Puisi
Puisi Moh. Rofqil Bazikh,

Puisi Moh. Rofqil Bazikh,

menyoal waktu

kita coba-coba, Eiva, membakar kalender tua. mematahkan jarum jam tiga-tiganya dan kehilangan cara bagaimana waktu diukur. kita tidak akan lagi berdebat, Eiva, lebih lama mana antara setahun di dunia dan lima detik di neraka. semua sama, kita tidak bisa membedakannya. waktu berjalan di luar kita—kaki-kakinya adalah kilatan cahaya. sementara kita hanya punya jam beker [hasil curianku di kabin pesawat] untuk mengukur. kalender menempel di dinding hanya cukup buat setahun. kita yang dibatasi waktu, atau sebaliknya, Eiva?—waktu membatasi kita, menolak untuk selalu diisi dengan kekosongan. jangan sering bertanya perihal waktu, katamu. jangan-jangan waktu itu tidak ada. ia hanya semacam paranoia, semacam nyeri di bagian kiri kepala. setahuku, waktu berada di luar diri kita, berada di luar jangkauan orang-orang pengidap paranoia akut. tidakkah kau menyadari, Eiva, bahwa sesungguhnya tidak ada waktu yang terbuang di dunia?

yogyakarta, 2021

perkabungan terakhir

demi perkabungan terakhir dan selimut yang kucuri dari ranjang pengantin malam pertama, mendekatlah! hendaknya semua air mata memang dipertemukan di sini. pundak yang kekar dan tangkas menanggung keperihan, sebatang dada menolak lapuk ditendang luka-luka. sungguh ini perkabungan terakhir—hilir mudik kesedihan sepanjang tahun, ancaman kenyerian setiap saat: matanya mengintai dari balik pintu. kau memekik. entah apa yang keluar dari lorong tenggorokanmu[umpama salak anjing]. tetapi tidak ada sangkar anjing di dalam tubuh orang suci sepertimu.

o, perkabungan paling agung—luka yang tumpul ditertawakan pisau. aku menertawakan pisau, aku menertawakan tajam yang tidak berguna beberapa minggu terakhir ini. sudah selayaknya kata ‘tajam’ dihapus dari ingatan penduduk. luka tidak tajam, sayang, pisau selalu majal menembus tulang-tulang berlapis di dada hamba. ini perkabungan terakhir, nasib selanjutnya kita lihat dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

yogyakarta, 2021

kunang-kunang pertama

 sampai di sini, tidakkah kau bertanya apakah ada kunang-kunang—yang pertama khususnya. perutnya terbuat dari kilatan cahaya, mengawang di kelapa padi yang mulai runduk. tapi, tidak juga ada padi di sini: lampu jalan disembah hewan malam dan kemacetan yang terus memanjang—mirip ekor ular, sayang. kunang-kunang pertama hanya mungkin ada di dada kita. di sela-sela lubang kangen pada kampung halaman, pada tegalan penuh kacang.

kadang kuingin dari matamu ia menyembul, sebagai sarang untuk segala hewan malam. dari matamu juga malam memancar lalu merentangkan sayap dari barat ke timur. dari mulutku nyanyian-nyanyin yang tidak beraturan panjang pendeknya turut mematuk kunang-kunang. sekali-kali kupatuk bibirmu yang anggur dari matamu menetes umpama kilatan cahaya.

“kau menangis, shopia?”

yogyakarta, 2021

 

Moses

Mosche, Mosche! begitulah sebagian dari kami memanggil dengan logat Ibrani kental. kau tidak datang dari laut melainkan perut sungai—seorang perempuan bergelung(atau kalau tidak berkerudung)menyelamatkanmu cuma-cuma. kau adalah mimpi buruk dari kecamukan perang di masa depan. tapi tiada orang yang berani mengatakan lain selain “ia menyembah satu tuhan dan dilarang untuk dibuat lukisan”.

lima menit sebelum kepala laut dibelah kau menatap pantat langit. langit sejak lama memantati kita. tongkatmu kayu jati motif ular. dipukul-pukullah pada bibir laut, yang pecah justru kepalanya. aku menghambur melewati, kau mematung di permukaan batu.

Mosche, Mosche! kepala laut pening, maka ketika pasukan berduka menerobos—derapnya membelah udara. kepala laut kuncup dan mereka berakhir di sana. Mosche! kupanggil namamu berkali, dari bahasa yang berbeda: Musa!

yogyakarta, 2021

 


Penulis:

Moh. Rofqil Bazikh, penulis yang berdomisili di Bantul, Yogyakarta dan anggitannya telah tersebar di pelbagai media. Bisa ditemui di surel [email protected] atau Instagram @rofqil_bazikh

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *