Puisi
Puisi Joko Rabsodi

Puisi Joko Rabsodi

CINTA MELEKAT PADA UBUN DADA YANG MEMBELAH

Jangan mengira aku sanggup lupa
tindihan sujudmu di pundakku telah menyelaraskan
rindu yang tercacah dan harus kubayar mahal retak
dari sedap ludah yang keluar
cenderung berlabuh pada sebidang cinta
melekat pada ubun-ubun dadamu yang membelah
damai kutumpangi sukma tanpa perlu musyawarah
dugaan tubuhmu adalah jejal doa yang kusempuh
dari bedug rowatib yang sengaja dipancang tiap sudut
di sana kusangkalkan keluh dari aroma nadimu
harum kening makin mengundang selera jantungku  
berdesing di luar batas ampun

Senyum yang kerap kau pajang
setiap mengawali musim memberi kelahiran nasib
yang tak bisa disandungkan. seperti katamu asmaraloka
tak hanya larut dalam alunan dansa, sekerat rasa yang dimuntahkan
bisa jadi limbah cinta paling hara
menjahit kisah yang kita bangun, tiba-tiba aku teringat adam-hawa
yang dahulu sempat tinggal di kebun ini, angslup dalam gendang
hingga mawar-melati terpenggal kemolekan duri
menoleh ke samping, beragam persoalan mendorong kita
merawat airmata, suara parau ibunda memanggil kita tak punya
pelabuhan di mana akhirnya kapal-kapal berlayar dan kembali ke tanah lapang
begitu sukar segala yang dirasakan tubuh harus menanam resah
sementara keyakinan bermukim di benakmu sudah tak terejawantahkan
menengok ke belakang, sepanjang jalan tetesan ngilu meremasi
pudar pelangi, kita saling merangkul dalam keraguan yang sama

–apakah ini musim yang menelantarkan adam hawa
hingga anaknya saling membunuh demi satu keadilan;                         

Tivani, begitu banyak prosa yang kita tinggalkan
tanpa terasa tangan kita menjalar dari waktu ke waktu
tiba-tiba aku sadar mawar-melati yang terkapar di kebun itu
bukan lagi atas namamu, tapi derita adam-hawa yang sengaja di putar tuhan
untuk edisi tahun ini.
–izinkan kunikmati tragedi suci sembari mendesain istanamu dari daun khuldi yang gugur dari azali!

Madura, 7 oktober 2021

GEMETAR DALAM TANAH KEMATIAN

Lama tak jumpa meski dalam getar kata yang singkat
selembar wajah yang pernah kuhirup parfumnya
menghalau jejak ke tengah muasal      

kamis kemarin selepas isya menjelang
kami bertemu di basecamp pengungsian lalu merenung
setelah sisa pahit ditawar seorang bibi
yang secara lantang mengazani anaknya yang
terkikis bandang, ‘anakku tak berdosa tuan
air gadungan itu merampas tuhan dari bibirnya!’
sepotong zikir menghangati cuaca di antara bau kumal
mata kami mendelik sebab ramallah dan gaza terlukis indah
di bahunya

Terbawa 4 tahun silam gemetar di mulut ranjau
serius mengurut wirid seolah memasuki tanah kematian
potongan kayu dan bekas botol serasa trinitrotoluene[1] yang siap meledak
sudah kau tempuh beragam rasa kecemasan keringatmu
menuturkan kematian menyeruak di kepala
‘tuan, aku hanya relawan bukan takdir kematian tanah ini
beri aku jalan tak peduli kaki mana yang menunjukkan pulang 
aku hanya ingin mati pelan dalam tubuh sendiri’

Suaramu makin glundukan apalagi jerit bibi memecah
syair yang dituang al-busiri[2]
bayang-bayang gaza menyeruk di kedalaman handphone
laron serupa drone yang hendak menyulut bengis pembantaian

seketika matamu menggigil kala ramallah dihujat rudal tanpa alasan
‘Oo, tuan, duka ini terlalu mencekam
di mana mencari teduh nyawa yang tinggal sepenggal
bagi kami hanya tidur tempat paling aman’

Bibirmu terus bergetar seiring ramallah dan gaza bergoncang
tubuh terbungkus hangus pembakaran, tiba-tiba
kesadaranmu terkapar;
‘Oo, mengapa di kotamu kematian begitu payah
manusia sebatas sampah, tangis-tangis terasing
dan bising tempat persujudan
di kotaku kematian begitu ramah
dan airmata bertengger di sekujur rumah’   

Madura, 10 oktober 2021

MANIFESTO DI DEPAN KOPI YANG MASAM

Duduk di manifesto
di depan kopi robusta yang masih hangat
aku diam di antara kenangan yang kau tayangkan
terbayang dalam dadaku, ada nyanyian runtuh
seiring slide-slide disodorkan ke permukaan
aku tak tahu nyala apa yang akan kau bakar dalam benak

semangat untuk sekadar membilas atau membawamu
ke musim yang lain tak terencana secara tanak

Di atas kopi yang masih hangat
kupaparkan wajah untuk mengulas nilai yang sebenarnya
ingin aku buang. jauh
kota ini telah membuatku sibuk untuk menjilat masa silau
tapi sebuah sajak yang kau baca menjadi catatan yang menusuk
tak terasa kopi sehangat itu membeku lalu sunyi di dinding waktu

Sejarah memang tak pernah bosan untuk menagih kenangan yang terhutang
aku tak pernah menjanjikan kisah yang tersulut manggut di museum
meski sekeranjang sampah yang dipoles menawarkan warna lain
tetap sulit diterima keadaan yang bungkam, kita berada di ruang berbeda
walau akhirnya hanya satu pintu menuju pemukiman

Sedianya aku terpesona memanjati rindu yang tumbang 
namun kutengarai senyum yang kau biaskan berkabut sepanjang malam
bagaimana kuangkat sesuatu yang tenggelam sementara tubuhmu sendiri
enggan berenang
radeena, mengapa hidupmu seperti kopi yang kugenggam
hitam dan manis gula yang kau simpan adalah gendam yang berang

Masih di manifesto
di depan kopi robusta yang terasa masam
satu gemuruh bertambah panjang dan memilukan
pekat yang kita sua di suatu kedai
tak mampu menghangati cuaca yang tambah lebam
maka segera kulempar agar rindumu yang menggenang
terkulai di malam buram!

Madura, 20 oktober 2021

KEJANGGALAN SETIAP KALI HUJAN DATANG

Apa yang membedakan tutur rindu
dari setiap lelaki yang tiba dan menjemur dirinya
di batang kasurmu; mereka meramu kasih dari debu matahari yang kasat
tak segan melepas ambruk hidup dari sengat kejanggalan ibu kota
yang katanya menjunjung tinggi peradaban manusia
aku di antara mereka yang masih menyimpan sisa tidurmu
tak bisa memalingkan nasib sejenak pun
berahi yang kita suling ke dalam bekas minuman sampanye[3]
mengacungkan malam senyap di perabotan mata
sesaat hujan mengawinkan langkah, sempurnalah seluruh keadaan
bersama bait-bait yang kita kirab

Mengingat bibir yang sempat kau tiris
ke segenap ruang peristirahatan front one hotel
kucari siapa tahu terekam purnama yang tak bisa membuatku tidur

termangu dalam lidahmu yang sesak sajak-sajak pendek
mudah diingat dan sulit kulupa walau musim saling menyusul
tak ada bekas gincu memang, ruang perhelatan yang dikunci beberapa kali
tak kuasa menahan kecapan kita di malam samar
keanehan apa yang kau kisik, di kamar itu kau rabunkan jarum jam
rokok kretek tersuraukan bahkan tubuhmu terkukur tanpa bilangan

Setiap kali hujan datang,  kuterima salinan rindu yang hijau
sampai kapan pun akan demikian, hujan ini mata rantai yang menyemak
tubuhmu pada alunan subuh yang kutinggal
berulangkali lidahmu mencerna kumparan ngilu yang kusemat
lambat laun kau ajari aku bagaimana memantrai perempuan
; ‘jangan menyisih kesumat kental di tubuh perempuan
sebab lirihnya doa yang tak tertakar

malaikat bisa tenggelam dalam nadanya, tuhan pun tersumbat
di lubang pilu’

Saat hujan membubuhi tubuh
kecantikanmu melesap hinggap ke bloods jacket yang kukenakan
kedua tangan pucat mereka bayang tubuhmu yang mulai terputus
pelan-pelan desir awan menghunus
dan aku mampus di sebelah Sisyphus

Madura, 21 oktober 2021

SANGKAL

Pada mulanya hanya ilusi
bermain romansa semacam mantan toddhu’
di depan langgar Ghâjâm, sebuah atlas pertemuan  yang diarak

sekuat rombongan dipermak payung dan dirempal uang kertas
penanda kita akan diagungkan tuhan dan disaksikan
van der plaas yang pilar-pilarnya menyinggung abad XVI

waktu tak memberikan pilihan
jamuan yang disepakati sigap memaksaku
memberikan kalimat belit; gemetar dalam semu takdir
mencoba memahami beban yang datang, tatapmu yang teramat gigih 
menolak mokhâ blâbâr yang kupapat
ada kelam ranggas di tengah jalan
menuju rumahmu;
—apa yang bisa kukatakan pada ibu
kalau tubuhmu adalah sangkal dari segala zaman
hadir sekadar menemui khidir
—bagaimana dengan bapa
sekelumit bujuk tak mampu derukan riuhmu
berselonjor dalam tegalan nikahan

Madura, 23 oktober 2021

CATATAN:

mantan toddhu’: langgar ghâjâm: semacam surau yang beratapkan jerami, digunakan sebagai tempat peribadatan, yang kemudian sekarang masjid agung assyuhada` yang berlokasi di pamekasan

van der plaas : seorang penguasa pemerintah belanda yang menyetujui perluasan terhadap masjid assyuhada yang berlokasi di pamekasanmadura

mokhâ blâbâr : merupakan salah satu ritual dalam perkawinan di mana pihak pria harus menjawab pertanyaan dari pihak wanita dengan bahasa madura kuno dan didampingi kerabat yang dituakan. Pengantin pria diizinkan bertemu mempelai wanita setelah lolos melalui 7 tirai, tetapi dekadi ini mulai memudar.

[1] Dikenal bom TNT yang pernah diledakkan di Jimbaran, kuta Bali
[2] Syarafuddin Abu `Abdullah Muhammad ibn sa`id ibn hammad ibn mauhsin ibn `Abdullah ash-shinhaji al-bushiri al-mishri pengarang al-Burdah.
[3] Minuman alkhohol bersoda


Penulis:

Joko Rabsodi, lahir di Pamekasan, 11 Juni. Santri yang mengabdi di SMA Negeri 4 Pamekasan, Madura. Karyanya terbit di media cetak dan daring. Antologi terbarunya bersama Sosiawan Leak berjudul Sabda Asmara Luka dan Rindu, 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *