstrak dan gaib. Datangnya penyakit lantas membawa rasa cemas, ragu, takut, dan kalut. Tata hidup pun berubah dan bubrah.

Sementara itu, penyakit diungkapkan tak hanya untuk mendefinisikan sesuatu yang mengkhawatirkan bahkan mengancam kosmologi global, tapi juga untuk mengejek berdasar ras yang dianggap rendahan–hingga perlu dienyahkan. Bangsa Yahudi adalah contoh kecilnya. Kita sadar, kaum Nazi yang dipimpin Sang Fuhrer, Adolf Hitler, merasa mantap bahwa umat Yahudi mesti sirna dari muka bumi. Di sini, ada ambisi dan superioritas yang merasa dimiliki sepenuhnya kaum Nazi, dibanding kaum Yahudi, yang dipandang terbelakang dan inferior.

Pihak Nazi menyatakan bahwa seseorang yang berasal dari campuran “rasial” bagaikan sifilis. Orang-orang Yahudi Eropa lantas dianalogikan dengan sifilis, dan kanker yang mesti disingkirkan. Metafora penyakit adalah pokok polemik Bolshevik, dan Trotsky, ahli polemik dari golongan Komunis yang paling berbakat, sangat banyak menggunakannya¾terutama setelah di diusir dari Soviet pada 1929. Stalinisme disebut-sebut kolera, sifilis, kanker. (hlm. 90)

Dalam ranah politik, penyakit bisa jadi alegori. Jagat politik dengan segenap realitas persaingan pengaruh dan kuasa mungkin butuh penyakit sebagai metafora, agar pidato-pidato tak sepi dan garing. Bila mendengarnya, publik bisa heran dan terpana.

Metafora penyakit juga merepresentasikan nada gawat dan darurat. Susan Sontag bersepekulasi, bahwa metafora kanker tampaknya sulit ditolak bagi mereka yang ingin mengumbar amarah. Metafora kanker ini sangatlah kasar. Itu selalu merupakan dorongan untuk menyederhanakan apa yang kompleks dan ajakan untuk membenarkan diri sendiri, jika bukan ajakan untuk mengusung fanatisme. (hlm. 93)

Senada dengan penyataan Susan Sontag, Siddhartha Mukherjee dalam buku Kanker: Biografi Suatu Penyakit (2020) menulis, “kanker adalah sesuatu yang melahap segala aspek kehidupan kita. Kanker menguasai imajinasi, kenangan kita, menyusup ke dalam setiap percakapan dan pemikiran” Metafora penyakit membuat imajinasi melesat. Metafora berpangkal penyakit pun membikin pembaca maupun pendengar, mengira-ngira hingga menafsirkan sendiri, sebetapa serius dan fundamental masalahnya.

Kita bisa menjumpai perumpaan ini dalam teks-teks bahasa Indonesia. Dalam buku Firman Lubis berjudul Jakarta 1960-an: Kenangan Semasa Mahasiswa (2008), kita akan menjumpai perumpaan itu. Buku ini membentangan laku dan perspektif Firman Lubis semasa mahasiswa di Jakarta.

Pengisahan: “… Jakarta yang tumbuh amat pesat seperti penyakit kanker.” Dalam konteks ini, kota Jakarta yang bergegas menjuju arah metropolitan, digambarkan sama dengan kanker. Deru pembangunan dan proyek-proyek gigantis tak bisa dielakkan. Perubahan-pergeseran turut menyertai dan malah makin menjadi-jadi. Kita bisa menebak penggunaan metafora itu terbentuk oleh latar belakang Firman Lubis yang, mengenyam pendidikan dokter medis dan guru besar FK UI.

Buku kecil persembahasan Susan Sontag ini mendaratkan bahwa produksi metafora bukan tanpa sebab musabab. Ada latar belakang kekhawatiran dan pertautan yang erat, sangat erat. Yang namanya penyakit tampaknya bakal tetap dipakai sebagai metafora. Kita pun bisa menduga virus korona adalah tema penting dan ungkapan unik-lucu dalam perbincangan masa kini dan nanti. []


Penulis:

Adib Baroya Al Fahmi, Mahasiswa UIN Raden Mas Said Solo. Lahir di Blora, pada tanggal 12 September 2000. Selama kuliah bermukim Pondok Pesantren Mahasiswa (PPM) Darussalam Putra Gerjen RT 01/03 Pucangan, Kartasura, Sukoharjo. Akun Instagram @baroya_adib Facebook Adib Baroya. Nomor rekening BRI 3402-01-032382-53-0 atas nama Adib Baroya Al Fahmi. 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *