Esai
Akar Tradisi dan Meteor Sastra

Akar Tradisi dan Meteor Sastra

SALAH satu nama yang gencar mencipta teks sastra dengan melakukan eksplorasi pada akar tradisi masyarakatnya adalah Muna Masyari. Budi Darma menyebutnya sebagai “sebuah meteor yang datang tanpa diduga, sekonyong-konyong muncul dengan sinar yang memukau.”  Tentu kita berharap, ia akan terus mencipta, bersama-sama para sastrawan muda lain, untuk meneruskan perkembangan sejarah sastra Indonesia.

Saya tak bisa menghindarkan diri dari rasa takjub pada penciptaan cerpen Muna Masyari. Ia memiliki kekuatan spiritual unik karena melakukan autodidak, dibanding dengan para sastrawan yang memiliki pengalaman akademis. Banyak sastrawan muda Indonesia menempuh pendidikan dan petualangan intelektual Barat.    

Hadir dengan kumpulan cerpen Rokat Tase (Penerbit Kompas, 2020), Muna Masyari memberi kesadaran akan nilai-nilai tradisi dan budaya lokal Madura dengan segala mitos yang merasuk ke dunia modern. Ia tak melakukan jalan pintas publikasi teks sastra. Ia menempuh jalan mendaki setahap demi setahap: mengirim teks sastra ke berbagai media massa, dan barulah kemudian membukukannya. Ia berjuang menembus otoritas sastra, redaksi surat kabar dan penerbitan buku. Tentu teks sastra yang dibukukannya telah terpilih secara tema maupun estetika. Dari 20 cerpen dalam buku ini, satu di antaranya, “Kasur Tanah” terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 2017, yang menandai lahirnya tokoh baru cerpenis Indonesia mutakhir.

***

KEMUNCULAN Muna Masyari yang disebut-sebut Budi Darma sebagai meteor sastra Indonesia bukanlah hal yang kebetulan. Ia telah melakukan proses penciptaan teks sastra yang cukup panjang sampai bisa mencipta kumpulan cerpen Rokat Tase. Setidaknya saya menemukan tiga cerpen dalam buku ini yang pernah dipilih dalam cerpen terbaik Kompas: “Celurit Warisan”, “Kasur Tanah” dan “Pemesan Batik”.   

Cerpen “Celurit Warisan” memberikan gambaran akan eksotisme akar tradisi Madura dari mitos yang dibangkitkan kembali dalam konteks sosial masa kini untuk mencapai kearifan. Di tangannya celurit tidak sekadar menjadi senjata pelampiasan dendam kesumat, pembantaian, dan kekerasan. Tapi Muna Masyari memberi makna celurit dengan tiga motif: religiusitas, moralitas, dan mitos. Tiga motif itu dikembangkan Muna Masyari dalam struktur narasi yang dikemas dalam konflik berlumur darah, dalam kisah yang kompleks. Pertama, celurit itu merupakan pemberian kiai sebagai tanda jasa atas pengabdian leluhur pada beliau. Kedua, celurit itu tidak akan melukai orang yang tak bersalah. Ketiga, sukma meluhur menyusup ke dalam celurit setelah ia meninggal. Pembaca memiliki keleluasaan tafsir atas tiga motif yang dikembangkan Muna Masyari dalam konflik batin cerpen.

Cerpen yang menakjubkan tentu saja “Kasur Tanah”, yang terpilih sebagai cerpen terbaik Kompas 2017. Serupa dengan cerpen “Celurit Warisan”, Muna Masyari menyingkap mitos yang berakar dalam kehidupan tradisi masyarakat  membawa konflik batin dalam kehidupan masa kini. Ia memang berkeinginan untuk menyampaikan kesaksian, pengamatan, perenungan, atau bahkan sugesti pada pembaca. Ia memberi makna atas mitos yang berakar dalam kehidupan masyarakatnya dengan tafsir baru. Akan tetapi, dalam cerpen ini, ia masih membentangkan konflik kelam, paradoks kegetiran perempuan pada saat mencari pembebasan dan kebahagiaan dalam perkawinan. Cerpen ini ditutup dengan sebuah rahasia yang disingkap dengan menjungkirbalikkan tatanan religi: lelaki tua yang baru saja menikahi  tokoh permpuan itu ternyata adalah ayah biologisnya.

Pada cerpen “Pemesan Batik” yang termuat dalam kumpulan cerpen pilihan Kompas 2018,  Muna Masyari masih menyingkap mitos yang berakar dalam tradisi kehidupan masyarakatnya. Kali ini ia memanfaatkan kain batik sebagai simbol amarah, dendam, dan pertarungan dengan orang yang berkhianat. Akan tetapi, di akhir cerpen, ia tidak menuntaskan dendam luka jiwa  pengkhianatan dengan kain batik.  Ia menutup cerpennya dengan mengemas kain batik dalam peti kayu jati, dan melarungnya ke lautan. Cerpen ini tidak semuram dua cerpen lain, “Clurit Warisan” dan “Kasur Tanah” yang menyisakan dendam masa silam. Cerpen  “Pemesan Batik” memanfaatkan warisan tradisi sebagai pembebasan konfrontasi masa silam. Tentu Muna Masyari sadar benar dalam hal  memanfaatkan akar tradisi yang melingkupi kehidupannya untuk melakukan “pembebasan” luka masa silam.

Cerpen Muna Masyari, begitu juga novelnya, Damar Kambang (Kepustakaan Populer Gramedia, 2020) menyingkap akar tradisi yang eksotik tanah kelahirannya. Di tangannya, akar tradisi bukan saja menjadi latar, tetapi menjadi pusat obsesi, yang ditafsir kembali dalam kajian makna yang luas. Ia menghidupkan deskripsi akar tradisi itu sebagai roh penciptaan yang menghujatnya melalui perkembangan konflik batin para tokoh, di antaranya menghujat hegemoni kuasa patriarkhi. Hampir serupa dengan Faisal Oddang dalam cerpen “Di Tubuh Tara, dalam Rahim Pohon”, ia membangkitkan akar tradisi sebagai roh spiritualitas dan humanisme yang ditafsir kembali dalam kehidupan mutakhir. Hanya saja, sebagai penulis perempuan, ia menghanyutkan pula ideologi feminisme dalam struktur narasi.     

***

CERPENIS lain yang menampakkan kecemerlangannya bagai meteor dalam langit sastra Indonesia cukup banyak, tetapi mereka belum tentu tertarik pada akar tradisi masyarakatnya. Dalam beberapa teks sastra, mereka menjadi hibrida penciptaan sastra Barat, karena rasa takjub yang berlebihan akan reputasi para sastrawan dunia. Mereka memang mencipta teks sastra dengan kompleksitas dan eksotisme tema. Kita lazim merayakan kecemerlangan eksplorasi fungsi estetika teks sastra mereka. Akan tetapi, sungguh layak disayangkan, mereka tidak berpijak dari akar mitos, filosofi, dan spiritualitas yang berakar dari masyarakatnya.

Para generasi sastra Indonesia yang melejit bagai meteror dalam langit sastra Indonesia itu ditandai kelahiran akhir 1980 sampai 1990-an. Mereka  telah bersaing dengan generasi sastra sebelumnya seperti Ahmad Tohari, Putu Wijaya, dan Seno Gumira Ajidarma. Teks sastra Muna Masyari menjadi menarik karena kekuatan obsesinya pada akar mitos, filosofi, dan spiritualitas masyarakatnya, yang seperti tiada habis dieksplorasi. Ia selalu menemukan ide cemerlang untuk diangkatnya menjadi cerpen maupun novel sebagaimana Damar Kambang  dengan segala pencapaian kompleksitas motif, struktur narasi, dan kisah. []


Penulis:

S. Prasetyo Utomo, lahir di Yogyakarta, 7 Januari 1961. Menyelesaikan program doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes pada 9 Maret 2018 dengan disertasi “Defamiliarisasi Hegemoni Kekuasaan Tokoh Novel Kitab Omong Kosong Karya Seno Gumira Ajidarma”.

Semenjak 1983  ia menulis cerpen, esai sastra, puisi,  novel, dan artikel di beberapa media massa seperti Horison, Kompas, Suara Pembaruan, Republika, Koran Tempo, Media Indonesia, Jawa Pos, Bisnis Indonesia, Nova, Seputar Indonesia,  Suara Karya,  Majalah Noor, Majalah Esquire, Basabasi.

Menerima Anugerah Kebudayaan 2007 dari Departemen Kebudayaan dan Pariwisata untuk cerpen “Cermin Jiwa”, yang dimuat Kompas, 12 Mei 2007. Menerima penghargaan Acarya Sastra 2015 dari Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Menerima penghargaan Prasidatama 2017 dari Balai Bahasa Jawa Tengah.

Kumpulan cerpen Bidadari Meniti Pelangi (Penerbit Buku Kompas, 2005), dibukukan setelah lebih dari dua puluh tahun masa proses kreatifnya. Cerpen “Sakri Terangkat ke Langit” dimuat dalam Smokol: Cerpen Kompas Pilihan 2008. Cerpen “Penyusup Larut Malam” dimuat dalam Pada Suatu Hari, Ada Ibu dan Radian: Cerpen Kompas Pilihan 2009 dan diterjemahkan Dalang Publishing ke dalam bahasa Inggris dengan judul “The Midnight Intruder” (Juni 2018).  Cerpen “Pengunyah Sirih” dimuat dalam Dodolitdodolitdodolibret: Cerpen Pilihan Kompas 2010.

Novelnya Tarian Dua Wajah (Pustaka Alvabet, 2016), Cermin Jiwa (Pustaka Alvabet, 2017). Kumpulan cerpen yang terbaru adalah Kehidupan di Dasar Telaga (Penerbit Buku Kompas, 2020), nomine Penghargaan Sastra 2021 Badan Bahasa.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *