Cerpen
Aku Ini Perjalanan

Aku Ini Perjalanan

Untuk ke sekian kalinya Mbah Tarjo dianggap gila. Bahkan oleh dirinya sendiri. Terakhir ia tampak menangis di garasi rumah. Sebelumnya malah ketawa-ketawa sendiri di kolong mobil.

Umurnya sekitar delapan puluh sembilan tahun. Masih utuh giginya, masih jelas penglihatannya, hanya kurang lengkap kewarasannya. Itu juga sudah semua orang di kiri kanan rumahnya hingga beberapa RT tahu.

Liat apa yang dilakukannya surup ini. Duduk bersila di mulut garasi. Bergaya retro celana panjang kombor berwarna kuning dengan baju yang sama kombornya di ujung lengan dan sama-sama kuning. Pakaian yang akan tampak lebih jingga jika tersiram bilah-bilah cahaya matahari dari barat. Lengkap dengan kaca mata hitam dan kalung emas imitasi milik Angga bocah umur 12 tahun yang ia temukan di halaman rumahnya.

“Kau bisa makin dianggap gila, Tarjo! Lihat gaya pakaianmu.”

“Lho, kamu ini lupa atau bagaimana? Ini perayaan ulang tahunmu Bejo. Ulang tahun ke sembilan puluh, Jo.” Mbah Tarjo memasang senyum paling lebar. “Lagi pula untuk ukuran Volkswagen tua sepertimu, sejujurnyanaku tak tahu persis harus dihitung sejak keluar dari pabrik, saat bapak membelimu, atau saat cicilan bapakku dulu lunas?”

Mobil tua di sebelah Mbah Tarjo tertawa. Sebuah gelas berisi oli bekas dengan lima baut ring 27-an diminumnya lewat sedotan yang lebih tampak seperti selang solar. Jika bergoyang baut ring yang berimpitan dengan dinding gelas akan terdengar seperti es batu dalam segelas jeruk peras.

“Aku sendiri juga heran. Harusnya untuk mobil setua aku, museum ibukota dengan pelataran yang luas dan berbagai jejak sejarah di dalamnya adalah tempat yang pantas. Bukan garasi pengap seperti milikmu sekarang.”

“Maaf?” Mbah Tarjo mengernyit, tersinggung dengan ucapan mobil tua di sebelahnya. “Lagi pula apa bagusnya dilihat banyak orang? Apa bagusnya dibanggakan orang-orang yang tak pernah membanggakan dirinya sendiri?”

Mobil bercat kuning itu malah makin terpingkal. Merontokkan beberapa debu di badannya disusul suara kaleng jatuh, mungkin bumper belakang yang selama ini hanya Mbah Tarjo ikat dengan kawat berkarat atau tutup karburator.

“Sesama barang tua, bagian paling beruntung dariku hanya tidak repot-repot mencukur kumis dan jenggot. Atau sibuk mewarnai hitam rambut yang memutih.”

“Untung mbahmu!” umpat Mbah Tarjo. “Berdiam diri di garasi tua terbebas dari ancaman gila adalah mimpi semua manusia. Tak repot cari duit. Tak repot dibilang gila. Tak repot bayar bulanan, pajak air, pajak pendidikan, pajak bangunan, pajak melahirkan, pajak kematian.”

“Mati pun ada pajaknya?” tanya Bejo

Mbah Tarjo menganggut.

“Tapi, waras dan tua bukan prestasi, Tarjo.” Jawabnya enteng sambil meneguk sekali lagi segelas oli di depannya. “Meski akhirnya, waras dan awet muda bagi kalian adalah capaian. Manusia yang berhasil tua sepertimu atau orang-orang yang menganggapmu gila selalu punya pilihan ganda sejak dibesarkan.”

“Aku tak mengerti.”

“Karena kau gila. Bahkan kau sendiri tak mengerti kalau kau gila.”

Mbah Tarjo memoncongkan bibir. Menjauhkan kumis dan janggutnya dari api yang akan menyulut kretek di bibirnya.

“Jika mau, aku bisa mencarikanmu museum. Sudah beberapa kolektor yang tertarik melihatmu. Beberapa dari mereka pemilik museum, selebihnya hanya orang-orang yang paham; perlu cukup gila merawat rongsokan tua tak bisa apa-apa di sepetak tanahnya.”

Kini ganti Bejo yang tersinggung.

“Baru tiga belas tahun terakhir, Tarjo.”

“Tapi itu lama!” bantah Tarjo.

“Lebih lama aku pulang pergi Jakarta-Semarang dengan bapakmu. Urusan dinas? Persetan. Aku lebih sering mampir di kompleks timbangan. Di lepa-lepa pasar subuh, tempat-tempat karaoke yang tinggal tutupnya saja. Bapakmu mudah saja mengambil paling sedikit satu pernah sampai lima perempuan dari sana.”

“Aku tak masalah. Lagi pula aku kebanggaan. Tahun lima tujuh aku ini primadona. Saat manusia paling kaya di desa hanya punya satu televisi tabung dan sepeda ontel, bapakmu sudah punya aku. Perempuan mana yang tak ingin merasakan duduk di jok kulit sapi empuk sambil berkeliling kota. Sesekali dengan bangga dia dada-dada saat bertemu sanak keluarganya di jalan.”

“Itu belum bagian terbaik Tarjo, belum! Lepas dari perjalanan seminggu tiga kali aku selalu dimandikan. Semua sparepart di tubuhku diruwat ulang. Tentu saja di bengkel paling besar di ibukota. Semua karyawan di bengkel itu bahkan sampai kenal denganku. Hanya dengan mendengar suara klaksonku saat di depan bengkel, montir terbaik akan meninggalkan semua pekerjaannya. Langsung berpindah memanjakanku. Tak jarang saat bapakmu terlambat mengambilku kembali, aku dipajang di showroom milik mereka. Mata-mata orang berduit tak bisa tidak melihatku. Sebuah maskot roda empat yang hanya dimiliki manusia sempurna.”

“Aku ini superior dari semua mobil yang belum diciptakan. Sama seperti bagaimana kau dilahirkan. Tapi sekali lagi Tarjo, sejujurnya aku berharap kau tak lahir dari sperma laki-laki gila itu.”

“Kini kau menganggap gila laki-laki yang dianggap terhormat oleh masyarakat,” umpat Mbah Tarjo.

Mobil tua itu mengabaikan Mbah Tarjo, mulutnya terus bercerita.

“Jika kondisinya lebih beruntung ibumu sebetulnya akan menikah dengan laki-laki desa yang seribu persen jauh lebih baik dari bapakmu. Laki-laki yang mendiami pondok sepanjang usia remaja hingga seperempat abad lebih sedikit. Kakekmu hanya seorang petani malang. Sedang ibumu hanya seorang guru pengajar di sekolah rakyat. Hidup penuh khawatir saat beberapa kali kudeta meletus di kotamu. Untuk mengamankan posisinya mau tidak mau kakekmu menjodohkan putri satu-satunya dengan bapakmu. Laki-laki pondokan tahfidz Quran yang mencintai ibumu itu aku pun tak tahu lagi nasibnya.”

“Tapi, bak mendayung di kubangan lumpur, nasib ibumu bukan malah membaik. Menikah dengan orang yang tidak tepat hanya membawa pulang neraka ke bumi. Dan memang itu yang terjadi. Sebulan dua kali, hanya tiap kamis keliwon bapakmu pulang. Ibumu mati-matian sendiri menghidupimu. Bekerja serabutan, memilah biji okra sambil menggendongmu, jadi buruh di sawah sambil menyusuimu, atau saat kemarau berjualan air dari pompa sumur yang dibuatkan bapakmu. Tentu sambil menggendongmu, kau sangat manja saat itu. Sesuatu yang tidak wajar saat kau memilih tumbuh tua adalah menghilangkan kebiasaan menangis.”

“Tapi, untuk apa kau menceritakan itu semua? Aku sudah tua sekarang Bejo. Punya dua putra dan seorang putri yang sekarang entah ke mana. Menyesali hidupku saja aku tak cukup waktu. Apalagi menyesali orang lain yang melahirkanku.” Mbah Tarjo membuka kaca mata hitamnya. Membuka sepasang bola kornea yang tertutup selaput katarak salah satunya.

“Lho, aku yang harusnya bertanya tentang apa yang kau lakukan di sini? Sebuah perayaan masa lalu atau menziarahi kematian?”

“Mungkin kau belum tahu, bahwa aku ini tak pernah mati Bejo. Aku ini gila dan kematian hanya untuk orang-orang waras.”

“Tapi aku tahu kau dibunuh di jok kulitku oleh anak buah bapakmu sendiri Tarjo. Malam itu setelah kau membogem mentah seorang barua yang disewa bapakmu.”

“Itu memang aku Bejo. Aku ini abadi. Meski aku bukan waktu. Aku tidak kekal, tidak juga usai.” Mbah Tarjo berdiri, memungut tongkat yang membantu tubuh bungkuknya. Senja mengembalikan usianya. Segalanya berputar cepat dan sepertinya ia memang tak pernah ke mana-mana.

“Kau mau ke mana Tarjo? Kukira kau ingin berdiam diri di garasi ini sambil melamun hingga pagi menjelang lagi seperti biasanya.”

“Aku ingin mencari hidupku?”

“Memang kau ini siapa?”

Mbah Tarjo membuka pintu mobil. Mengambil kunci dari dalam dashbor. Mobil menyala.

Orang-orang yang lalu lalang di depan garasi sudah hafal soal suara mobil yang tiba-tiba menyala sendiri saat malam. Seakan-akan Mbah Tarjo pemilik mobil yang telah lima belas tahun mati, pulang. Seakan-akan ada laki-laki yang ingin menempuh perjalanan panjang dari Jakarta ke Semarang.

Padahal saat pagi hari menjelang, mobil Volkeswagen kuning itu tetap di tempat. Tetap berdebu dan garasinya tetap pengap, meski kadang kap mobilnya terasa hangat. Seperti telah menempuh perjalanan jauh atau diduduki seonggok tubuh.

Dan kejadian itu terjadi selama tiga belas tahun terakhir, sebulan dua kali.

Di dalam mobil Mbah Tarjo tersenyum. Merasakan mesin tuanya kembali menyala. Kemudian teringat senyum perempuan itu, pukulan demi pukulan yang bapaknya layangkan padanya. Mobil Volkeswagen kuning yang dihadiahkan padanya saat remaja. Tangisnya saat dewasa begitu tahu bahwa sangat terpukul melihat ibunya mati menggantung. Lelah disiksa hidup dan mati yang tak kunjung mengunjunginya.

 Dan juga malam saat sebuah belati bapaknya merobek paru-paru Mbah Tarjo sebab tepat di seribu hari kematian ibunya, laki-laki itu masih menyewa barua. Kemudian ia tertawa layaknya orang gila.

“Tarjo! Jawab dulu. Siapa sebenarnya engkau?” teriak Bejo di tengah suara deru mesin miliknya.

“Aku bukan siapa-siapa Bejo. Aku bukan siapa-siapa. Aku tak kekal, tapi tak juga usai. Aku ini perjalanan.”[]


Penulis:

Saestu Saget adalah anak pertama dari dua berudara yang lahir di Magetan 21 Juni 1996, menyelesaikan study S1 di fakultas Teknik Industri STT POMOSDA Nganjuk. Suka menulis sejak duduk di bangku kuliah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *