Resensi Buku
Perempuan dan Puisi

Perempuan dan Puisi

Judul Buku : Puasa Puisi (kumpulan puisi)
Penulis      : Widya Mareta
Penerbit  : Indonesia Tera, Yogyakarta
Tahun         : Juni 2021
Tebal          : v + 73 halaman

Barangkali apa yang diungkapkan penyair Joko Pinurbo ada benarnya, jika menulis puisi merupakan sebuah ibadah. Sebagai ritual yang memerlukan kerja panjang, secara terus-menerus. Sebab kerja kepenyairan merupakan Langkah yang tanpa henti,  saat menempuh dunia sunyi itu. Ia sebagai penyair akan menempuhnya sendiri, mencari setiap diksi dalam puisinya, berkawan dan akrab kepada kata-kata.

Puisi dengan balutan imajinasi seperti membentuk dunianya sendiri. Ia menghadirkan sesuatu yang baru, bahkan ketika berangkat dari keseharian sekalipun. Maka ia merupakan sebuah saringan dari setiap makna, ia bahkan menciptakan maknanya sendiri, yang bisa jadi terang ataupun gelap. Ia bisa saja mengambil tema-tema yang membumi, tapi di tangan penyair tetap akan meninggalkan jejak tersendiri. Sebuah ciri dan kekhasan yang diungkapkan dalam setiap susunan kata. Akhirnya memang puisi lebih menyentuh sisi-sisi batin dari setiap personal, ia semacam tepukan di pundak, yang menjaga ruang bawah sadar.

Dan puisi, lewat imaji kata-katanya mampu menembus segala sekat. Bahkan ia mampu merebut setiap hal-hal getir kemudian menghasilkan daya ledak sendiri. Ia menyisakan getar di dalam dada, jauh di relung palung terdalam.

Adalah Widya Mareta, seorang penyair yang menuliskan sejumlah hal tersebut dalam puisi-puisinya. Di buku ini, ia berkisah banyak, terkadang turut menyelipkan sejumlah komedi—namun saat membacanya terasa jika ia membuat perenungan atau semacam refleksi akan kehidupan itu sendiri. Meskipun ia mengambil tema-tema besar semacam ibu, liku-liku dunia perempuan, atau tentang puisi itu sendiri. Ia mencatatnya dengan utuh kemudian menyelipkan pelbagai pertanyaan akannya.

Simak saja puisi pembuka buku ini yang cukup menyentak: doa ibu adalah langit, lalu tuhan menjadikannya teduh./doa ibu adalah tanah, lalu tuhan menjadikannya penuh./doa ibu adalah ruh, lalu tuhan menjadikannya utuh.// (Puisi “Doa Ibu”, hal. 1). Di sini ia menyiratkan akan keajaiban doa seorang Ibu, yang ternyata dipenuhi dengan kemagisan. Sosok Ibu yang merupakan perwujudan dari tangan Tuhan, sebuah penafsiran yang luas akannya ditambah dengan ketertibannya dalam diksi—membuka medan tafsir yang panjang.

Pun dalam puisi pendek lainnya, Widya menulis dengan kesegaran imajinasi. Ia seperti menciptakan “bahasa”-nya sendiri dalam puisi. Ia gambarkan ihwal percintaan yang ambigu: suatu malam aku pergi ke tubuh sebuah lipstick/dan tak pernah kembali//(Puisi “Asmarandana”, hal. 46). Atau ketika dirinya bercakap tentang pubertas, dunia keperempuan dengan mengucap: astaga!/lingkar dadaku telah bertambah!//(Puisi “Prosesi Perenggutan Masa Kecil (II), hal. 49).

Dunia Perempuan
Sebagian besar puisi dalam buku ini, memang banyak mengambil tema besar ihwal perempuan. Segala serba-serbi, pernik-pernik kehidupan kaum hawa banyak diangkat. Kebetulan pula penulisnya juga perempuan—yang secara tidak langsung turut terlibat dan berkubang di pusara itu. Maka sejumlah diksi semacam lipstik, janin, bayi, ibu banyak hadir di puisi-puisinya.

Widya dengan lugas dan dalam berupaya memaparkan meskipun tidak secara kasat mata terhadap kehidupan kaumnya. Sesekali ia juga turut mempertanyakan walaupun tidak memberikan jawaban secara utuh. Ia membiarkan para pembaca untuk menyadap sebanyak-banyaknya makna dari susunan kata-kata yang ditawarkan.

Pembaca, dengan pengetahuan yang melingkupi dirinya, sebenarnya turut sadar pula membentuk makna yang baru. Meskipun “pengarang” membebaskan dirinya dari karya, namun ia tetap menunggu pemaknaan final terhadap karyanya. Kejernihan karya yang didapatkan pembaca lebih merupakan ruang yang berbeda, dengan catatan karya tersebut tidak berisikan teks yang interogratif. Sebab teks yang interogratif membuat pembaca gelisah, teks serupa ini tidak memberikan informasi, melainkan mengundang reaksi pembaca untuk memberi jawaban pada pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam teks.

Teks memang merupakan rangkaian kata-kata yang ajaib, tidak menuntut susunan baku yang ada laiknya dalam ilmu-ilmu pengatahuan pasti. Proses pembacaan yang jernih dari pembaca akan menghasilkan komunikasi yang terbuka. Dengan membiarkan makna yang ada di dalamnya masuk dan terserap ke dalam pikiran pembaca. Adakah kegagalan penafsiran yang timbul di antara pembaca, satu sama lain, karena kesalahpahaman pembacaan? Mungkin saja, tetapi setidaknya ada kejernihan dalam mengelola kepustakaan teks yang hinggap dalam tubuh teks.

Ia mendedahkan perempuan dengan barisan kata-kata yang ajaib dengan turut menyeret sejumlah alogari dan mitologi tentangnya: ibu membikin uterus dari kata-kata,/lalu keresahanku lahir dari sana//ada seekor capung mengunyah tubuh masa lalu/Bersama sari-sari dari pusar,/juga sisa madu pada putting yang menghitam dipagut cerita.//ibu bilang, aku adalah perempuan/yang tumbuh dan tumpah dari air mata maria,/dimatangkan dari api pengorbanan ifigenia,/bersolek manis dalam untaian rambut subdara,/senyap berendam di balik singkap gaun Ophelia,/hingga kemudian terbangun dari mimpi-mimpi zulaikha.// (Puisi “Arsitektur Perempuan”, hal. 23)

Teks yang hadir dalam puisi Widya tak berhenti sebagai makna tunggal. Kemajemukan tafsir senantiasa muncul dengan tiba-tiba. Maka ia menjadi kaya dengan pelbagai khazanah yang melingkupinya. Artinya memang ia tak menyuguhkan realita secara bulat di hadapan pembacanya. Namun dengan racikan diksi yang ditulisnya turut mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan lain. Kemungkinan yang membuka citraan baru.

Pada akhirnya memang puisi adalah ramuan kata-kata yang berpangkal pada rasa. Setiap kali bertemu dengan puisi yang bagus, tidak jarang ada yang bergetar ketika membacanya. Penyair Acep Zam-zam Noor membuat tolak ukur batasannya dengan bulu kuduk. Betapa dengan citraan diksi puisi dapat menyentuh lubuk paling dalam dari diri manusia.

Widya sebagai penyair yang mulai berekecimpung dalam dunia ini, setidaknya telah turut mencatatnya. Ia telah berupaya melompati Batasan-batasan imajinasi, menyusun kata demi kata, dan memberikan sebentuk Bahasa yang lebih segar daripada sbeelumnya.

Sebagaimana kita tahu, dengan perkembangan teknologi seperti saat ini, ditambah pula dengan modernitas yang ajaib, melalui media daring yang terus tumbuh bagai jamur di musim hujan, berita yang silih berganti dengan hoax; adakah puisi mendapatkan tempat di dalam kenangan setiap orang? Ah, betapa panjang pula perjuangan puisi hari ini, dengan sejumlah dekapan kata-kata slogan—yang menjelma jadi iklan di televisi seperti melenyapkan sisi kepekaan kita. Walaupun kita juga bahagia (bangga) dalam sejumlah film nasional teranyar, sajak masih mendapatkan tempat. Ada suasana baru yang dibangun, ada usaha untuk terus menghidupkan puisi dari dalam kepala kita. Membuka lapisan-lapisan ingatan dengan menyentuh kembali batin kepekaan kita.

Namun Widya—penyair kelahiran 1994 mendeskripsikan tentang pembacaan dengan tenang dan tertib. Ia menulis: buku-buku itu hilang dari ruang baca,/sisakan rak kosong menampung udara../bau kertas memudar/sebelum sempat terserap dalam ingatan aroma./kaubilang, buku-buku itu tidak lenyap,/hanya terseret ke dalam lupa yang sangat hebat.//tidak ada lagi kisah tentang anak kecil/ yang kesakitan karena baru belajar jatuh,/atau dongeng tentang kesatria/membawa pulang namanya jadi ejaan yang sia-sia.//kini kita tersisa sebagai bagian dai novel yang telanjang./aku memperkenalkan diriku sebagai kumpulan/spasi di antara barisan kalimat,/kau adalah titik tak terlihat,/berdiri tepat di samping kata tamat.// (Puisi “Ruang Baca”, hal 70) []


Penulis:

Alexander Robert Nainggolan (Alex R. Nainggolan) lahir di Jakarta, 16 Januari 1982. Bekerja sebagai staf Unit Pengelola Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (UPPMPTSP) Kota Adm. Jakarta Barat. Menyelesaikan studi di FE Unila jurusan Manajemen. Tulisan berupa cerpen, puisi, esai, tinjauan buku terpublikasi di media cetak dan online.
Pernah dipercaya sebagai Pemimpin Redaksi di LPM PILAR FE Unila.
Bukunya yang telah terbit Rumah Malam di Mata Ibu (kumpulan cerpen, Penerbit Pensil 324 Jakarta, 2012), Sajak yang Tak Selesai (kumpulan puisi, Nulis Buku, 2012), Kitab Kemungkinan (kumpulan cerpen, Nulis Buku, 2012), Silsilah Kata (kumpulan puisi, Penerbit basabasi, 2016).
Beberapa kali memenangkan lomba penulisan artikel, sajak, cerpen, karya ilmiah di antaranya: Juara II Krakatau Award Lomba Penulisan Puisi tingkat Nasional yang ditaja Dinas Pariwisata Provinsi Lampung (2017), Puisi Umum Terbaik tingkat nasional yang ditaja Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Prov. DKI Jakarta bekerja sama dengan Yayasan Hari Puisi (2019), Juara II Lomba Cipta Puisi HB Jassin yang ditaja Bengkel Deklamasi Puisi dan Dispursip Prov. DKI Jakarta (2019).
Facebook: [email protected] Alex R. Nainggolan
Email: [email protected]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *