Resensi Buku
Pembunuhan, Masalah Keluarga, dan Hal-Hal yang Coba Dipecahkan

Pembunuhan, Masalah Keluarga, dan Hal-Hal yang Coba Dipecahkan

Judul               : Ferris Wheel at Night
Penulis            : Minato Kanae
Penerjemah    : Andry Setiawan
Penerbit          : Penerbit Haru
Terbit              : September 2021
Tebal              : 428 Halaman
ISBN               : 978-623-7351-80-1

Apa yang akan kaulakukan saat mengetahui ada kasus pembunuhan di sebelah rumahmu? Kabar pembunuhan itu tidak saja mengejutkan, tetapi pula sangat tak disangka sebab keluarga di sebelahmu itu kau ketahui terlihat mapan, baik-baik saja, dan memiliki semua kemewahan serta kasih sayang yang diimpikan semua keluarga di muka bumi ini. Akan tetapi, pada suatu malam yang dingin, ibu dari keluarga itu membunuh suaminya, lalu si suami pun meninggal pada malam itu juga. Apa yang akan kau lakukan sebagai tetangga? Bagaimana menilai anak-anak keluarga itu? Akan kau anggap sebagai anak dari korban pembunuhan atau pelaku pembunuhan?

Itulah sekian pertanyaan yang Minato Kanae sodorkan kepada pembaca bahkan sejak kita hanya membaca halaman belakang dari novel ini. Bertajuk Ferris Wheel at Night, novel ini terjemahan ketiga dari karya Minato yang hadir di hadapan pembaca Indonesia. Dan, masih mengambil topik yang tak jauh berbeda dengan dua novel sebelumnya, Confessions (2019) dan Penance (2020), pembunuhan menjadi isu yang melatari konflik antartokohnya. Namun, kalau kita berpikir akan mendapati sajian brutal penuh adegan saling menggorok dan berdarah-darah, Ferris Wheel at Night sama sekali tidak menyajikan hal-hal tersebut. Kekuatan novel ini bukan pada sesuatu yang kentara menjijikkannya, melainkan pada sesuatu yang mengacak-ngacak isi kepala pembaca.

Dari dijelaskannya terdapat kasus pembunuhan di sebuah perumahan elit bernama Bukit Hibari, kita lantas diajak ke dalam tamasya “rasa tak nyaman” lewat gambaran sengkarutnya hati dan pikiran para penghuni perumahan itu. Mula-mula, Minato menghadirkan figur keluarga Endo dengan tiga orang anggota keluarga: Endo Mayu, si ibu; Keisuke, si ayah; dan Ayaka, anak mereka. Malam itu, sebelum pembunuhan terjadi, Ayaka baru saja mengalami tantrum yang merepotkan Mayu. Anak itu mengamuk, mengata-ngatai Mayu, bahkan sampai mengacak sekian perabotan kamar. Lalu, saat segalanya mereda, Mayu seperti mendengar teriakan dan kata “aduh” yang terlontarkan berulangkali dari rumah sebelah. Mayu menanyai Ayaka, soal mendengarnya juga atau tidak, tetapi anak itu dengan nada sinisnya bilang, “Jangan ikut campur urusan orang lain.”

Yang tak mereka ketahui, suara-suara itu memang bukan sesuatu yang biasa. Kekhawatiran Mayu tidak salah sama sekali, sebab di rumah sebelah, yakni rumah keluarga Takahashi, memang sedang terjadi sesuatu yang gawat di antara kepala keluarga dan istrinya. Beberapa saat kemudian, saat hampir tengah malam, ada ambulans dan mobil polisi berduyung-duyung datang ke perumahan tersebut. Kabar itu merambat sedemikian cepatnya, bahwa kepala keluarga Takahashi mengalami luka parah di kepalanya, dan pelakunya, yang mengaku sendiri, adalah perempuan itu, istrinya.

Kabar itu menjadi semakin besar keesokan harinya. Perumahan bukit Hibari dipadati media massa dan orang-orang yang penasaran. Pada titik itulah, para tetangga mulai merasakan imbasnya. Mereka tidak nyaman dengan keramaian itu, dan jadi kesulitan untuk bepergian keluar rumah. Di antara mereka, keluarga Endo menjadi yang paling disorot, sebab rumahnya persis berada di depan rumah keluarga Takahashi. Selain itu, terdapat fakta penting yang membuat Endo Mayu mengundang perhatian: Malam itu, setelah menanyakan soal suara-suara kepada Ayaka, Mayu pergi minimarket dan bertemu anak lelaki keluarga Takahashi, Shinji, yang sendirian dan kelupaan membawa uang serta dompet. Shinji yang akhirnya meminjam uang kepada Mayu, awalnya tak dicurigai sama sekali. Mayu baru berpikir seperti itu saat mendengar terbunuhnya kepala keluarga Takahashi dan esoknya mendengar kalau Shinji menghilang.

Dari awalan itu, Minato pun memulai parade “rasa tak nyaman” yang meneror pembacanya. Dan tak lain, rasa itu kita dapatkan dari konflik batin setiap tokoh-tokohnya. Di titik ini juga kita melihat, betapa sabarnya Minato mengarahkan lensanya kepada setiap tokoh, kemudian menguliti isi batin dan kepala mereka dengan sedemikian jelasnya. Adapun kalau ditilik secara umum, kita bisa mengambil garis besar soal sengkarut yang dialami tiap tokohnya adalah mengenai ketakutan mereka terhadap penghakiman yang dilayangkan masyarakat terhadap mereka yang langsung atau tidak terlibat dengan pembunuhan itu.

Dari situ, masing-masing dari mereka membentuk pembenaran tindakan sepihak yang mereka lakukan dan menyalahkan orang lain atas rasa tak nyaman yang mendera mereka. Bagi keluarga Endo, misalnya, keluarga Takahashi dipandang demikian membuat iri dengan segala kelengkapan hampir seluruh syarat yang menjadikan mereka idaman: Rumah mewah, anak yang berprestasi, dan keluarga yang tak pernah ribut. Rasa iri itu, yang paling kentara ada diri anak perempuan keluarga Endo, Ayaka, sebab Shinji seumuran dengannya dan ibunya dulu kerap membanding-bandingkan mereka. Ibunya yang dulu mendesak Ayaka untuk bisa diterima SMP Negeri, sama seperti Shinji, jugalah yang membuat Ayaka mengalami tantrum.

Di sisi lain, Mayu pun tak tak terlepas dari pengaruh dan desakkan tak kasatmata yang dihadirkan lingkungannya. Kendati rumah mereka di sana menjadi paling kecil dan sederhana, Mayu tetap merasa bangga bisa tinggal di sana dan akan terus memperjuangkan mimpi “keluarga idaman” yang pernah diyakininya. Melihat keluarga sebelah sebagai figur paling pas, Mayu tak ingin kalah. Ia kadung melihat mereka sebagai standar “tak tertulis” dari keluarga-keluarga yang tinggal di lingkungan bukit Hibari itu. Ia ingin meraihnya tanpa mempertimbangkan bahwa setiap keluarga memiliki kapasitas yang berbeda-beda.

Adapun soal tetangga lain, seorang perempuan tua bernama Kojima Satako, tak luput dari elemen parade yang dihadirkan Minato. Merasa sebagai penghuni lama dari perumahan itu, ia jadi memiliki hak untuk melayangkan sebuah penghakiman. Ia mengoordinasi para ibu di sana dalam upaya menempelkan poster-poster “ujaran kebencian” yang ditempelkan di depan rumah keluarga Takahashi. Bahkan, ia sampai perlu melempari jendela rumah tetangganya itu dengan batu. Dan penyebabnya, tak lain, adalah bentuk penyalahan atas rasa nyaman yang dihadirkan dari kasus pembunuhan itu. Baginya, sebagai penghuni perumahan yang paling awal, kasus itu mencoreng nama baik dari bukit Hibari.

Kita pun lantas bisa melihat, figur-figur tadi ditampilkan dengan sengkarutnya masing-masing. Dan yang paling mengganggu adalah, betapa Minato bisa menggambarkan jiwa manusia di tingkat kemurnian yang tak bisa ditepis, sekaligus sedikit sukar kita terima. Satu yang paling kentara, ia menyuguhkan figur-figur yang minim sekali rasa empatinya. Kepedulian yang ditampilkan melulu tentang diri mereka sendiri. Dari penggambaran tetangga-tetangga keluarga Takahashi atau penghuni lain bukit Hibari itu, sedikit sekali dari mereka yang mempertanyakan, bagaimana nasib anak-anak keluarga Takahashi? Anak-anak itu, Shinji, Hinako, dan Yoshiyuki, apa yang mereka lakukan dan bagaimana mereka saling menguatkan?

Sementara itu, di sisi anak-anak itu pun terdapat persoalan tak kalah peliknya. Selain menghadapi penghakiman dari masyarakat dan lingkungan sekolah, mereka pun sempat terdampar di tengah kebingungan “hendak melakukan apa”, sebab tidak seorang pun dari mereka, yang pada malam pembunuhan itu, ada di rumah. Mereka sama-sama tak tahu tentang “sebenarnya apa yang terjadi” di antara ayah dan ibu mereka. Akhirnya, yang meraka lakukan adalah meraba-raba, mengulik sedikit demi sedikit petunjuk yang ada, dan memikirkan kelangsungan hidup mereka ke depannya. Proses menuju “akhir seperti apa” yang bakal mereka capai itulah yang menjadi bagian paling kuat dari prosa Minato Kanae kali ini.

Kita juga melihat, bahwa pendedahan adegan yang ditunjukkan Minato bukanlah sesuatu yang buru-buru, melainkan penuh kesabaran dalam menyingkap tiap-tiap rahasia yang disimpan tokoh-tokohnya. Dari situ, kita dibuat tersentak sejenak demi mendapati letupan kecil yang tak disangka-sangka. Sementara di akhir kisahnya, kita pun sangat mungkin jadi tiba pada kondisi ingin merefleksikan diri terkait hubungan kita dengan keluarga dan masyarakat di sekitar kita.

Refleksi itu pada akhirnya, sejalan dengan apa yang dikatakan anak tertua keluarga Takahashi, yakni Yoshiyuki, bahwa, “Kita tidak butuh orang luar untuk menghakimi perkara keluarga kita. Mereka cukup tahu bahwa kita adalah keluarga. Itu saja. Sekarang, kita pikirkan apa yang terbaik untuk kita berikutnya (hal. 419).” Dari situ, kita bisa melihat pesan paling mantap yang disampaikan Minato secara tak langsung, bahwa kita terkadang perlu menutup telinga dan mata atas sekian standar, nilai, dan penghakiman yang dilayangkan lingkungan dan masyarakat di sekitar kita. Sebab, apa yang kita miliki atau apa yang tengah mendera kita, terlebih bila itu mencangkup urusan keluarga, hanya kita sendiri tahu “bagaimana” menyelesaikannya. []


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia. IG: @karaage_wahid.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *