Cerpen
Ketika Ayah Meninggal

Ketika Ayah Meninggal

Pagi itu ketika Amin  tiba-tiba muncul di pintu rumah, Rahma sedang menyapu di ruang tamu, dan gadis itu kaget bukan main karena mengira sedang berhadapan dengan hantu. Dia berteriak-teriak ketakutan. Suara teriakannya yang menggelegar membuat seisi rumah berhamburan ke ruang tamu, khawatir sesuatu yang buruk telah menimpa gadis itu.

Begitu mereka sampai di ruang tamu dan melihat Amin sedang berdiri di pintu rumah, semuanya mendadak terdiam dengan mulut ternganga. Hanya ibu yang tetap bergerak, melangkah perlahan-lahan mendekati Amin sambil berkata: “Kaukah ini, Nak? Ibu tidak salah lihat kan?”

Amin langsung membungkuk, bersujud menciumi kaki ibu. Ia menangis sesegukan. Ibu mengusap ubun-ubunnya, membelai rambutnya yang gondrong, lalu menyentuh pundaknya, kemudian berjongkok dan memeluknya. Ibu menangis sambil bergumam: “Ibu yakin ini pasti kau,  Sayang. Sejak semula ibu tidak percaya kalau kau sudah mendahului kami.”

***

Sepuluh tahun lalu Amin pergi dari rumah setelah berkelahi sangat hebat dengan Yusuf. Rahma tak tahu persis apa perselisian di antara Amin dengan Yusuf dan bagaimana perkelahian itu terjadi. Waktu itu dia baru 11 tahun dan tinggal di pondok pesantren. Rahma baru tahu peristiwa itu lima tahun kemudian, setelah ayah meninggal dunia.

Saat ayah meninggal, ia pulang melihat ayah untuk yang terakhir kali. Amin tidak pulang, dan Rahma menanyakan ketidakpulangan Amin. Barulah ibu menceritakan kepergian Amin dari rumah.

Kata ibu, tidak ada seorang pun yang menyaksikan saat Amin dan Yusuf berkelahi, tak ada luka pada tubuh Yusuf yang menunjukkan bahwa ia baru berkelahi. Yusuf sendiri bukan anak yang baik. Ia sadar dua hari kemudian di rumah sakit. Begitu sadar, ia bertanya tentang Amin.

Orang-orang yang mengkhawatirkan keselamatannya, yang menjaganya selama dua hari di rumah sakit, mengira Yusuf sedang memberitahu apa penyebab dirinya pingsan selama dua hari.

Cerita kalau Amin telah memukul Yusuf hingga pingsan selama dua hari menyebar. Entah siapa yang menyampaikan kabar yang menyebut Amin telah memukul Yusuf dari belakang. Mendengar kabar ini, Mukhtar, ayah Yusuf, berang dan marah besar. Ia merasa kehormatannya sebagai tokoh masyarakat telah diinjak-injak oleh Amin.

Ia bermaksud membuat perhitungan dengan Amin. Tapi, saat Muktar bersama tiga orang sepupunya bergerak menuju rumah, saat bersamaan Amin sedang berada di dalam sebuah truk yang akan  membawanya ke Jakarta.

Truk itu mengangkut bawang putih. Asalnya dari Medan, dan rencananya membawa bawang putih menuju Pasar Induk Kramat Jati. Amin tidak pernah tahu kalau bawang putih yang dikemas dalam karung itu hanya kedok. Jika dilihat sepintas, isi truk memang bawang putih, dan barang-barang itu ada dalam karung serta ditutup terpal warna biru. Aroma yang diapungkannya juga aroma bawang putih. Tapi, sebetulnya, di bagian dalam truk berisi ratusan paket ganja.

Husin Ahmad, sopir truk, nyaris seumur hidupnya menjadi supir truk pengangkut barang. Pekerjaan itu menggantikan pekerjaan ayahnya. Awalnya ia menjadi kenek jika ayahnya yang membawa, lama-kelamaan ia yang menjadi sopir. Ketika ayahnya mulai tua dan tidak sanggup lagi membawa truk, truk milik keluarga itu akhirnya diserahkan kepada Husin Ahmad.

Husin Ahmad lebih banyak mengangkut hasil panen mulai dari sayur-mayur, buah-buahan, sampai kolangkaling untuk dikirimkan ke Pasar Kramat Jati. Ia hanya mengantarkan, dan barang-barang yang dibawanya sudah ada yang menerimanya. Setelah itu ia akan menerima pelunasan bayaran ongkos, karena sejak awal ia sudah mendapat setengah dari jumlah tarif angkutan.

Hari itu ia tidak punya kenek. Ketika seorang pengusaha menawari pekerjaan membawa bawang putih ke Jakarta, ia merasa dirinya sangat beruntung. Ia memang sedang menganggur, dan pekerjaan itu diterimanya. Ketika si pengusaha memberi syarat bahwa ia tidak boleh membawa kenek, Husin Ahmad langsung menyanggupi.

Dalam perjalanan dari Medan dan tanpa kenek, ia merasa bosan karena tidak punya teman mengobrol. Ia khawatir akan melamun sepanjang jalan, atau malah akan mengebut, dan hal itu dapat membahayakan keselamatannya. Saat melintas di jalan antara lintas Sumatra di sekitar rumah Amin, ia melihat Amin memberi isyarat mau menumpang. Ia segera berhenti dan menyuruh Amin naik. Ia berharap Amin akan mengurangi bebannya selama dalam perjalanan. Butuh dua hari satu malam untuk sampai di Pasar Induk Kramat Jati.

Mukhtar menyuruh tiga kawannya menggeledah rumah setelah ayah mengatakan Amin sudah kabur. Tiga kawan Muktar merangsek masuk rumah, mengobrak-abrik kamar Amin. Hal itu membuat ayah tersinggung, karena meyakini kalau Mukhtar tidak menghargai kejujurannya menceritakan perihal Amin yang sudah beberapa hari tidak pernah pulang.

Ayah sangat sensitif dan gampang tersinggung. Hal-hal yang seharusnya tidak bermakna apapun bisa membuat ayah tersinggung. Mungkin karena ayah tidak bisa berpikir jernih. Alkohol minuman keras yang saban hari diminumnya, membuat ayah tidak pernah mempergunakan logikanya dalam mengambil tindakan apa saja. Tiga orang suruhan Mukhtar dihanlau ayah dari rumah, tapi Mukhta ngotot memaksa mereka mengobrak-abrik seisi rumah. Ayah emosi dan berlari ke dapur mengambil golok, lalu muncul lagi dan bermaksud membacok Mukhtar bersama ketiga orang suruhannya.

Keempat orang itu lari terbirit-birit. Mukhtar mengancam akan datang lagi bersama polisi.

***

Ibu mengaku tidak percaya kalau Amin sanggup memukul orang lain apalagi dari belakang, tetapi ayah percaya Amin sanggup melakukannya. Anak itu, kata ayah tentang Amin, bukan anak yang baik. “Ia akan terus menyusahkan keluarga kita,” kata ayah.

Ayah meyakini kalau Amin telah melakukan kejahatan terhadap Yusuf, dan ia tidak mau bertanggung jawab atas perbuatannya, lalu memutuskan melarikan diri. “Pengecut selalu melarikan diri,” kata ayah.

Ibu tetap membela Amin dan menyalahkan ayah karena tidak pernah berusaha memahami anaknya sendiri. Ayah bergeming dengan penilaiannya yang buruk tentang Amin ketika ayah Yusuf datang lagi, dan kali ini bersama polisi, untuk menangkap Amin.

“Tangkap saja anak itu,” ayah memberi izin kepada polisi untuk menangkap Amin dan menjebloskannya ke penjara.

Saat ayah mengatakan itu kepada polisi, Amin sedang di kantor polisi, baru saja dijebloskan ke sel penjara bersama Husin Ahmad.

Sebuah razia polisi di Pelabuhan Penyeberangan Bakauheni  menahan truk pengangkut bawang putih yang hendak masuk kapal penyeberangan itu. Seekor anjing pelacak milik polisi mengendus bau ganja menguap dari dalam truk itu. Husin Ahmad dan Amin saling pandang, dan keduanya sama-sama menggeleng ketika polisi bertanya apakah mereka membawa ganja atau tidak.

Husin Ahmad menyuruh polisi memeriksa barang bawaannya. Ia menyuruh Amin membuka terpal penutup. Polisi menyuruh anjing naik ke truk, mencari asal bau ganja, dan akhirnya menemukan tumpukan ganja tersembunyi di bawah lantai truk.

Amin menyalahkan Husin Ahmad, sementara Husin Ahmad geram terhadap pengusaha yang menyuruhnya mengantarkan bawang putih.

Di dalam penjara di kantor polisi, Amin meledakkan kemarahannya kepada Husin Ahmad. Husin Ahmad membela diri, mengatakan kalau ia tak tahu menahu tentang ganja-ganja itu, dan ia merasa telah ditipu oleh pengusaha yang menyewanya untuk mengangkut bawang putih ke Pasar Kramat Jati.

“Bagaimana bisa kau tidak tahu?” kata Amin, “truk ini kan milikmu.”

Husin Ahmad tidak menyahut. Di dalam hati ia berpikir, bahwa ganja-ganja itu dimasukkan saat memuat bawang putih. Ia tidak ikut memuat isi truk, tapi menyerahkan truk itu kepada pengusaha tersebut, dan si pengusaha memuat bawang putih itu ke dalam truk sekaligus mengemasnya dengan rapi. Setelah menerima separuh pembayaran, Husin Ahmad kemudian bergerak.

“Aku tahu,” kata Husin Ahmad, “mereka memuat sendiri isi truk itu di dalam gudang di Medan. Di situlah mereka memasukkan ganja-ganja itu. Kurang hajar….”

***

Seorang wartawan televisi menyiarkan berita menemukan 500 kg ganja dalam bentuk paket di dalam truk yang hendak menyeberang di Pelabuhan  Bakauheni. Sopir truk berinisial HA dan kenenknya, Am, ditangkap dan ditahan di Mapolres Lampung Selatan.

Di dalam berita itu disorot wajah Husin Ahmad dan Amin dengan tangan diborgol, berdiri di samping beberapa polisi saat komandan polisi diwawancarai wartawan. “Mereka hanya kurir,” kata polisi, “kami sudah mengantongi nama pemilik ganja-ganja itu.”

Saat polisi mengatakan “mereka hanya kurir”, ibu yang sedang menonton siaran televisi itu merasakan ada yang berdetak di dadanya. Ia merasa mengenali sosok yang muncul di televisi, tapi ibu tidak begitu yakin bahwa sosok itu adalah Amin. Ibu memanggil ayah untuk memastikan bahwa Amin yang muncul di televisi itu.

Ayah memperhatikan dengan seksama, lalu berteriak-teriak: “Aku bilang apa padamu… Anak itu akan terus menyusahkan kita.”

“Aku yakin itu bukan Amin.” Ibu bergeming dengan apa yang dilihatnya. “Anakku tidak mampu melakukan kejahatan seperti itu.”

“Masih juga kau bela anak kurang hajar itu.”

“Jangan bicara seperti itu tentang anakku.”

Ayah mengangkat bahu dan meninggalkan rumah. Ia menggerutu sepanjang jalan, memaki-maki Amin. Ia menyesali kenapa istrinya terlalu membela anak itu, padahal anak itu telah banyak menyusahkan keluarga. Anak itu telah membuat hubungan keluarga menjadi tak harmonis karena kenakalannya sangat keterlaluan.

Sejak awal berkenalan dan memutuskan menikahi Salmina, ibu Amin, ia sudah menolak kehadiran anak itu. Salmina seorang janda ditinggal mati oleh suaminya, Hamdani, ketika anak mereka, Amin, baru berusia dua tahun. Ia mengenali Salmina sejak masih gadis, dan jatuh cinta kepadanya, tapi orang tua Salmina memutuskan menikahkan anak gadis mereka dengan Hamdani.

Dua tahu setelah pernikahan, sebuah kecelakaan hebat di jalan raya telah merengut nyawa Hamdani. Sepeda motor yang dikendarai Hamdani ditabrak orang dari belakang, dan Hamdani meninggal di tempat. Si penabrak tidak pernah ketahuan, dan polisi menyatakan kasus tabrak lari itu tidak pernah terungkap.

Beberapa bulan setelah kematian Hamdani, ia menemui Salmina dan menyatakan niatnya untuk menikahi janda itu. Salmina menolak dengan alasan tidak ingin dikasihani orang lain. Ia mengaku masih mencintai Salmina sama seperti dulu, sebelum Salmina memutuskan menerima lamaran Hamdani.

Setahun setelah Hamdani meninggal, Salmina akhirnya luluh dan menerima lamarannya. Mereka menikah karena ia berjanji akan menerima Salmina apa adanya, termasuk menerima kehadiran Amin di antara mereka. Tapi, setahun setelah pernikahan, ia memperlihatkan gelagat kurang menyukai kehadiran Amin. Ketika memasuki tahun kedua pernikahan, Salmina melahirkan Rahma. Sejak itu, ia semakin tidak menyukai Amin.

*

Entah siapa yang menyebarkan kabar tentang Amin ditangkap polisi di Pelabuhan Bakauheni karena membawa ganja dan akan dihukum mati. Orang-orang menceritakan tentang berita yang mereka lihat di televisi, lalu menyimpulkan bahwa kejahatan yang dilakukan Amin sangat parah karena membahayakan masa depan generasi bangsa. Dengan kejahatan seperti itu, Amin akan dihukum mati.

Orang-orang menanyakan perihal Amin kepada ibunya, tapi ibunya membantah kabar itu. Ayahnya membenarkan kabar itu dan ia mengucapkannya dengan nada penuh kebencian.

“Aku tahu kau tidak menyukai Amin sejak awal karena ia bukan darah dagingmu,” kata ibunya.

Ayahnya diam saja. Tapi, ketika ibunya terus bicara yang intinya menyesalkan sikap ayahnya, ayahnya memilih keluar dari rumah.

Begitulah terus-menerus, situasi di dalam rumah semakin hari semakin tak harmonis. Setiap hari terjadi pertengkaran antara ayahnya dengan ibunya berkaitan tentang Amin. Ayah selalu menyalahkan Amin, menyebutnya sebagai anak yang akan menyusahkan keluarga.

Sementara itu, ibunya berusaha untuk mencari tahu kabar sebenarnya tentang Amin. Ibunya mengkhawatirkan kabar yang menyebar tentang hukuman mati terhadap Amin itu sebagai kabar yang benar. Tapi, jauh di dalam hatinya, ibunya yakin bahwa Amin akan baik-baik saja. Seorang ibu selalu memiliki detak di dadanya tentang anak-anak yang dilahirkannya, pikirnya.

Suatu hari, saat ibunya bermenung tentang Amin, tiba-tiba datang salah seorang tetangga memberi tahu bahwa ayahnya mengalami kecelakaan. Sebuah mobil pribadi menabrak ayahnya saat berjalan kaki di jalan raya sepulang dari kedai tuak.

“Ia sudah dibawa ke rumah sakit,” kata Marjuki, tetangga di sebelah kanan rumah.

Salmina mengurut dadanya,  bergumam dalam hatinya: ‘Tuhan, cobaan apa lagi ini.’ Ia bergegas ke rumah sakit.

***

“Kaukah ini, Sayang?!”  Ibunya tak percaya melihat Amin. “Orang-orang bilang kau ditangkap polisi dan dihukum mati karena kejahatanmu.”

Amin mencoba tersenyum.  Ia peluk ibunya dan membawanya berjalan ke sofa. Rahma pergi ke dapur dan muncul lagi sudah membawa air minum.  Amin menegak minuman dan bercerita bahwa ia memang ditangkap polisi, tapi polisi tahu kalau ia dan sopir truk hanya diperalat. Setelah itu, ia dan sopir truk bekerja sama dengan polisi untuk menangkap pengusaha yang memiliki ganja tersebut.

“Sampai sekarang saya masih bekerja bersama Husin Ahmad. Kami membawa truk dari Medan ke Jakarta. Waktu kami sangat padat, dan saya tidak bisa singgah untuk melihat ibu. Tapi, setelah saya dengar ayah meninggal, saya terpikir untuk pulang,” katanya.

“Kau tahu ayahmu meninggal?” tanya ibu.

Amin menatap Rahma. “Ayah meninggal setelah ditabrak orang,” katanya, kemudian menunduk. “Hidup selalu berulang. Kalau seseorang menabrak orang lain hingga meninggal, orang itu juga akan meninggal dengan cara serupa.”

“Apa maksudmu?” Ibunya mengernyitkan kening. Tiba-tiba ibunya   ingat percakapan terakhir dengan almarhum saat di rumah sakit, beberapa menit sebelum ajal menjemput. Kata suaminya: “Maafkan saya, Salmina. Saya sudah berdosa karena saya yang menabrak suamimu. Saya tidak terima dia menikahimu. Amin dan Yusuf tahu soal itu karena mereka mendengar ocehanku saat mabuk. Aku mengejar mereka dan Yusuf terjatuh hingga pingsan. Aku telah banyak melakukan kesalahan, termasuk terhadap Amin.”[]


Penulis:

Budi P. Hatees lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara,  pada 3 Juni 1972.  Dia menulis cerpen, puisi, esai, dan novel dan sebagian karyanya diterbitkan di berbagai media dan sejumlah buku.  Sehari-hari bekerja sebagai peneliti budaya, sosial, politik untuk Institute Sahata dan Tapanuli Database Center for Researd Culture and Social (Tapanuli Database).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *