Esai
Apa Gunanya Menulis Puisi?

Apa Gunanya Menulis Puisi?

Saat seorang kawan bertanya, “apa gunanya menulis puisi?” Saya tentu tidak bisa menjawabnya secara langsung. Saya terkadang tidak mengerti mengapa pertanyaan itu dia ajukan kepada saya dan apakah itu pertanyaan yang benar-benar butuh jawaban atau sekadar mengharapkan respon lain dari saya. Kemungkinan-kemungkinan itu begitu liar di kepala saya. Urusan puisi memang terkadang rumit untuk dijelaskan. Namun, saat mendapati pertanyaan serupa saya selalu teringat dengan sejumlah tulisan Rainer Maria Rilke.

Dia pernah menulis sejumlah surat kepada Franz Kappus, seorang kadet perwira usia 19 tahun di Akademi Militer Theresian. Surat-surat itu ditulis dalam rentang waktu 1902 dan 1908. Hingga di tahun 1929, selang 3 tahun setelah kematian Rainer, Franz Kappus memilih untuk mengumpulkan surat-surat itu dan menerbitkannya dengan judul Letters To A Young Poet.

Buku yang saya baca itu diterbitkan Penerbit JBS dan diterjemahkan dengan baik oleh Tia Setiadi. Membaca surat-surat itu sebenarnya semacam penguat bagi orang-orang yang ragu atau bahkan tidak paham dari mana puisi berasal dan bagaimana puisi akan mewujud. Di suatu kesempatan dalam kelas menulis, saya mendengar salah seorang pengajar terus mengatakan bahwa Rendra akan selalu mencari pengalaman puitik sebelum menulis.

Apakah pengalaman puitik itu serupa dengan yang dijelaskan Subagio Sastrowardoyo dalam esainya, “Mengapa saya menulis sajak” tentu sulit untuk membuat definisi tertentu untuk itu. Di lain kesempatan, Joko Pinurbo pernah bilang jika kadang dia tidak butuh pergi ke gunung atau tempat tertentu untuk menulis puisi, ide bisa datang dari mana saja. Tentu pendapat tentang puisi ini dapat begitu subjektif, namun jika ditelaah dengan mendalam, puisi tidak akan sesederhana yang kita duga.

Di awal tahun 2010, saat mencoba untuk mulai menulis puisi, saya membaca salah satu buku dari Mary Oliver, yang khusus berbicara tentang proses menulis puisi. Buku itu berjudul A Poetry Handbook,  meski sekilas dari judul tampak seperti buku teks, namun buku itu seakan bercerita secara personal dari sudut pandang penulis itu sendiri dengan gaya bebas namun tidak melepas unsur-unsur penting dalam belajar menulis puisi. Salah satu pernyataan di buku itu yang terkenang, saat penulis mengatakan bahwa puisi bukanlah sekadar kata-kata, namun mampu menjadi hangat api saat kita kedinginan, tali yang dilemparkan saat kita terjatuh, atau seperti roti di bungkusan yang hangat bagi orang yang lapar. Kira-kira kurang lebih seperti itu pesannya.

Mary Oliver, sebagai seorang penyair, kerap menggunakan nuansa yang bercerita tentang kebersyukuran, cinta, kehilangan, lalu semua terhubung upaya manusia untuk bersentuhan dengan dunia. Membaca puisi-puisinya membuat saya merasa merasa teduh sekaligus menerka-nerka berbagai kemungkinan dari letupan gagasan yang dihadirkan.

Saya pun sadar, bahwa menulis puisi pada akhirnya menjadi proses yang amat panjang dan tak berujung. Saya masih mengingat di tahun pertama menjadi mahasiswa, saya datang ke perpustakaan M Aan Mansyur setelah bercerita jika saya ingin belajar menulis puisi, saya diminta membaca buku “How to read a poem” yang ditulis Edward Hirsch, buku itu membantu saya untuk melihat puisi dengan cara yang berbeda. Setelah sebelumnya, saya hanya memandang puisi sebagai untaian kata-kata indah, memiliki rima, dengan gaya tipografi tertentu dan sejumlah aturan dasar yang kerap kita temui.

Saat saya kembali bertanya pada diri saya di masa itu, “apa gunanya menulis puisi?”. Saya mungkin akan menjawabnya dengan kebingungan sekaligus penuh curiga, apakah saya memang ingin menulis puisi atau tidak? Saya paham pada masa itu, dorongan untuk menulis puisi lahir dari hasrat untuk menghasilkan sesuatu yang bermakna, sesuatu yang saya tekuni sebelum masuk ke dalam kampus. Namun pada akhirnya, saya mulai menyadari, betapa banyak kekeliruan atas dorongan-dorongan yang ada pada diri saya.

Saya kerap bertanya-tanya, apa yang terjadi jika saya tidak membaca kalimat Rilke dalam surat-suratnya? Saya akan mengutip potongan salah surat Rilke:

“Tidak ada orang yang bisa menasihati Anda atau membantu Anda untuk menjadi penulis yang lebih baik—tidak seorangpun. Hanya ada satu cara bagi Anda untuk melakukannya: Anda harus melihat ke dalam diri Anda sendiri. Carilah alasan kenapa Anda ingin menulis; rasakan apakah alasan itu telah menanamkan akarnya jauh ke dalam diri Anda, hati Anda, hingga Anda lebih baik mati daripada diharuskan berhenti menulis. Di atas semua itu, Anda perlu memberanikan diri untuk bertanya kepada diri Anda sendiri: haruskah Anda menulis? Carilah jawabannya di dalam diri Anda.”

Pada akhirnya, menulis puisi membantu saya untuk mengenal dan menyelami berbagai pikiran dan rasa dari setiap penulis. Sebagai seorang mahasiswa psikologi, saya pada akhirnya bisa menemukan bahwa puisi punya peran untuk menjaga mental seseorang. Namun secara pribadi, saya memandang puisi punya kekuatan tersendiri yang belum dikaji lebih jauh. Bahwa puisi telah membantu saya untuk lebih hidup, merasa menjadi manusia, menata proses berpikir dan merasa. Dan saat saya menulis puisi, ruang tak terjamah itu kemudian menampakkan dirinya dan di saat yang bersamaan, saya sadar bahwa seluruh yang tampak itu belum kupahami dan keinginan untuk memahaminya akan menjadi jalan tanpa ujung. []


Penulis:

Wawan Kurniawan, menulis puisi, cerpen, dan esai. Buku terbarunya, Kumpulan Cerpen: Aku Mengeong (Indonesia Tera, 2021). Buku kumpulan esai terbarunya segera terbit dengan judul, “Jorge Luis Borges, Realisme Magis, dan Filsafat” (Penerbit Basabasi, 2021). 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *