Cerpen
Balada Rokok

Balada Rokok

Sumi kesal bukan main. Pasalnya, Tarjo, suaminya, mengingkari janji yang terucap dari mulutnya sendiri. Seminggu yang lalu, Tarjo bilang akan berhenti merokok. Tentu saja Sumi langsung merasa lega tak terkata dengan  janji yang diucapkan dengan raut serius dari mulut sang suami. Sebab selama ini rumahnya terasa sangat pengap oleh asap rokok suaminya yang dalam sehari bisa menghabiskan satu bungkus rokok kretek.

Telah puluhan kali Sumi menegur kebiasaan merokok suaminya. Bermacam kalimat dilontarkan Sumi dengan harapan Tarjo berhenti merokok. Misalnya, Sumi mengatakan bahwa merokok itu tidak baik buat kesehatan, bisa menyebabkan beragam penyakit, bahkan impotensi. Saat mendengar kata ‘impotensi’ dari bibir tipis sang istri, Tarjo langsung tergelak.

“Impotensi, Bu? Coba ingat-ingat, apa selama ini Bapak kurang perkasa saat berhubu…,”

“Sudah, sudah, Bapak ini kalau diajak bicara serius, pasti ngelantur,” Sumi, dengan raut cemberut, terburu memotong ucapan suami dan segera melanjutkan aktivitasnya di dapur. Sementara Tarjo masih tergelak-gelak di ruang tamu sembari menyulut rokok kretek yang barusan dilolos dari bungkusnya.

Pernah juga Sumi berkata bahwa merokok itu sama dengan membakar uang. Pemborosan. Kemubaziran. Daripada terbakar sia-sia, mending buat tambahan beli beras dan lauk pauk. Tapi, apa jawaban Tarjo? Lagi-lagi membuat Sumi merasa dongkol tak kepalang.

“Beras kalau sudah jadi nasi juga dimakan, lalu masuk ke dalam perut, lalu ujung-ujungnya dikeluarin juga lewat jalan belakang,” Tarjo terkekeh panjang dan sukses membikin raut Sumi merah menahan amarah.

Sialnya, Sumi tak pernah bisa menang bila berdebat dengan suaminya. Paling yang bisa dilakukannya hanyalah meracau, mengomel, sementara suaminya malah terkekeh dengan kelakuan istrinya.

Maka, ketika suatu hari Tarjo bilang ingin berhenti merokok, Sumi merasa senang tak terkata. Ia bahkan langsung mengangkat kedua tangan seraya berucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena doa-doa yang ia panjatkan sehabis shalat lima waktu setiap hari agar suaminya berhenti merokok akhirnya diijabah juga.

Sebenarnya, Sumi merasa sangat penasaran, perihal alasan suaminya berhenti merokok. Karena selama ini belum pernah ia melihat ada perokok kelas berat yang tiba-tiba bertobat tanpa alasan. Namun Sumi merasa enggan bertanya karena khawatir bila pertanyaan tersebut malah menjadikan suaminya tersinggung dan menarik ucapannya kembali.

***

Tarjo memang benar-benar berhenti merokok. Tapi hanya seminggu. Ya, seminggu. Tak lebih. Tak kurang. Nyatanya, lelaki dengan kulit sawo matang bertubuh tambun itu tak kuat membendung hasratnya untuk kembali menyalakan rokok kretek dan mengisapnya melalui bibirnya yang tebal kehitaman. Sumi yang semula sudah merasa sangat lega saat melihat keseriusan suaminya untuk berhenti merokok, tentu merasa sangat kecewa dan langsung mencecarnya tanpa ampun.

“Bukannya Bapak sudah berjanji akan berhenti merokok? Kenapa ingkar janji? Ingkar janji itu dosa lho, Pak? Sampean nggak takut dosa?”

Tarjo terdiam. Tidak membalas. Tidak juga terkekeh seperti biasanya. Ia tetap asyik merokok dengan khusyuk di ruang tamu yang mulai pengap oleh kepul asap rokok. Seolah-olah ia tak mendengar rentetan kalimat bak puluhan peluru yang melesat tajam dari bibir istrinya. Seolah-olah ucapan istrinya barusan hanya angin sepoi sepoi yang masuk melalui celah pintu dan jendela. Tak jua mendapat respon suami, Sumi memilih ngeloyor ke dapur sambil ngomel-ngomel sendiri. Anehnya, Tarjo tak sedikit pun membalas omelan istrinya sebagaimana biasanya. Ia malah tampak merenung, sambil terus mengisap-embuskan rokok kreteknya.

***

Tanpa sepengetahuan Sumi, sebenarnya Tarjo tengah memendam masalah serius yang berkaitan dengan harga dirinya sebagai seorang lelaki. Minggu yang lalu ia memang langsung bertekad akan berhenti merokok setelah mengetahui nasib yang menimpa Warto, teman kerja di perusahaan kayu di daerahnya. Kepada Tarjo, Warto dengan wajah sedih bercerita bahwa dirinya telah divonis oleh dokter mengidap kanker paru-paru akut akibat terlalu banyak merokok.

Warto akhirnya menuruti apa kata dokter dan memutuskan untuk berhenti merokok sebab ia masih ingin hidup di dunia lebih lama. Tarjo sendiri merasa heran dan aneh dengan dirinya sendiri, mengapa ia tiba-tiba menjadi sangat takut usai mendengar Warto bercerita tentang penyakitnya. Padahal biasanya ia malah tertawa tergelak-gelak bila diceramahi perihal bahaya merokok oleh istrinya.

“Sebaiknya kamu berhenti merokok saja, Jo, sebelum sakit-sakitan kayak aku dan divonis dokter mengidap penyakit yang mematikan,” ujar Warto usai bercerita. Tarjo seperti seekor kerbau yang dicocok hidungnya, langsung mengangguk saja. Tentu saja alasannya berhenti merokok waktu itu tak ia ungkapkan kepada Sumi. Ia hanya mengatakan ingin berhenti merokok. Itu saja. Dan Tarjo merasa bersyukur ketika Sumi tak menanyakan alasannya mengapa tiba-tiba ingin berhenti merokok. Karena bila tahu alasannya, bukan tidak mungkin Sumi akan berkata, “Aku bilang juga apa, merokok itu hanya buang-buang uang dan mendatangkan penyakit, Pak!”

***

Tarjo masih asyik dengan rokok dan kopinya di teras rumah. Sembari mengisap rokok, ia merenungi kembali persoalan yang tengah membelit dadanya. Ketakutan Tarjo pada penyakit kanker paru-paru ternyata mengalahkan ketakutan lain yang berkaitan dengan harga dirinya sebagai seorang lelaki. Kemarin malam, saat ingin melakukan hubungan intim dengan Sumi, ia langsung kalang-kabut saat kelelakiannya terasa loyo. Kepada Sumi ia beralasan tiba-tiba pinggangnya sakit sehingga batal memberikan nafkah batin. Sumi pun memahami karena ia tahu pekerjaan suaminya memang berat.  

Tarjo menduga perihal yang menyebabkan loyo pada kelelakiannya ialah karena ia telah berhenti merokok. Karena Tarjo masih ingat benar, malam sebelum memutuskan berhenti merokok, ia masih bisa menuntaskan hasrat berahinya kepada Sumi. Bila seminggu terakhir ini ia tak melakukan hubungan intim dengan Sumi lantaran Sumi sedang datang bulan. Dan kemarin malam Sumi baru saja suci dari haid.

Itulah yang menyebabkan Tarjo mengingkari janjinya sendiri. Ia kembali merokok dan merokok. Sehari bisa menghabiskan satu bahkan dua bungkus rokok kretek. Tak ayal hal itu membikin Sumi kian pedas melontarkan omelan padanya. Namun, entah mengapa Tarjo merasa tak lagi bernafsu mendebat istrinya. Ia juga tak lagi tertawa hingga tergelak-gelak saat mendengar ceramah Sumi yang tak henti-henti agar ia segera berhenti merokok.

Dan, kecemasan Tarjo kian menjadi-jadi ketika seminggu telah berlalu tetapi kelelakiannya tak kunjung pulih. Tetap loyo. Padahal ia sudah tak tahan ingin segera berhubungan intim dengan istrinya.[]

~Puring Kebumen, 5 Januari 2018.


Penulis:

Sam Edy Yuswanto, lahir dan berdomisili di kota Kebumen Jawa Tengah. Penulis lepas di berbagai media. Ratusan tulisannya (cerpen, opini, resensi buku, dll) tersiar di berbagai media massa seperti: Jawa Pos, Republika, Koran Sindo, Kompas Anak, Suara Merdeka, Radar Surabaya, Radar Bromo, Radar Banyumas, Riau Pos, Kedaulatan Rakyat, dll. Buku kumpulan cerpennya yang telah terbit antara lain: Percakapan Kunang-Kunang, Kiai Amplop, Impian Maya, Kaya dan Miskin, dan Filosofi Rindu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *