Resensi Buku
Marco: Sastra, Kota, dan Pergerakan

Marco: Sastra, Kota, dan Pergerakan

Judul               : Mata Gelap: Cerita yang Sungguh Terjadi di Tanah Jawa
Penulis            : Marco Kartodikromo
Penerbit          : Beruang Cipta Literasi, Semarang
Cetakan          : Pertama, 2021
Tebal               : 168 halaman
ISBN               : 978-623-95588-6-4

Semarang, kota bejibun kronik-peristiwa bersejarah. Babak-babak panjang sejarah Semarang beririsan dengan pergolakan politik, ekonomi, dan sosial-budaya di Indonesia. Wajah kota Semarang dihamparkan lewat populasi yang sangat kentara atas kekompleksitasan etniknya. Semarang, kita kenal sebagai kota dengan perkumpulan etnik yang plural sejak dulu. Interaksi antar manusia menelurkan adat-kebudayaan yang luhur. Bangunan peradaban kota Semarang selalu mengiringi jejak langkah kemajuan tekonologi, budaya, pariwisata, industri, dan sosio-politik.

Di sisi lain, pergulatan roda intelektualitas bangsa Indonesia tidak bisa dipisahkan dari kota berjuluk Kota Lumpia ini. Pergumulan dan pergulatan wacana atas dinamika politik di masa pergerakan sangat dipengaruhi oleh anak-anak muda kala itu. Kaum muda menggodok paradigma berpikir lewat pelbagai cara dan acara guna mengentaskan persoalan yang ada.

Semarang, kota dengan segudang wadah yang terselip diantara sudut-sudut kotanya. Semarang melahirkan bejibun tokoh berpengaruh di Indonesia. Hal ihwal sosok intelektualitas berdarah Semarang tentu mengingat tokoh bernama Marco Kartodikromo. Ia pemikir kebangsaan, sastrawan, dan memiliki segudang pengalaman jurnalistik. Pergumulan karir jurnalistiknya ia peroleh dari tokoh pers kawakan yaitu Tiro Adhi Soerjo.

Marco tokoh moncer (yang terlupakan) dalam jagat sastra Indonesia. Ia dikenal lewat novel-novelnya. Novel Marco yang menarasikan perihal Semarang tertulis lewat buku bertajuk “Mata Gelap” (2021). Buku pertama kali diterbitkan oleh Drukkerij Insulinde Bandoeng ditahun 1914. Buku yang membangkitkan ingatan dan nostalgia. Diterbit ulangkannya novel Mata Gelap mengemban misi kronik sejarah dan bahasa. Buku berusia seabad, namun pembaca dicederai oleh perkara ketidaklengkapan isi novel. Novel atau “surat tjerita” Mata Gelap terbitan anyar ini konon edisi versi lengkap.

Buku Mata Gelap menjadi penanda atas identitas, gaya, intelektualitas, busana dan sejarah Semarang ‘tempoe doeloe’. Cerita awal kemunculan buku membuat geger politik kala itu. Buku sempat dicekal pihak polisi kolonial dengan dalih mengganggu kebijakan kolonial yang pada akhirnya dicap sebagai ‘bacaan liar’.

Marco menjalin cerita melakoni kepekaannya atas perubahan budaya, identitas, dan mode di sekelilingnya. Tokoh Retna Permata membawa perbendaharaan baru perihal pakaian. Retna melakoni gaya hidup berbalut gaya modern. Tatkala Retna Permata melancong mengunjungi bioskop, narasi yang digunakan begitu kentara. Dalam novel tertulis:

“Retna Permata berpakaian yang terlalu bisa menarik hati si penglihat, ia bersepatu hitam yang amat berkilauan, sarung batik berwarna-warna kembangya buatan Sukabumi… di pundaknya berkalung rantai emas 18 karat ditabur intan biduri” (halaman 25).

Ini adalah bukti misi Marco mengenalkan perubahan.

Transformasi itu diyakini atas derasnya adat kebudayaan Eropa yang mulai masuk ke tanah jajahannya (Hindia Belanda). Lewat buku Marco mendaratkan kritik dan sangkalan. Ia menerangkan ruang dan gagasan yang berseberangan antara zaman ‘kemadjoean’ dan nalar intelektualitas yang tak berimbang. Amce, sosok pemuda yang selalu menggunakan pakaian necis nan modern namun sangat jumud dalam berfikir. Ia berdandan berlagak orang Eropa agar dikenal sebagai sastrawan moncer dan berpendidikan. Namun, kepribadianya sangat tidak mencerminkan orang yang berpendidikan. Malah sebaliknya. Hal itu terjadi ketika akal bulusnya muncul ketika mau menggaet pujaan hatinya dengan menggunakan dukun yang masyhur (halaman 21).

Tak hanya kritik dan bantahan, lewat buku ini Marco menulis perwujudan kota lewat narasi yang apik nan bernas. Tak lupa beriringan pula dengan pengilustrasian yang subtil. Elemen-elemen kota seperti alun-alun, bioskop (gambar hidup), pasar, stasiun, dan mode pakaian menggambarkan keintiman peristiwa pada saat itu. Marco menuliskan

“pukul 6 sore trem (kereta api) sampai di Semarang, wah sungguh ramai betul negeri ini (Semarang), selamanya aku belum melihat keadaan begini bagus… disini ada hotel banyak, ada Hotel Hindia, Hotel Surabaya, Hotel Selamat Datang dll” (halaman 153).

Kritik dan Sesalan
Lewat pengamatan Marco, tranformasi atas konstruksi wajah Semarang awal abad XX patut disesali karena tidak dibarengi dengan perubahan warganya (bumiputera). Marco, mengkritisi sikap bumiputera yang dilenakan oleh kebudayaan Eropa. Sikap itulah yang menjadi sumbu ledak kritikannya tatkala sedang terjadi tranformasi budaya, identitas, dan ruang sosial masyarakat Semarang. Nada kritis pun pernah ditulis Marco lewat surat kabar Pantjaran Warta (1913), Marco mendedah kejumudan bumiputera dengan nada sinis. Dalam tulisan di bawah ini, kita bisa melihat kemurkaan Marco.

“besar sekali sekarang ada djaman kemadjoean, akan tetapi pada bangsa kita (bumiputera) masih banjak jang tinggal moendoer dan belum sadar daripada mimpinja”.

Tatkala perwujudan kapitalisme kian mengganas di Semarang (Hindia Belanda), bumiputera merasa dihanyutkan lewat kejadian-peristiwa yang turut mengubah tatanan kota baik dari segi arsitektur, busana, dan pariwisata. Tersedianya kegemerlapan itu menandakan Semarang kota yang sedang bertransformasi. Bayangan zaman atas kemajuan adat dan kebudayaan hanya sebuah jejak langkah kemunduran yang sebenarnya.

Masuknya industri perkeretaapian (term) di Semarang menjadi penanda awal gairah kapitalisme menggerogoti sendi-sendi kebudayaan lokal. Bentuk pendistorsian nilai budaya itu digawangi oleh tokoh Subriga. Pergumulan identitas di tengah kemelut sejarah pergerakan dan perubahan zaman.

Tokoh Subriga menjadi penanda terjadinya benturan antara identitas lokal dan kepribadian Eropasentris. Ia melacurkan dirinya pada Retna Permata yang dimana ia seorang gundik dari orang Belanda. Pada saat berlibur di tanah kelahiran Retna Permata (Tanah Pasundan), Retna Permata bersekongkol untuk menambah jatah libur Subriga.

“nanti dia saya suruh ketok kawat (kirim telegram) kepada chef-nya, supaya minta tambah verlof barang lima atau tujuh hari lagi” (halaman 104).

Instrumen dengan hadirnya barang-barang kekinian atau modern—pada zaman itu— menuntun Subriga melenakan hidupanya dengan menjadi orang yang apatis dan merepresentasikan individu yang kerdil. Hal ini dibarengi pula dengan komunitas tongkrongan Subriga, seperti Amce dan kekasihnya Retna Permata. Pengubah-alihan sistem produk budaya yang didatangkan kolonial ikut diamini bumiputera sebagai sebuah keniscayaan.

Kita tahu, gemuruh intelektualitas mengatasnamakan ‘nasionalisme’ sedang bergemuruh di awal abad XX. Pergolakan politik kian memanas dan mendebarkan. Modernisme dengan segala kegemerlapannya menjadi wabah yang menyebar dengan segala konsekuensinya. Marco marah. Ia menyalurkan kemarahan dengan menulis, menulis dan menulis.

Pada akhirnya, Marco menjadi bulan-bulanan pihak kolonial. Di sisi lain peneliti Rudolf Mrazek memberi pujian pada Marco lewat bukunya berjudul “Engineers of Happy Land: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni” (2006). Rudolf Mrazek menulis “Mas Marco tampaknya pandai menggores dan meretakan apa saja yang mungkin telah dipoles dan diperhalus di koloni itu”. Marco menjarah dan menjamah budaya kritisisme di masa kolonial. Sisi keglamoran kebudayaan Eropa tidak membuat Marco kapok memberi bantahan dan sangkalan.

Marco akrab dengan tahanan (penjara). Ia hilir mudik mendekam di tahanan atas karya dan kegigihannya menolak bungkam. Boven Digoel menjadi tahanan terakhir Marco, kamp pembuangan yang dicap sebagai tanah neraka. Marco wafat dengan meninggalkan khazanah pengetahuan sastra, pers, dan aktivis pergerakan. Ia meninggal di tanah Boven Digoel pada tahun 1927. Di masa tahanan dan pembuangan di Boven Digoel Marco menelurkan buku terakhirnya yang diberi judul ‘Pergaulan Orang Buangan di Boven Digoel’ (2002) berkat kegigihan Koesalah Soebagyo Toer buku terjamah dan terbaca. []


Penulis:

Oscar Maulana. Mahasiswa UIN Raden Mas Said Surakarta. Berkegiatan di Serambi Kata Solo.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *