Resensi Buku
Kitchen: Tentang Kesepian dan Upaya Menyembuhkan Luka

Kitchen: Tentang Kesepian dan Upaya Menyembuhkan Luka

Judul             : Kitchen
Penulis          : Yoshimoto Banana
Penerjemah  : Ribeka Ota
Penerbit        : Penerbit Haru
Terbit            : Cetakan Kedua, Agustus 2021
Tebal             : 224 Halaman
ISBN              : 978-623-7351-68-9

Kitchen menyapa pembaca Indonesia dengan proses penggarapan yang disiapkan masak-masak. Penerbitnya, Penerbit Haru, tampak mengerahkan kemampuan terbaik mereka dalam menghadirkan salah satu karya fenomenal kesusastraan Jepang ini. Melalui kanal sosial media mereka, mereka mengabarkan bahwa karya ini akan disuguhkan di hadapan pembaca tanah air, dan mereka pun mendapuk Ribeka Ota—penerjemah langganan karya-karya Haruki Murakami dan penerjemah untuk edisi bahasa Jepang dari novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan—sebagai penerjemahnya. Publik seperti mendapat jaminan kalau rilisan mereka kali ini bukanlah proyek yang main-main, jaminan itu pun diperkuat dengan adanya dua penyunting buku, Andry Setiawan dan Windy Ariestanty, dan satu penyelaras aksara (proofreader), Lovita Cendana. Tak ketinggalan, garapan sampulnya pun dikerjakan oleh desainer sampul yang makin sering mewarnai sampul-sampul buku yang terbit belakangan ini, yakni Sukutangan.

Dengan sederet nama-nama di balik dapur novel itu, maka jelas bahwa penerbitan novel karya Yoshimoto Banana ini cukup mendapat perhatian dari banyak penikmat buku di tanah air. Atensi publik terlihat tetap terjaga, bahkan tampak meningkat, kendati rilisan serupa pernah menyapa satu dekade yang lalu—Kitchen pernah diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia tahun 2009. Lalu, apakah persiapan penerbit Haru dan segala pertimbangannya yang berperan menggaet minat banyak orang? Bisa jadi. Namun, Kitchen sudah fenomenal sejak dulu, sebab novel ini memang memiliki sisi istimewanya tersendiri. Selain menjadi buku yang sukses melambungkan nama penulisnya, Yoshimoto Banana, di kancah kesusastraan global; novel ini juga menempati kedudukan penting bagi perubahan arus kesusastraan di Jepang sendiri.

Adapun mengenai isinya, novel ini tidak terdiri sebagai cerita yang tunggal, sebab kita akan mendapati dua cerita berbeda di dalamnya. Cerita pertama, sekaligus yang menjadi judul novel ini, adalah Kitchen. Cerita ini mengisahkan kehidupan perempuan bernama Sakurai Mikage yang baru saja ditinggal pergi oleh neneknya. Ia yang sebatang kara, lantas dipertemukan dengan sosok laki-laki bernama Tanabe Yuichi yang sekonyong datang ke apartemennya untuk menawari bantuan. Awalnya, Sakurai tidak mengenal laki-laki tersebut, tetapi lambat-laun ingatan tentangnya menyeruak saat mengingat sosok sang nenek. Nama Tanabe Yuichi beberapa kali disebut neneknya sebagai pelanggan tetap dari toko bunga yang dikelola neneknya.

Setelah itu, dimulailah babakan baru dalam hidup Sakurai Mikage yang berhubungan dengan keluarga Tanabe. Ia pindah ke apartemen keluarga Tanabe dan tinggal beberapa waktu di sana. Kepindahan itu, mungkin bisa dipandang sebagai babakan hidup yang penting bagi diri Mikage sendiri. Namun, apakah itu benar? Apakah kepindahannya itu lantas membuat Mikage yang tadinya kesepian menjadi menemukan kehangatan dari orang lain?

Fragmen hidup Mikage sebetulnya mengandung sesuatu yang unik. Dijelaskan sejak halaman awal bahwa, “Tempat yang paling kusukai di dunia ini adalah dapur.” Dapur membuat diri Mikaga nyaman, ia bisa tidur dengan nyaman di sana, ia bahkan bercita-cita meninggal dunia di dapur. Dapur pulalah yang dipertimbangkan oleh Mikage ketika ia diajak tinggal bersama Yuichi. Apartemen keluarga Tanabe itu segera saja membuat Mikage merasakan kenyamanan. Seolah ia mencoret satu kolom dalam daftar list tempat yang bisa membuatnya hidup, apartemen Yuichi pun menjadi suaka yang tepat bagi Mikage. Suaka itu juga yang membuatnya bisa menjalin kehangatan dalam sebuah keluarga.

Dalam hal memilin hubungan antarmanusia inilah yang menjadi salah satu daya tarik prosa Yoshimoto Banana. Hal itu tergambarkan dalam bagaimana Mikage menemukan kecocokan dalam figur keluarga Tanabe yang cukup unik. Keunikan itu ada pada diri sosok sang ibu, yaitu Eriko-san, yang di masa lalu adalah ayah Yuichi. Sosok ayah Yuichi itu mengubah kelaminnya menjadi perempuan setelah ia ditinggal pergi oleh istrinya, atau oleh ibu Yuichi. Hal ini menjadi unik, sebab penerimaan Yuichi menandakan bahwa “segala perubahan yang selama itu hal baik layak diterima”. Dan dengan menerima keunikan tersebut, atau dengan tidak memandangnya sebagai sesuatu yang aneh, nyatanya, Mikage bisa kembali mendapatkan “rasa nyaman” dan arti hubungan keluarga. Kehangatan yang ditimbulkan itu pun yang perlahan-lahan merontokkan kesepiannya.

Sementara itu, untuk cerita yang kedua, yaitu Moonlight Shadow, topik kehilangan masih menjadi napas yang kuat bagi jalan ceritanya. Namun, kisah yang ditawarkan berbeda sama sekali. Kehilangan yang ada dalam cerita ini adalah kehilangan sosok kekasih dalam hidup, dan kisahnya sendiri berkisar pada bagaimana para tokohnya berjuang melewati hari-hari yang berat pasca ditinggal pergi sosok sang kekasih. Di dalam cerita, Yoshimoto menghidupkan dua figur yang tengah berjuang itu dalam diri diri Satsuki dan Hiiragi. Keduanya dipertautkan dengan dasar hubungan yang tak kalah uniknya: Pacar Satsuki adalah kakak dari Hiiragi, sementara Satsuki pun mengenal pacar Hiiragi. Sial bagi mereka, pacar mereka masing-masing meninggal dunia lantaran sebuah kecelakaan. Dan seolah mengalami nasib naas-ditinggal-pergi-kekasih yang sama-sama membuat diri nelangsa, interaksi keduanya lantas terbaca sebagai hubungan yang “saling menguatkan”.

Di samping itu, mereka pun memiliki cara tersendiri dalam menyikapi luka yang dicecap masing-masing. Hiiragi memakai seragam pelaut ala anak perempuan Jepang, sementara Satsuki melakukan joging saban hari. Apa maksud dari kedua hal tersebut? Suatu kali, Natsuki menyadari sesuatu: “Sekarang aku paham. Seragam pelautnya sama dengan joging-ku. Perannya sama. Hanya karena aku tidak seaneh Hiiragi, aku cukup dengan joging. Bagi Hiiragi, joging tak cukup memiliki dampak yang bisa menyokong diri, maka ia memilih seragam pelaut sebagai sebuah variasi. Dua-duanya sekadar alat untuk menguatkan hati yang telah kempis, untuk mengelabui perasaan sembari membiarkan waktu berlalu.”

Dengan pengalihan atau penyokong diri itu, keduanya pun berjuang melanjutkan hidup sembari berusaha menambal luka masing-masing. Luka ditinggal sosok kekasih tentu sedemikian dalamnya, tetapi bukan berarti mereka memilih mengakhiri hidup atau menyerah, sebab apa yang mereka pilih adalah terus bergerak maju. Namun, upaya itu pun bukannya mudah saja, proses yang mereka jalani panjang, dan proses itulah yang oleh Yoshimoto bingkai sebagai alur cerita. Alur itu lantas menerbitkan dua pertanyaan: Akankah mereka berhasil melewati itu semua? Titik atau peristiwa apakah yang membuat mereka bisa berdamai dengan masa lalu dan mendapat kesembuhan atas luka-luka yang dirasakan?

Apa pun itu, Yoshimoto telah menyiapkan satu fragmen penting yang berkaitan dengan proses berdamainya mereka dengan masa lalu. Fragmen itu, kendati bisa terbaca sebagai sesuatu yang surealis, tetapi cukup bersandar pada logika cerita. Fragmen itu pula yang kemungkinan bisa membuat kita, sebagai pembaca, menyunggingkan senyum ketika menyimaknya baik-baik. Fragmen itu penting, sebab ia menjadi pelengkap cerita tentang perjuangan orang-orang yang melawan lukanya masing-masing dalam Moonlight Shadow ini.  

Dengan begitu, semangat yang coba ditiupkan Yoshimoto pada keduanya ceritanya adalah tentang harapan. Harapan untuk maju, kendati masa lalu terus-menerus menarik mundur. Juga harapan untuk kembali menemukan suaka yang membuat tokoh-tokohnya nyaman, kendati keadaan tiada hentinya menerbitkan rasa sepi dan sakit bertubi-tubi. Dan bagaimana Yoshimoto membingkai kedua hal tersebut di dalam prosanya, menjadi daya tarik lain yang terkandung di dalam kisah Kitchen dan Moonlight Shadow. Kita melihat, kendati beberapa kritikus Jepang menilai karya ini remeh saja, dianggap terlalu ringan, sentimentil, dan personal; tetapi itulah kekuatan dari Kitchen. Dengan kesederhanaannya, ia bisa merasuk ke dalam sanubari terdalam pembacanya hingga bisa membuat pembaca sendiri merasa mempunyai koneksi personal dengan cerita di dalamnya. Selain itu, ada sisi universal mengenai makna hubungan dengan orang di sekitar yang kadang luput untuk dikulik oleh penulis lain. Kitchen menyuguhkan sisi tersebut, ia menyisipkannya lewat cerita hangat bernarasikan puitis yang meninggalkan bekas di benak para pembacanya. []


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *