Cerpen
Dua Perawan Tua

Dua Perawan Tua

Ada dua perawan tua yang bertetangga di sebuah perumahan. Rumah mereka bersebelahan, tetapi jiwa mereka berlawanan dan pikiran mereka berseberangan.

Perawan tua yang pertama berumur empat puluh lima tahun. Dia perawan tua yang masih perawan. Dia perawan tua yang beranjak tua. Bukan hanya soal umur, tetapi juga fisik yang tampaknya melebihi  tua usianya.  Setiap hari ia suka marah-marah dan membicarakan orang dengan bibir miring ke kiri. Mungkin bibirnya tak sanggup lagi menyeimbangkan diri, antara kebenaran dan kebohongan yang  keluar dari mulutnya, antara keinginan bicara yang sungguh tinggi dan kemampuannya untuk bicara, antara banyaknya tuduhan yang ia lontarkan dan kesanggupannya menanggung akibat dari fitnah-fitnah.

Perawan tua yang kedua berumur tiga puluh dua tahun. Ia masih belum merasa tua meskipun banyak orang berkata ia perawan tua. Ia sudah tidak perawan sejak usia dua puluh satu tahun meskipun banyak orang berkata ia perawan tua. Ia merasa bertanggung jawab pada dirinya sendiri mengubah istilah itu, tetapi karena tidak punya ide akan mengubahnya menjadi apa, ia menghilangkannya. Setiap ada orang mengatakan bahwa ia perawan tua, ia merasa orang itu sedang tidak berkata apa-apa, ia tidak menjawab atau menimpali, dan ia lama-lama juga terbiasa menghilangkan orang yang mengatakannya. Ia pura-pura tidak menganggap orang itu ada di depannya.

***

Kedua perawan tua itu kadang-kadang bertemu bila ada acara para tetangga, atau waktu perawan tua kedua membeli kue pada perawan tua pertama, atau ketika perawan tua kedua lari pagi dan perawan tua pertama kebetulan sedang membersihkan jalan di depan rumahnya. Pada saat-saat itu dua perawan tua akan bicara sebentar, lebih sering berisi basa-basi dari perawan tua pertama, dan perawan tua kedua hanya menjawab sekenanya, sekadar untuk sopan santun.

Pernah suatu hari perawan tua kedua pergi ke rumah perawan tua pertama. Ia bermaksud membeli bolu gula merah yang memang enak di situ. Membeli bolu itu sebenarnya bukanlah keinginannya, melainkan keinginan ibunya. Ibunya suka bersimpati pada pedagang-pedagang yang ada di sekitarnya. “Untuk mendukung ekonomi tetangga,” katanya.

Perawan tua pertama sedang asyik mengambil kue-kue bolu yang baru matang dari dalam oven, dan menaruh loyang berisi kue-kue tersebut di atas meja yang telah dialasi kain cukup tebal. Ketika perawan tua kedua mengucap salam, perawan tua pertama menjawab dengan kegembiraan yang seperti dibuat-buat.

 “Enak ya tinggal di rumah besar. Tapi sayang, kok gordennya tidak terpasang? Percuma dong jadi orang kaya, beli gorden saja tidak mampu,” ujar perawan tua pertama sambil menaruh kue-kue ke dalam kotak. Lalu perawan tua pertama tertawa kecil, seperti tawa yang tidak untuk dibagi, tawa yang hanya untuk diri sendiri.

Perawan tua kedua tidak menyangka perawan tua pertama akan mengatakan hal itu. Rupanya, perawan tua pertama sering memperhatikan gorden tetangganya, disertai dengan penilaian bagaimana seharusnya sebuah rumah besar -lebih tepatnya, rumah seorang kaya- diperlakukan. Perawan tua kedua sebenarnya malas menjawab, tetapi sepertinya perawan tua pertama sengaja menaruh satu persatu kue dengan tempo yang sungguh lambat sehingga untuk menetralkan suasana yang berpotensi menjadi tegang, perawan tua kedua pun angkat suara, “Iya, karena ada sedikit bagian bangunan yang perlu direnovasi. Jadi, pemasangan gorden ditunda. Takut kotor karena pekerjaan pertukangan,” jawabnya.

Memang, keluarga perawan tua kedua kini punya rumah lebih besar dari keluarga perawan tua pertama, dan baru-baru ini ibunya merenovasi rumahnya menjadi lebih besar dari sebelumnya, kurang lebih empat kali lebih besar dari rumah perawan tua pertama. Hal ini yang mungkin membuat perawan tua pertama menjadi suka memperhatikan gerak-gerik tetangganya yang sama-sama perawan tua tersebut, karena ternyata walaupun sesama perawan tua, perawan tua pertama menilai bahwa perawan tua kedua jauh lebih beruntung dari dirinya, mulai dari rumahnya yang kini lebih besar, usianya yang jauh lebih muda, dan badannya yang jauh lebih ramping, sehingga keminderan-keminderan itu berubah menjadi kata-kata yang tajam. Ternyata di dalam status yang sama, ada kasta-kasta yang berbeda, ada yang masih cemburu tentang siapa yang lebih terlihat perawan dan siapa yang belum akan tua.

Hari-hari selanjutnya perawan tua kedua memilih menghindari perawan tua pertama, tetapi ada saja peristiwa yang mempertemukan mereka, misalnya di acara pernikahan seorang tetangga. Waktu itu perawan tua kedua mengenakan mini dress biru, dengan make up terang. Ia sempat mual ketika mendengar mempelai wanita meminta izin -sambil menangis sesenggukan serta sedikit berteriak di mikropon- kepada ibunya bahwa dia akan hidup bersama lelaki pilihan hatinya.

Make up-nya harus water proof, kalau tidak wajahnya akan berubah menjadi lukisan abstrak karya orang-orang yang cuma mengaku seniman, pikirnya. Lagi pula, mengapa harus menangis seperti itu? Orang boleh over acting tapi tidak boleh over indicated, orang boleh melebih-lebihkan kesedihan tapi tidak boleh lari dari logika kesedihan. Memangnya baru satu jam lalu mempelai wanita itu tahu ia akan menikah? Wanita itu terlihat dan terdengar seperti orang terakhir yang diundang dalam pernikahannya sendiri.

Perawan tua pertama duduk di deret paling depan bersama orang-orang tua, padahal jauh di hati orang-orang tua itu ia hanyalah anak bawang, selama-lamanya–bahkan bagi orang tua yang lebih muda darinya-; perempuan gagal yang tidak diperhitungkan karena tidak punya lelaki di belakangnya. Untung saja dia masih punya ayah yang walaupun berjalan pun hampir tak berdaya, tetapi masih berupa laki-laki. Kalau tidak, mungkin dia harus duduk bersama sekelompok kucing yang tak berdaya sambil mencium bau sapi-lada-hitam dari meja prasmanan yang menguar dari tudung saji yang belum dibuka.

Dia memakai baju kurung dengan selendang merah dan make up tipis yang cocok dengan kulitnya yang kuning langsat. Mungkin karena warna kulitnya itu, orang-orang tidak tahu -atau mungkin tak peduli?- bahwa wajahnya pucat pasi dan dia sebenarnya terganggu melihat pernikahan perempuan lain.

Saat mengambil makanan, tiba-tiba seperti orbit yang salah bagi perawan tua kedua, perawan tua pertama telah duduk tepat di sampingnya. “Kapan menyusul?” tanyanya.

Perawan tua kedua tidak pernah anti pada pertanyaan semacam itu, tetapi ia bosan, pertanyaan itu begitu klise dan tidak berkembang. Ia seperti harus melayani mesin, bukan manusia. Kenapa dia bertanya kepada orang, pikir perawan tua kedua, padahal dia sendiri lebih layak mendapat pertanyaan yang sama? Apakah dia merasa sudah saatnya menghukum generasi selanjutnya karena dia capek sepanjang hidupnya menjadi terdakwa, seperti para napi lama menghukum napi yang baru masuk, seperti sekolah-sekolah militer yang membuat babak belur taruna yang baru masuk? Haruskah aku menjawab ‘Nanti, setelah anda?’ Ah, tidak, sebab aku sudah lapar dan tidak peduli pada siapapun.

Ia pun menjawab dengan senyuman; senyuman yang—bila dihitung—membutuhkan lima piring nasi dengan lauk-pauk dari jenis orang yang kesetanan ketika menghadapi makanan.

***

Suatu hari setelah orang-orang sembahyang subuh, perawan tua kedua lari pagi keliling perumahan. Ketika rampung dan hampir sampai di rumahnya, ia melihat perawan tua pertama sedang membersihkan jalan di luar pagar rumahnya. Ia pun memasang kewaspadaan, mempersiapkan diri untuk komentar atau pertanyaan basa-basi yang tak jarang juga menyakitkan.

Mereka berpapasan. Perawan tua pertama angkat bicara, “Wah, baru lari pagi ya. Coba sudah menikah, pasti larinya jadi lebih semangat dan rajin. Hayo, kapan menikah?” Sepertinya perawan tua pertama, di segala situasi dan kondisi, bila bicara selalu tersangkut dengan pernikahan.

Perawan tua kedua muak harus mengawali pagi dengan cara seperti itu. Ia pun menjawab, “Saya tidak akan pernah menikah!”

Kekagetan tampak hanya sepersekian detik di wajah perawan tua pertama. Dia pun menyambar dengan wajah gembira, “Trauma ya karena dulu ayah ibunya bercerai?”

Perawan tua kedua serasa di ambang batas, didorongnya perawan tua pertama dengan sekuat tenaga, badan perawan tua pertama yang empat kali lebih besar dari badan lawannya itu terjungkal, pot bunga yang dipegangnya terlempar ke udara, ia masuk ke dalam got dan sekarang tata letaknya persis seperti jenazah di dalam peti yang sesak, pot itu jatuh dan mental dari perut buncitnya. Dia bengong.

“Trauma? Itu hanya penilaian dari orang-orang yang tak memiliki argumen, hanya memiliki nafsu untuk merendahkan pihak lain, mengatakan orang lain sakit, orang lain trauma. Jadi kau merasa sehat? Bagian dari masyarakat yang sehat? Tidak pernah sakit, tidak pernah merasa disakiti? Bila ada yang mencoba menyakiti, tidak pernah tersakiti? Generasi yang sakit seperti kau harus disakiti sekali lagi, agar penyakit itu sekalian mati, tidak menular ke generasi selanjutnya,” umpatnya.

Dengan santai perawan tua kedua berjalan ke rumahnya. Sungguh ia sudah tak peduli lagi. Ia ingin pulang untuk sarapan, mandi, dan berdandan sedikit, jaga-jaga untuk mempersiapkan diri, karena jangan-jangan akan ada episode selanjutnya. Mungkin saja nanti menjelang siang keluarga perawan tua pertama akan datang sambil marah-marah. Akan ada ketua RT dan RW, Ketua Lingkungan dan Babinsa, Polres atau Polda. Ia tidak peduli, instansi apa pun yang ada di negara ini boleh datang dan menghukumnya dengan cara apa saja dan berapa lama. Terserah. Sungguh, ia akan menerima.[]


Penulis:

BULAN NURGUNA, lahir di Mataram, Lombok, 4 Juni 1990. Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta. Cerpen-cerpennya terbit di pelbagai media, baik cetak maupun digital. Kini turut terlibat di Komunitas Akarpohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *