Puisi Narendra Brahmantyo K.R.
Kita barangkali lupa menata kembali buku-buku paket berisi tebusan usia
Sebab kita hanya sibuk mencatat dan mengisi bangku-bangku kosong tempat kita bercerita
Kita barangkali lupa menata kembali buku-buku paket berisi tebusan usia
Sebab kita hanya sibuk mencatat dan mengisi bangku-bangku kosong tempat kita bercerita
“Itu juga tugasku, bukan? Kau tidak salah.” Aku tak akan jatuh pada wajahnya, wujud aslinya sungguh menyala di pikiranku.
Saat seorang kawan bertanya, “apa gunanya menulis puisi?” Saya tentu tidak bisa menjawabnya secara langsung. Saya terkadang tidak mengerti mengapa pertanyaan itu dia ajukan kepada saya dan apakah itu pertanyaan yang benar-benar butuh jawaban atau sekadar mengharapkan respon lain dari saya. Kemungkinan-kemungkinan itu begitu liar di kepala saya.
Tidak dapat dimungkiri bahwa tatanan sosial Madura berpusat pada nilai. Nilai tersebut kemudian mengejawantah ke dalam pelbagai pola kehidupan masyarakatnya. Menjadi ciri khas manusia Madura.
Barangkali apa yang diungkapkan penyair Joko Pinurbo ada benarnya, jika menulis puisi merupakan sebuah ibadah. Sebagai ritual yang memerlukan kerja panjang, secara terus-menerus. Sebab kerja kepenyairan merupakan Langkah yang tanpa henti, saat menempuh dunia sunyi itu. Ia sebagai penyair akan menempuhnya sendiri, mencari setiap diksi dalam puisinya, berkawan dan akrab kepada kata-kata.
PETUALANGAN mencekam sekaligus jenaka terhampar dalam novel Kura-kura Berjanggut karya Azhari Aiyub. Mengambil latar utama abad 16 dan 17, petualangan ini menyuguhkan gerombolan bajingan, bandit, bromocorah, pengkhianat, penjilat, bajak laut atau perompak, dan manusia licik lainnya dalam pusaran Kesultanan Lamuri. Tak pelak, ambivalensi muncul dalam Kura-kura Berjanggut yang menggurita pada tokoh-tokohnya.
aku terlambat sampai di pikiranmu
karena ada kemacetan parah
di rute penafsiran yang dikerubut asap
waswas dan fobia pada banyak variabel
yang hendak menyusun sebuah formula
persamaan dengan sedikit penyesuaian
“Impotensi, Bu? Coba ingat-ingat, apa selama ini Bapak kurang perkasa saat berhubu…,”
Hak asasi tidak lagi asasi. Bila nyawa manusia, sesuatu yang paling asasi, bisa dicabut melalui hukuman mati. Suatu hukuman yang bagi Albert Camus adalah “pembunuhan yang paling terencana”. Bahkan dirayakan bak pesta dengan sorak-sorai massa.
INI pertemuan kita yang kedua puluh dan kata-katamu masih membuatku malu. Meskipun begitu, rasa senang pelan-pelan menyusup dalam rongga dadaku. “Kesal? Untuk apa? Bukankah aku milikmu?” Kukibaskan titik-titik gerimis yang kau cemburui agar kerut di keningmu segera pergi. Berhasil. Kau tertawa. Suara tawa itu agak tertahan. Khas, mengingatkanku pada suara tutup kaleng minuman soda saat dibuka. Mungkin karena aku sangat […]