Esai
Ambivalensi dan Absurditas dalam Kura-kura Berjanggut

Ambivalensi dan Absurditas dalam Kura-kura Berjanggut

PETUALANGAN mencekam sekaligus jenaka terhampar dalam novel Kura-kura Berjanggut karya Azhari Aiyub. Mengambil latar utama abad 16 dan 17, petualangan ini menyuguhkan gerombolan bajingan, bandit, bromocorah, pengkhianat, penjilat, bajak laut atau perompak, dan manusia licik lainnya dalam pusaran Kesultanan Lamuri. Tak pelak, ambivalensi muncul dalam Kura-kura Berjanggut yang menggurita pada tokoh-tokohnya.

Dalam jagat sastra poskolonial, ambivalensi muncul pasca tokoh-tokohnya mengalami hibriditas (percampuran) dan mimikri (peniruan). Homi Bhaba dalam tulisan Richard King Agama, Orientalisme, dan Poskolonialisme, 2001, mengurai bahwa hibriditas menyibak ambivalensi dalam sumber wacana tradisional tentang otoritas dan memungkinkan sebuah bentuk subversi, yang ditemukan di dalam ketidak-pastian, yang mengubah kondisi diskursif kekuasaan karena ambivalensi.

Kura-kura Berjanggut menampilkan Sultan Nurruddin sebagai subjek ambivalen yang memiliki ‘sikap mendua’, abu-abu; tidak layak disebut sebagai antagonis, apalagi protagonis. Di satu sisi, Nurruddin menjadi subjek teraniaya, dan di sisi lain, ia menjadi subjek yang melakukan penganiayaan. Tentu saja, gejala ambivalen pada Nurruddin berpangkal pada kronologinya dalam pasang-surut hibriditas dan mimikri, seperti uraian Homi Bhaba.

Tokoh Si Ujud juga hidup dalam tempurung ambivalensi, bahkan absurditas, yang oleh Albert Camus dijabarkan dalam kalimat metafor; bahwa perceraian antara manusia dan hidupnya, antara sang aktor dan pentasnya—itulah perasaan absurditas yang sesungguhnya, dalam Mite Sisifus Pergulatan dengan Absurditas, 1999.

Tipu muslihat mendominasi plot Kura-kura Berjanggut mulai dari ritual kudeta, penghasutan, hingga tabiat culas untuk menikam pesaing dari belakang secara terang-terangan atau ‘bawah tanah’. Novel sepanjang nyaris seribu halaman (960 halaman) terbitan baNANA cetakan ketiga tahun 2019 ini membelalakkan mata ikhwal dunia maritim di Nusantara yang dipenuhi praktik dan intrik untuk menggulingkan kekuasaan Sultan Nurruddin, penguasa Lamuri.

Ketika Sultan Nurruddin berkuasa, Lamuri di jalur strategis Selat Melaka, menjadi magnet dunia karena rempah-rempah, khususnya merica, yang bercokol di tanahnya. Penjelajah dunia pun berlomba-lomba memikat Nurruddin agar berkenan menjalin kongsi—tentu saja kongsi licik dengan maksud kudeta atau minimal menjarah merica dengan harga murah, bahkan cuma-cuma.

Pelaut-pelaut dari Peranggi (Portugis), Prancis, Belanda, Usmani, dan Negeri Atas Angin lainnya berbondong-bondong menuju Lamuri dengan maksud dan tujuan sama; menjagal Sultan Nurruddin dan mengangkut merica ke lambung kapal masing-masing. Keculasan dan kelicikan yang mendominasi, membuat novel ini ‘nyaris’ tak memiliki protagonis. Toh, Sultan Nurruddin meraih kedudukannya dengan skema kudeta yang disusun secara licin, apik, dan licik selama di penjara. Ia mencuci otak kaum terpidana agar setia kepadanya, tapi tanpa disadarinya, ia sekaligus melahirkan oknum-oknum pengkhianat dari rahim muslihatnya.

Nurruddin menjadi pusat kisah dalam bab pertama novel; Buku Si Ujud—berisi reportase Si Ujud mengenai Lamuri, upaya kudeta terhadap Nurruddin, hubungan bilateral dengan sindikat bajak laut, kehidupan pribadinya, komplotan radikal ‘bawah tanah’, termasuk petualangannya ke Istanboel untuk memperdalam ilmu kelautan. Si Ujud adalah orang kepercayaan sekaligus target pembunuhan oleh Nurrudin, pun sebaliknya; sebagai sangkilat, Si Ujud mengabdi sekaligus ingin menumpas Nurruddin—terbelenggu dal am tempurung ambivalensi. Jati diri Nurruddin ditelanjangi oleh Si Ujud dalam bab pertama. Sebutan Anak Haram disematkan oleh Si Ujud kepada Sultan Nurruddin, merujuk pada ‘ketiadaan’ ayah biologis.

Lamuri dalam Kura-kura Berjanggut menjadi primadona di Negeri Bawah Angin, suaka mahalezat para penjelajah dunia, serta melahirkan petaka bagi Lamuri sendiri. Taman Mini Dunia pun pantas disematkan dalam Kura-kura Berjanggut karena berisi petualangan (travel writing) yang hampir—ya hampir!—mencakup luas Bumi.

Meskipun sastra dan sejarah adalah jagat yang berbeda, namun Kura-kura Berjanggut bisa menjadi ‘alternatif’ untuk menggeledah kesilaman Nusantara khususnya Lamuri dan gejolak pada Selat Melaka. Azhari Aiyub lebih banyak mengumbar penamaan geografis Kepulauan Sulu yang pada glosari dijelaskan merujuk wilayah Nusantara; termasuk Samudra Pasifik, Indonesia, Filipina, dan Malaysia modern.

Bab kedua dalam novel ini; Buku Harian Tobias Fuller—jauh melompat ke era kolonialisme Hindia Belanda di wilayah Lamuri atau tiga abad setelah reportase Si Ujud. Tobias Fuller, dokter jiwa sekaligus aparatur Pemerintah Hindia Belanda, merekam sejumlah kejadian-kejadian janggal, termasuk persinggungannya dengan Abdoel Gaffar; nama Islam dari Snouck Hurgronje (1857-1936) mata-mata yang ditugaskan oleh Jenderal Van Heutsz untuk menyadap aktivitas pribumi. Tupoksi Abdoel Gaffar mirip dengan tokoh Jacques Pangemanann dalam novel Rumah Kaca Pramoedya Ananta Toer yang diinstruksikan untuk memata-matai pribumi, termasuk protagonis Minke. Pun demikian dengan Tobias Fuller, melalui buku hariannya, ia pun memata-matai gerak arus pribumi di Lamuri.

Menariknya, Azhari Aiyub menghadirkan tokoh pustakawan bernama Bantaqiah Woyla sebagai ‘semacam editor’ untuk mengupayakan terbitnya Kura-kura Berjanggut yang di dalamnya berisi, antara lain Buku Si Ujud dan Buku Harian Tobias Fuller. Bantaqiah Woyla, ‘sosok pelarian’ yang bersuaka di Amsterdam adalah pewaris dua buku tersebut. Ia mendapatkan manuskrip Buku Si Ujud dan Buku Harian Tobias Fuller dari Tajul Muluk, pamannya, tahanan politik yang dieksekusi mati oleh Pemerintah Indonesia.

“Buku Si Ujud” ditulis dalam aksara Arab-Melayu dan bahasa Melayu yang pada abad ketiga belas telah digunakan di Samudera Pasai. Sementara “Buku Tobias” dalam bahasa Belanda (Kura-kura Berjanggut, halaman 917).

Dua manuskrip itu, oleh sebuah rasa penasaran, memaksa Bantaqiah Woyla melakukan riset tentang Lamuri, lebih-lebih tentang Si Ujud dan Tobias Fuller. Pergaulannya sebagai pustawakan yang sering berhubungan dengan kaum penulis dan peneliti, membawa Bantaqiah Woyla pada temuan arsip-arsip yang bersimpul dengan kisah Si Ujud dan Tobias Fuller. Arsip-arsip ini, yang ditulis oleh sejumlah penulis, dijadikan pendukung oleh Bantaqiah Woyla dalam keseluruhan Kura-kura Berjanggut, berada pada bab ketiga; Lubang Cacing.

Di antara arsip yang dijadikan pendukung oleh Bantaqiah Woyla, ada yang ditulis oleh Jean Claude, utusan Raja Prancis di Lamuri pada 1613.

Jurnal itu mencakup kisah perlawatannya sebagai duta Raja Prancis ke India dan Asia Tenggara menjelang terbunuhnya Raja Henri IV… Untuk lengkapnya aku menerjemahkan beberapa halaman catatan perjalanan tersebut dan memasukkannya ke dalam Lubang Cacing—suatu istilah yang digunakan oleh Jean untuk menggambarkan ingatannya yang rapuh (Kura-kura Berjanggut, halaman 918).

Di atas sudah disinggung soal kemustahilan protagonis dalam plot utama novel Kura-kura Berjanggut, tentunya merujuk pada carut marut Lamuri di abad 16-17. Namun, di bagian akhir novel, Bantaqiah Woyla tampil sebagai protagonis ‘dalam konteks lain’ yang menjadi dalang atas ‘terbitnya’ Kura-kura Berjanggut di masa Pemerintahan Indonesia.

Secara keseluruhan, novel ini terdiri dari bab pertama Buku Si Ujud, bab kedua Buku Harian Tobias Fuller, bab ketiga Lubang Cacing, dan ‘epilog’ Catatan Bantaqiah Woyla. Persinggungan Bantaqiah Woyla dengan manuskrip Si Ujud dan Tobias Fuller mengantarkannya pada simposium Peringatan Satu Setengah Abad Abdoel Gaffar, tahun 2007.

Di luar itu semua; Woyla bukanlah satu-satunya nama dalam novel Kura-kura Berjanggut. Pasalnya, di bab pertama, pada kisah ke-10 berjudul Gajah Buta, ada tokoh bernama Woyla. Woyla di bab pertama ini jelas bukanlah Bantaqiah Woyla di bab ketiga atau ‘epilog’. Woyla di bab pertama adalah pengasuh gajah bernama Si Jagat.

Si jagat dituntun oleh seorang anak perempuan berusia tiga belas tahun, kurus, lebih besar sedikit ketimbang belalai gajah itu. Tubuh gadis itu dililit kain hitam, tanda bahwa dia orang hukuman… Anak perempuan itu bernama Woyla, ayahnya adalah Abdul Rauf, pemilik Si Jagat (Kura-kura Berjanggut, halaman 347-348).

Bentuk novel Kura-kura Berjanggut mengingatkan saya pada keseluruhan serial Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer; Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Pada Tetralogi Buru, pada tiga novel awal di atas yang disebutkan berurutan, dinarasikan oleh protagonis Minke dalam wujud buku harian atau memoar. Kemudian, di novel keempat, Rumah Kaca, narator berganti Jacques Pangemanann. Di sinilah letak kesamaannya dengan Kura-kura Berjanggut, Pangemanann menyerahkan tiga buku harian Minke (Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah) kepada ibu mertua Minke, Nyai Ontosoroh; mirip dengan adegan Tajul Muluk, sebelum menjalani hukuman mati, mewariskan manuskrip Buku Si Ujud dan Buku Harian Tobias Fuller kepada Bantaqiah Woyla.

Kura-kura Berjanggut juga memiliki napas yang sama dengan novel Arus Balik karya Pramoedya Ananta Toer. Bukan hanya karena keduanya berlatar abad 16-17, namun keduanya merajut kisah tentang kekuatan maritim ‘dalam negeri atau lokal’ yang sedang dicengkeram oleh kekuatan asing dari Negeri Atas Angin (di utara Khatulistiwa). Kepulauan Sulu atau Nusantara pada latar tersebut disebut sebagai Negeri Bawah Angin (di selatan Khatulistiwa).

Jika Kura-kura Berjanggut mengambil latar utama di Lamuri (cikal bakal Aceh), maka Arus Balik mengambil Tuban, Pulau Jawa, sebagai latar utamanya. Benang merahnya, kedua novel bergerak menuju latar Melaka yang sama. Wiranggaleng, protagonis dalam Arus Balik, memimpin pasukan Tuban (sisa kejayaan Kerajaan Majapahit) dalam pertempuran melawan serdadu Peranggi (Portugis) di jantung Melaka. Apa yang dilakukan Wiranggaleng, juga terjadi pada Sultan Nurruddin yang memerintahkan pasukannya untuk menaklukkan Melaka.

Bedanya, Wiranggaleng berjuang dengan sebangsanya, tanpa bantuan asing. Tapi Nurruddin menembus Melaka dengan bersekutu dengan kekuatan Usmani (Turki saat ini). Wiranggaleng tampil sebagai protagonis, sedangkan Nurruddin tampil sebagai pribadi ambivalen. Ingat, Nurruddin pernah teraniaya ketika dijebloskan ke dalam penjara Lamuri dan, jangan lupa, ia juga kreator penganiayaan terhadap komplotan pemberontak, yang dianggapnya berpotensi melakukan kudeta, termasuk tentang bagaimana Nurrudin memperlakukan Si Ujud.

Di satu sisi, Nurruddin memelihara Si Ujud seperti seekor sapi, dan di sisi lain, kelak Nurruddin ingin menjagal sapi peliharaannya, menyuguhkan daging sapi tersebut kepada harimau-harimau peliharaannya. Tapi, tanpa disadari Nurruddin, harimau-harimau perliharaanya sedang menyusun rencana untuk menerkamnya. Absurditas para tokoh saling tumpang tindih dalam Kura-kura Berjanggut.


Penulis:

Eko Darmoko, prosais kelahiran Surabaya. Cerpen-cerpennya dimuat Harian Kompas, Koran Tempo, Jawa Pos, dll. Buku kumpulan cerpennya Revolusi Nuklir (BasaBasi, 2021) masuk 10 besar Kusala Sastra Khatulistiwa 2021. Kumpulan cerpen lainnya Ladang Pembantaian (Pagan Press, 2015). Bergiat di Komunitas Sastra Cak Die Rezim Surabaya. Instagram @ekodarmoko

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *