Cerpen
Orang Terakhir

Orang Terakhir

Ada sembilan orang di ruangan itu. Duduk melingkar di kursi-kursi plastik oranye, warna yang begitu nyata di antara semua yang kusam: dinding dan lantai tak terawat, sarang laba-laba di langit-langit, wajah-wajah yang muram. Kesembilannya mendapat perintah menjelaskan wajah seseorang yang memberi mereka tugas membuat huru-hara.

Delapan orang telah bicara—seseorang di ruangan lain, ruangan ini, hampir rampung membuat sketsa—dan kini giliran orang terakhir. Perempuan, berusia sekitar tiga puluh tahun, memakai syal rajut warna abu-abu.

Dia berdiri, melepas syal ke sandaran kursi. “Ini,” katanya sembari memiringkan kepala ke kanan, menunjuk bekas luka sepanjang seperempat jengkal di leher kirinya. “Terkena sabet. Kurang sedetik saja sebelum berhasil kabur,” sambungnya. Lampu di ruangan itu sangat terang, semua yang di sana melihat jelas codetan itu.

“Bisa langsung sebut saja ciri-cirinya?” Sambar seseorang.

***

Polisi meyakini, jika aku dapat ditangkap, skenario besar di balik huru-hara itu akan terungkap. Mereka tidak tahu siapa aku. Namun sembilan orang itu bekerja terlampau rapi menciptakan huru-hara sehingga mereka menduga bahwa seorang berpengalamanlah yang mengatur semuanya. Kuakui, jalan pikir mereka yang itu tepat dan layak diacungi jempol.

Tuan W menelepon sepekan sebelum hari huru-hara. Lengkap dengan serapah ‘bajingan’ di awal dan akhir kalimat, dia jelaskan hal-hal yang harus kulakukan. Lima hal. Yang mudah saja kuingat. Dengan segera kuiyakan permintaan (atau perintah?) itu sebab aku sedang butuh sesuatu untuk dikerjakan dan kali ini tampak begitu mudah. Dulu, sebuah tugas darinya kuselesaikan dengan gemilang; jauh lebih rumit karena berisi dua puluhan hal yang harus kupatuhi urutannya. Dia terangkan juga bahwa seseorang akan mengawasi pekerjaanku.

Aku lalu menelepon mereka. Sembilan orang yang kini di ruangan itu, yang kepala mereka tak mampu menyimpan dua (saja) petunjuk sederhana. Petunjuk satu: wajib memakai baju berwarna putih. Mereka datang dengan pakaian hitam-hitam. Petunjuk dua: berkumpul tepat pukul 10.00. Aku tiba di titik temu pukul 09.30. Mereka? 10.20.

“Harusnya bos SMS atau WA lah soal warna baju itu. Biar kita ingat terus. Lagipula tugas seperti ini kan cocoknya warna hitam,” kata seseorang sebelum tugas membuat huru-hara dimulai. Kuabaikan protes bodoh itu—sesuatu yang kemudian kusesali, merinci penjelasan tentang hal-hal yang harus dikerjakan, dan mereka mulai bergerak.

Tugas dari Tuan W, yang harus kami kerjakan hari itu adalah membuat huru-hara. Tugas yang sederhana. Dengan mudah terlaksana. Sesuai rencana. Meski seorang dari mereka bersembilan nyaris tertangkap, perempuan dengan syal rajut abu-abu itu. Aku ingat persis peristiwa itu sebab menyaksikannya dari kejauhan. Tiga lelaki berjuang meringkusnya, entah apa yang mereka pegang sehingga bekas luka itu ada di lehernya yang jenjang, tetapi dia berhasil lolos.

Hanya saja pakaian hitam-hitam dan gerakan mereka yang terlampau rapi di tengah kerumunan begitu mudah memantik curiga. Seperti lelaki yang sedang berkumpul bersama teman-temannya ketika perempuan yang diam-diam dia sukai melintas; berusaha bersikap wajar tetapi dengan segera dikenali sebagai salah tingkah. Kamera intelijen menangkap wajah mereka dari sisi-sisi yang berbeda. Segera setelah huru-hara mereda dan ketika polisi mencari pembuat huru-hara, mereka ditangkap begitu mudah lalu diinterogasi—dan entah apa lagi yang telah mereka alami—sebelum selanjutnya diminta berkumpul di ruangan itu.

Semua yang mereka katakan terpantau dari ruangan ini. Lelaki muda pembuat sketsa tekun mengerjakan tugasnya.

***

Kepada lelaki muda itu kuceritakan bahwa, beberapa jam setelah huru-hara barulah aku tahu sebuah pesan masuk di telepon genggamku. Pukul 10.26. Berisi satu kata saja: BATALKAN! Aku mengutuk semangat berapi-api orang kesembilan itu, perempuan yang suaranya selembut dua payudaranya yang menempel di punggungku ketika aku mulai memberi petunjuk. “Bayarannya sesuai kan, ndan?” Bisiknya. Konsentrasiku pecah.

“Entah karena suara atau payudaranya, sesuatu di dalam celanaku bergerak. Atau tidak persis begitu. Atau koinsiden. Entahlah. Barangkali pesan ‘BATALKAN’ itu masuk di menit yang sama dengan pertanyaannya, dan karena konsentrasiku pecah, kuduga getaran di celanaku tidak datang dari telepon genggam tetapi yang lain. Bodoh, kan?”

Si pembuat sketsa tertawa panjang sampai teriak seseorang menghentikannya.

“Bajingan! Orang macam apa yang tidak bisa bedakan ngaceng dan getar hape? Dasar bajingan!” Itu suara Tuan W. “Bajingan. Kau yang harus bersihkan ini semua. Dasar bajingan!” Katanya lagi. Aku tahu belaka maksud perintahnya.

***

Perempuan itu kini mengenakan lagi syal rajut abu-abu itu. Menutup bekas luka di lehernya.

“Saya tidak tahu persis ciri-cirinya. Saya ada di belakangnya,” ujarnya lembut.

“Ya. Dan kau tempelkan dadamu ke punggungnya. Dasar gatal! Bisakah kau ceritakan yang kau lihat dari belakang itu? Sedikit saja,” seorang yang lain mendesak.

“Saya tidak ingat apa yang saya lihat. Tapi ingat yang saya rasakan.”

“Apa?!” Delapan orang di ruangan itu kompak berteriak.

Perempuan itu beranjak keluar lingkaran. Menuju kaca cermin besar di belakangnya. Mematut wajahnya sambil tersenyum membuatku tersipu malu sebelum sadar bahwa di hadapanku adalah cermin dua arah. “Nyaman…? Kukira begitu. Tapi tak pasti. Saya pikir kita harus menemukannya. Saya. Saya ingin bertemu dia lagi,” katanya.

Pembuat sketsa kini sibuk menggabung-gabungkan gambar di layar komputernya. Di ruangan ini hanya kami bertiga. Kutahu Tuan W sedang menatapku tajam; semoga lampu redup di ruangan ini berhasil menutup wajahku yang memerah.

Dengan suara dan cara bicaranya yang sama Tuan W kemudian bertanya apakah aku mengenal perempuan itu? Kugelengkan kepala sambil terus menatap ke wajah yang cantik di balik kaca itu. Aku ingat pertanyaannya yang lain setelah perkara bayaran itu; kita akan bertemu lagi kan? Kugelengkan kepala kala itu, dan tanpa sadar mengulangnya kini.

“Bajingan! Saya sudah tahu kau tidak kenal. Tidak perlu geleng ulang-ulang begitu! Sekarang lihat sketsa ini. Ini wajahmu. Telak. Kalau beredar luas, mati saya,” katanya lalu memberi perintah lain. “Ubah sketsanya. Ganti wajahnya. Dasar bajingan!”

 Aku bisa saja bilang bahwa delapan dari sembilan orang di ruangan itu akan serempak menggeleng jika sketsa (baru) itu dikonfirmasi. Tetapi aku tahu itu tak akan berguna.

***

Tuan W adalah yang paling akhir tiba di ruangan ini. Dia datang membawa kardus air mineral. “Karung-karungnya di sini. Juga yang lainnya,” katanya sambil meletakkan kotak itu di sudut ruangan.

Aku ingat benar kalimat itu dan kini mulai khawatir.

“Izin, Ndan. Orang terakhir itu tidak tahu wajahku,” kataku perlahan.

Tuan W meradang. Mengatakan sesuatu—lengkap dengan ‘bajingan’ di setiap awal dan akhir kalimat baru—tentang: jika buka karena dia mengandalkanku dan aku telah hidup sendiri setelah kepergian istriku, saudarinya yang dia kasihi sungguh, permintaanku pasti tak akan disetujuinya.

“Bajingan. Delapan kalau begitu. Selesaikan dengan baik seperti yang terakhir dulu. Dan hapus rajah mawar dari tanganmu itu. Dasar bajingan!” Tuan W lalu bergegas meninggalkan kami.

Lelaki muda di depan layar komputer telah berhasil mengubah sketsa. Wajah seseorang dari tim kami, yang sudah mati, terpampang jelas. Kuminta dia mencetak gambar itu dan melakukan tugasnya yang lain sampai seluruh misi ini selesai.

***

Tuan W meneleponku pagi tadi. Memintaku datang ke kantor polisi—lebih tepat melalui pintu khusus agar tiba di ruangan ini tanpa memantik curiga—untuk memastikan bahwa anak-anak buahnya tidak salah tangkap, bahwa sembilan orang itu adalah benar-benar orang-orang yang kupakai di hari huru-hara.

Kuperhatikan sekali lagi wajah-wajah di ruangan itu dan serentak bersedih. Akan ada lagi yang akan hilang dari cerita.[]


Penulis:

Armin Bell tinggal di Ruteng. Bergiat di Klub Buku Petra dan Komunitas Saeh Go Lino.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *