Esai
Membaca Ōe: Diskursus Abnormalitas, Transparent Heroes, dan Rasa Kemanusiaan Kita

Membaca Ōe: Diskursus Abnormalitas, Transparent Heroes, dan Rasa Kemanusiaan Kita

Cerita dimulai dengan sajian adegan pelemparan seorang lelaki bertubuh gendut, nyaris ke dalam kandang seekor beruang di kebun binatang, di Kota Tokyo, Jepang, dengan penanda waktu pagi hari, pada musim dingin. Secara tiba-tiba, narator kemudian menggeser pembicaraan pada kondisi psikis tokoh tersebut: ia, akhirnya terbebas dari belenggu obsesi lama. Obsesi apakah yang dimaksud? Dengan posisi sebagai orang ketiga serba tahu, sorot balik cerita ke permulaan konflik, narator pun perlahan-lahan membimbing kita ke arah pemungkas cerita, tempat jawaban dari pemantik utama gesekan antartokoh tersaji. Tokoh tersebut adalah Lelaki Gendut, yang tengah berjalan-jalan di musim dingin bersama Mori alias Eeyore, tak lain adalah putranya sendiri.

Demikianlah Kenzaburō Ōe, salah seorang sastrawan besar asal Jepang, membuka narasi dalam novelanya yang berjudul Ajari Kami Melampaui Kegilaan Kami (Warera no kyōki wo ikinobiru michi wo oshieyo, 1969). Ōe sendiri lahir di Uchiko, Prefektur Ehime, Jepang, pada tanggal 31 Januari 1935. Dalam kiprah kepengarangannya, karya-karya yang dihasilkannya banyak dipengaruhi oleh sastra Perancis dan Amerika, serta teori-teori sastra, sarat dengan isu-isu politis, sosial, dan filosofis seperti senjata nuklir, non-konformisme sosial, dan eksistensialisme. Dijelaskan juga bahwa desa tempat tinggal Ōe semasa kecil berada di suatu lembah yang dikelilingi oleh hutan-hutan, yang para wanitanya memiliki tradisi untuk selalu mendongeng pada anak-anak mereka—termasuk ibu Ōe yang selalu menceritakan legenda-legenda yang banyak terjadi di alam.[1]

Claremont mencatat, antara tahun 1958 dan 1961, Ōe menerbitkan serangkaian karya yang menggabungkan metafora seksual untuk pendudukan Jepang, sementara untuk fase berikutnya, ia menjauh dari konten seksual tersebut dan bergeser menuju pinggiran masyarakat yang penuh dengan kekerasan. Karya-karya yang ia terbitkan antara tahun 1961 dan 1964 dipengaruhi oleh eksistensialisme dan literatur picaresque, dihuni oleh lebih atau kurang penjahat nakal dan anti-hero yang posisinya berada di pinggiran masyarakat, yang memungkinkan mereka untuk menciptakan kritik yang tajam.[2] Karena konsistensi berkarya dan sepak-terjangnya, Ōe dinobatkan sebagai pemenang Hadiah Nobel Sastra pada tahun 1994.

Ajari Kami Melampaui Kegilaan Kami (2019), yang menjadi bahan bahasan dalam tulisan ini, adalah versi terjemahan dari Penerbit Circa—bukan terjemahan langsung dari bahasa Jepang, melainkan diterjemahkan dari versi bahasa Inggris berjudul Teach Us to Outgrow Our Madness – Four Short Novels (Grove Press, 1977). Adapun keterangan “Four Short Novels” tersebut merujuk pada empat karya Ōe yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John Nathan, dengan urutan secara kronologis: Prize Stock (Shiiku, 1958); Aghwee the Sky Monster (Sora no kaibutsu Aguii, 1964); Teach Us to Outgrow Our Madness (Warera no kyōki wo ikinobiru michi wo oshieyo, 1969); dan The Day He Himself Shall Wipe My Tears Away (Mizukara waga namida o nuguitamau hi, 1971). Menurut Iwamoto, kecuali Prize Stock, karya-karya Ōe tersebut dihubungkan oleh benang merah berupa “nada” keseluruhan cerita yang lebih gelap, yakni penempatan “kegilaan” sebagai pusat tematiknya.

Jika digeneralisasi, Iwamoto melihat bahwa eksplorasi Ōe dalam cerita-ceritanya (terutama prosa) selalu menunjukkan keseriusan dan kekayaan pengetahuan yang terpancar dari pertanyaan sentral tentang bagaimana cara terbaik bagi manusia untuk hidup dan memenuhi individualitasnya di masa-masa sulit seperti saat ini, yang notabene terancam oleh kekuatan-kekuatan—terutama otoritarianisme dalam segala bentuknya—yang siap untuk merebut kebebasan. Hal tersebut ia jelajahi lewat karakter yang memiliki pemberontakan dan keberanian, yang meskipun sebagian besar bergerak dalam lanskap isu-isu kontemporer, namun tetap dibumbui dengan mitos, cerita rakyat, dan fakta sejarah. Selain itu, cerita pendek, novel, dan esainya menghadapi isu-isu yang sekaligus sangat pribadi dalam perjuangannya untuk definisi-diri, dan lebih umum lagi dalam penerapannya untuk manusia secara universal.[3]

Pengolahan aspek kegilaan, karakter yang memberontak, dan fakta sejarah mengenai otoritarianisme yang pernah terjadi di Jepang juga dapat kita rasakan dalam novela Ajari Kami Melampaui Kegilaan Kami milik Ōe. Kegilaan atau abnormalitas tokoh diwakili oleh Mori alias Eeyore, yang tak lain merupakan anak dari tokoh sentral: si Lelaki Gendut. Lelaki Gendut sendiri, jika kita cermati gerak-geriknya dalam novela, barangkali masuk ke dalam tipe karakter yang memberontak terhadap tatanan masyarakat yang kian “kaku” dalam menerima fenomena kegilaan. Kegilaan pula yang mengikat Lelaki Gendut dengan ayahnya: seorang tokoh yang kerap muncul hanya dalam ingatan dan konten perseteruan sengit antara Lelaki Gendut dengan ibunya, yang dalam pemungkas cerita dijelaskan menjadi “korban” dari model pemerintahan Kekaisaran Jepang. Lantas, pada bagian manakah poin problematika pribadi Ōe dalam perjuangannya untuk definisi-diri muncul dalam novela tersebut?

Ōe memiliki tiga anak: putra tertuanya, Hikari, mengalami kerusakan otak sejak kelahirannya pada tahun 1963, dan kecacatannya telah menjadi motif berulang dalam tulisan-tulisan Ōe semenjak itu. Tokoh-tokoh yang terinspirasi dari Hikari, menonjol dalam banyak buku yang dipuji oleh Komite Nobel.[4] Wilson mencatat, tidak hanya dalam Ajari Kami Melampaui Kegilaan Kami, sosok Hikari juga memberikan pengaruh yang kuat dalam A Personal Matter (Kojinteki na taiken, 1964), dan The Day He Himself Shall Wipe My Tears Away: karya-karya tersebut mengerjakan ulang premis yang sama, yakni ayah dari seorang putra cacat yang mencoba menciptakan kembali kehidupan ayahnya sendiri, yang menutup diri dan mati.[5] Ya, besar kemungkinan bahwa Hikari adalah tokoh Eeyore dalam dunia cerita yang diciptakan Ōe.

Diskursus Abnormalitas
Kita dapat berangkat dari pernyataan Iwamoto: “kegilaan” ditempatkan sebagai pusat tematik dari Ajari Kami Melampaui Kegilaan Kami karya Ōe. Bukti-bukti tekstualnya bisa ditemukan lewat narasi yang menjelaskan bahwa baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat, Eeyore dianggap sebagai sosok yang memiliki keterbelakangan mental, alias abnormal (secara umum: gila). Kegilaannya, pun seakan “merambat” kepada sang ayah, yakni Lelaki Gendut sendiri. Di tempat terpisah dan yang telah lebih dahulu terjadi, ayah dari Lelaki Gendut-lah yang dinarasikan mengalami kegilaan—meskipun akhirnya terungkap itu hanya siasat dari sang ibu. Artinya, seperti ada garis vertikal bernama “kegilaan” yang menautkan ketiga tokoh yang masih terikat oleh satu garis keturunan.

Saat momen itu akhirnya tiba (kasihan Lelaki Gendut, dia kurus hari-hari itu), dengan gugup dia bertanya kepada dokter yang baru keluar dari ruang bersalin. Dia mendengar jawaban datar kalau anaknya terlahir sangat cacat.
Bahkan jika harus dioperasi, kemungkinan bayi itu (Eeyore) akan meninggal atau jadi idiot, salah satunya.
Seketika itu juga, jiwa Lelaki Gendut rusak selamanya. (hlm. 15)

Ibu, oh, Ibu, tolong aku, tolong! Kalau aku buta dan gila seperti Ayah, anakku bagaimana? Ajari aku, Ibu, bagaimana kita menundukkan kegilaan ini! (hlm. 17)

Lama-kelamaan, anaknya yang letih duduk di atas sepeda yang terhenti di tengah jalan akan mulai mengerang jengkel, kemudian lelaki gendut akan menaikkan suara seraknya dengan cara mengerang yang menambah gairah debatnya, sampai akhirnya perselisihan itu berakhir dan polisi memberi jalan (hlm. 21)

Demikianlah kutipan-kutipan yang menunjukkan bagaimana “kegilaan” dialami dan bekerja pada tokoh-tokoh novela. Kegilaan tersebut akhirnya menciptakan beberapa gesekan, misalnya: antara Lelaki Gendut dengan tokoh Ibu mengenai “kegilaan” dan kematian sang ayah dalam pengasingan diri yang misterius (hlm. 10-13 dan 58-65); antara Lelaki Gendut dengan sang istri yang tersisih dari keintiman bersama Eeyore (hlm. 19); antara Lelaki Gendut dengan masyarakat yang berpandangan ganjil, baik terhadap perilakunya maupun perilaku Eeyore (hlm. 44); dan antara Lelaki Gendut dengan beberapa pemain judi yang melemparnya ke dekat kandang beruang, tatkala ia berjalan-jalan ke kebun binatang bersama Eeyore (hlm. 52-58).

Baik dalam konteks cerita novela secara khusus maupun dunia nyata secara umum, fenomena dan kondisi abnormalitas kerap kali dipandang sebagai sesuatu yang tak lazim dalam diri manusia. Biasanya, masyarakat yang mengidentifikasi dirinya sebagai sosok manusia “normal”-lah yang mengukuh-dan-melanggengkan status quo tersebut. Mengapa bisa terjadi demikian? Hal tersebut tentu berangkat dari kesepakatan masyarakat mengenai apa yang mereka sepakati sebagai kegilaan atau abnormalitas itu sendiri. Artinya, kian berkaitan dengan pengetahuan yang mereka cerap selama ini. Pertanyaan berikutnya: dari mana pengetahuan/kesepakatan mengenai kegilaan atau abnormalitas itu berasal? Tentu, dari kekuasaan yang mendistribusikan diskursus berkaitan dengan hal tersebut.

Foucault menyebut bahwa kekuasaan selalu terakumulasi lewat pengetahuan, dan sebaliknya pengetahuan pun selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Pengetahuan diproduksi bukan saja karena berguna bagi kekuasaan, melainkan memang tidak ada pengetahuan tanpa kuasa; juga tak ada kuasa tanpa pengetahuan.[6] Termasuk dalam konteks kegilaan atau abnormalitas, Foucault berargumen bahwa kegilaan bukanlah sesuatu yang diturunkan dari langit, melainkan merupakan gejala yang dibentuk oleh kelompok elite dalam suatu masyarakat, seperti pemerintah, ilmuwan, dokter, agamawan, dan lain-lain. Klasifikasi gila terkadang dipergunakan sebagai senjata untuk menyingkirkan pihak-pihak yang tidak dikehendaki—ketika seseorang dicap “gila”, maka ia akan tereliminasi dari kategori masyarakat umum, atau yang “waras”.[7]

Dalam Ajari Kami Melampaui Kegilaan Kami, kita dapat melihat eksistensi kekuasaan lewat tokoh dokter atau institusi kesehatan (misalnya, dalam kutipan sebelumnya, juga halaman ke-25; 27; 29-32; 34-38; 41-42; 44; dan 49-50) yang melegitimasi abnormalitas yang “bersemayam” dalam diri tokoh Eeyore. Sederhananya, kekuasaan, lewat tangannya yang bernama institusi kesehatan, secara leluasa melegitimasi mana yang layak disebut sebagai manusia normal dan manusia yang abnormal. Berarti, kegilaan ialah hasil dari  pendefinisian sosial dan ilmiah, pendefinisian pihak dominan yang  merasa memiliki hak untuk menghukum atau menormalisasi (menguasai) orang-orang gila/abnormal. Akibatnya, dalam novela dapat kita temui bahwa tokoh Eeyore dijauhi dan diletakkan di luar tatanan masyarakat yang “normal”. Eeyore, sejatinya adalah bagian dari masyarakat, namun sekaligus diletakkan di luar masyarakat itu sendiri: ia setamsil part of no part.

Lantaran sebagian besar masyarakat dalam novela telah memandang fenomena abnormalitas berasarkan pengetahuan yang mereka terima (episteme), sejalan dengan strategi kekuasaan yang meletakkan mereka di pinggiran atau bahkan di luar tatanan, alhasil Eeyore dan orang-orang yang dicap sekategori dengannya pun senantiasa terabaikan, dipandang dengan sinis, tak jarang diterpa kesulitan dalam mengakses berbagai hal. Akan tetapi, yang menjadi catatan dan pengecualian, ialah tak semua masyarakat yang berada di bawah naungan kuasa kemudian menerima secara mentah “asupan-asupan pengetahuan” yang sampai kepada mereka (common sense), baik pengetahuan dalam konteks berbagai hal maupun yang parsial semacam abnormalitas. Katakanlah laku tersebut sebagai (semacam) “resistansi”. Resistansinya dapat berupa hal-hal sederhana semacam perlakuan berbeda sang ayah (tokoh Lelaki Gendut)—yang ia sendiri semulanya adalah pengajar di sebuah kampus, yang artinya dapat diasumsikan memiliki pendangan cukup rasional terhadap fenomena abnormalitas—dalam menerima keberadaan Eeyore di tengah jejaring diskursus perihal abnormalitas yang menawan masyarakat.

Lelaki Gendut = Transparent Heroes?
Ya, perlu disitir sekali lagi, bahwa kita dapat melihat gerak-gerik Lelaki Gendut dalam Ajari Kami Melampaui Kegilaan Kami, sebagai laku resistan karakter yang memberontak terhadap tatanan masyarakat yang kian “kaku” dalam menerima fenomena kegilaan. Bukan sebagaimana masyarakat umum dalam novela (ibu, para penjudi, dan orang-rang) yang berupaya menyisihkan orang-orang gila atau abnormal dari tatanan mereka, Lelaki Gendut justru berupaya mendekati sosok-sosok yang terlempar tersebut: di satu sisi ia begitu berhasrat merapat, mengetahui secara detail musabab kegilaan dan kematian sang ayah;

Ibu, mengapa kau diam saja? Kau menyembunyikan catatanku karena takut jika aku menerbitkan cerita tentang Ayah maka setiap orang yang mengenal keluarga kita akan berpikir dia gila, dan bahwa darahnya mengalir di semua anak-anaknya, dan bahwa anakku adalah bukti hidup akan hal itu, iya kan? (hlm. 60)

pula di sisi yang lain menciptakan ikatan intim dengan putranya, Eeyore, yang bahkan sang istri pun sampai gagal memahami makna mendalam dari ikatan tersebut,

Sebenarnya, istrinya sudah mennggalkan tempat tidur itu dan mengasingkan diri di bagian rumah yang lain, bukan karena mereka berselisih, tapi ia Cuma tak mau mencampuri keintiman ayah dan anak itu. Lelaki Gendut Cuma ingin bertindak sesuai impuls alami orang tua—kalau-kalau anaknya terbangun di tengah malam, tangan gemuk ayahnya bisa dia sentuh dalam kegelapan di atas kepalanya. (hlm. 19)

meskipun pada akhirnya, sebagaimana dikatakan Iwamoto, komitmen terhadap anaknya tersebut (berupa sikap protektif yang “mencekik”) menimbulkan ketergantungan destruktif bagi kedua belah pihak.[8] Kutipan berikut dapat dijadikan penguat:

Dan inilah sumber perasaan konkretnya tentang anak itu sebagai kendali yang berat dan sukar, yang mengancam dan bahkan mengatur kehidupannya sehari-hari. Sebenarnya, dia menikmati pikiran dirinya sebagai korban pasif yang diam-diam dibudaki oleh anak sendiri. (hlm. 14)

Barangkali, kita selanjutnya akan berasumsi: bukankah wajar jikalau ikatan antara orang tua dengan anaknya menciptakan kepedulian-kepedulian macam demikian, karena keduanya adalah entitas yang kian berdekatan? Ya, memang benar, tetapi bukankah sosok ibu dalam konteks novela justru telah mengasingkan suaminya dan menciptakan perseteruan dengan Lelaki Gendut, yang berobsesi menyusun cerita tentang kegilaan dan kematian ayahnya? Kekhawatiran tokoh ibu seakan-akan bermuara pada tercemarnya citra baik keluarga lantaran kehadiran orang-orang gila di lingkungan hidup/garis keturunan mereka. Bukankah juga—meskipun agak tersamar—sang istri dari Lelaki Gendut memilih menepi dibandingkan menciptakan pengorbanan dan ikatan dengan Eeyore, sebagaimana dilakukan tokoh sentral Lelaki Gendut? Artinya, kegilaan atau abnormalitas sangat berpotensi menciptakan chaos dalam relasi antarmanusia, kendati relasi tersebut bergerak dalam skala sangat intim semacam keluarga.

Perlakuan dan kepedulian Lelaki Gendut terhadap tokoh-tokoh yang gila dan abnormal adalah perlakuan tak biasa, perlakuan anti-mainstream, perlakuan yang bertolak belakang dengan laku masyarakat umum dalam menerima fenomena kegilaan. Tindakannya adalah kepahlawanan yang tersamar. Kita dapat mengategorikan tokoh Lelaki Gendut ke dalam sosok pahlawan transparan (transparent heroes) dalam terminologi Goethals dan Allison, yakni orang-orang rendah hati yang melakukan tindakan kepahlawanan di luar sorotan publik, seperti pemeran pendukung dalam narasi pahlawan, guru, perawat, dan banyak orang tua yang prestasinya “diluputkan”.[9] Sejatinya, kategori pahlawan ini merupakan yang terbanyak dalam kehidupan kita.

Kepahlawanan Lelaki Gendut adalah kesetiaan dalam wujud pengabaian status gila dan abnormal yang melekat pada orang-orang terdekatnya: ia, bertindak resistan terhadap diskursus yang melegitimasi bahwa keberadaan orang-orang gila atau abnormal, secara tidak langsung, harus disisihkan dan dilemparkan dari tatanan orang-orang yang “normal”. Ia memperjuangkan kejelasan status gila pada ayahnya, sekaligus bersikeras berupaya mengobati abnormalitas yang diderita sang putra. Hal ini, barangkali sekaligus dapat menjadi wujud kritik bagi masyarakat yang serupa cerita, bahwa masyarakat semestinya bergerak mendekat kepada orang-orang gila atau abnormal, dan bukannya malah menegasikan keberadaan mereka.

Terlepas dari berhasil atau tidaknya resistansi terhadap tatanan yang dilakukan oleh tokoh Lelaki Gendut—sebab pada hlm. ke-66 dan ke-72, ia digambarkan terlepas dari ikatannya dengan Eeyore—yang terpenting untuk dilihat adalah proses dan tindakan-tindakan (eksistensi) yang telah ia lalui. Bukan merupakan kemustahilan bahwa laku Lelaki Gendut dapat menggoyangkan status quo. Artinya, jika keberadaan Lelaki Gendut kita tarik ke dalam ranah dunia nyata, bisa saja terjadi pengulangan (repetisi) tindakan oleh tokoh-tokoh lain sebagaimana dilakukan Lelaki Gendut dalam menerima kegilaan dan keabnormalan, sehingga diskursus mengenai hal tersebut mengalami pergeseran ke arah yang lebih baik dalam suatu tatanan.

Akhirnya, kita sekaligus juga dapat melihat bahwa Ajari Kami Melampaui Kegilaan Kami yang disuguhkan Ōe kepada khalayak pembaca, bertumpu pada sebuah ironi: keberadaan orang gila dan abnormal, sesungguhnya telah mengajarkan kepada kita cara memahami—terutama bagaimana melihat dan mendengar—situasi mereka secara lebih detail dan sensitif,  dan dengan demikian, ke depan akan makin memperkaya rasa kemanusiaan yang kita miliki. Demikianlah barangkali. []

[1] lihat laman The Nobel Prize. “The Nobel Prize in Literature 1994: Kenzaburō Ōe Biographical”. Diakses dari https://www.nobelprize.org/prizes/literature/1994/oe/biographical/ pada tanggal 27 September 2021. Lebih lanjut, dituliskan juga bahwa, “… The women of the Ōe clan had long assumed the role of storytellers and had related the historical events of the region, including the two uprisings that occurred there before and after the Meiji Restoration. They also told of events closer in nature to legend than to history. These stories, of a unique cosmology and of the human condition therein, which Ōe heard told since his infancy, left him with an indelible mark.
[2] lihat Claremont, Yasuko. 2009. The Novels of Ōe Kenzaburō. London & New York: Taylor & Francis Routledge, hlm. 37.
[3] lihat Iwamoto, Yoshio. 1979. “The ‘Mad’ World of Ōe Kenzaburō”. The Journal of the Association of Teachers of Japanese, Vol. 14, No. 1, hlm. 66-83.
[4]  lihat Claremont, 2009, hlm. 5.
[5] lihat Wilson, Michiko. 1986. The Marginal World of Ōe Kenzaburō: A Study in Themes and Techniques. New York: M.E. Sharpe, hlm. 61.
[6] lihat Foucault, Michel. 1980. Power/Knowledge: Selected Interviews & Others Writings, 1972-1977. New York: Pantheon Books.
[7] lihat Foucault, Michel. 2006. History of Madness. London & New York: Routledge.
[8] lihat Iwamoto, 1979.
[9] lihat Goethals, George R., & Allison, Scott T.. 2012. “Making Heroes: The Construction of Courage, Competence, and Virtue”. Experimental Social Psychology, Vol. 46, hlm. 183-235.


Penulis:

Ilham Rabbani, lahir di Lombok Tengah, 9 September 1996. Menulis puisi, cerpen, dan esai. Hingga kini, aktif mengelola kelompok belajar sastra Jejak Imaji di Yogyakarta. Sempat juga terlibat dalam pengelolaan antologi Rumah Penyair dan Forum Apresiasi Sastra (FAS) LSBO PP Muhammadiyah di Universitas Ahmad Dahlan (UAD). Tahun 2016, terpilih mengikuti program Sekolah Menulis yang diselenggarakan oleh Balai Bahasa D.I. Yogyakarta (BBY). Selain pernah mendapatkan penghargaan, tulisan-tulisannya juga terbit di beberapa bunga rampai dan media massa, baik cetak maupun daring (Basabasi.co, Bacapetra.co, Beritabaru.co, Kibul.in, Jejakimaji.com, Cerano.id, SKSP-Literary.com, Haripuisi.com, Merapi, Minggu Pagi, Koran Sindo, Mata Budaya, Kreativa, dan lain-lain). Alumnus prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UAD, dan kini studi di Magister Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada (UGM). Perihal Sastra & Tangkapan Mata (Jejak Pustaka, 2021) adalah buku esai tunggalnya yang telah terbit. Dapat dihubungi via WhatsApp +6281226772044, akun Instagram @_ilhamrabbani, atau surel [email protected].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *