Puisi
Puisi Dadang Ari Murtono

Puisi Dadang Ari Murtono

sejumlah sapi di kandang ganjaran

1/ brahman

ia menggelosor seperti pesakitan dalam sebuah cerita horor,
sehelai tampar melubangi tulang rawan hidungnya, menghela
kebebasannya, dan setiap kali penyabit rumput tiba untuk
mengantar pakan, seperti ia dengar kepak maut hendak menyabetkan
sabit panjang di gelambir lehernya

tapi matanya teduh:
sebuah telaga tak beriak
dengan air dari gangga yang suci

ia tak mencemaskan apa-apa, sebenarnya

hanya saja, kadang-kadang, ia kenang sebuah masa
di mana orang-orang memujanya sebagai cicit nandiswara
dan menyetarakannya dengan para brahmana
sebelum pada abad kesembilanbelas orang-orang amerika
membersihkan punggungnya dari segala
yang kudus, melepaskan neraka yang melekat
di serat dagingnya
lalu mengangkutnya ke mana-mana
hingga di kandang penggemukan ini

tapi ia tak kecewa, sesungguhnya

meski sesekali ia bayangkan maut akan datang, hanya
akan datang bersama takbir di hari haji
dan lembar-lembar dagingnya akan dilapisi
hijau pahala, punggungnya kembali suci,
dan ia menggoyangkan punuk gemuk ke surga

 sekalipun bukan surga yang sama
dengan surga yang dihuni buyutnya:
nandiswara yang menyunggi siwa

2/ simental

pada catatan bunuh dirinya, mupit menulis, “aku capek,
aku capek menyembah tuhan yang kejam”
tapi tiga bulan yang lalu orang-orang tahu mupit
berkata dalam satu syukuran jajan pasar
“tuhan yang murah hati telah mengirim burok
agar aku bisa pergi ke rumahnya tahun depan”

burok itu datang pada suatu sore dengan bokong
belepotan tai kering di atas pikep bak terbuka
“ia baru tujuh bulan, tapi lihatlah otot-ototnya,
raba tulang-tulangnya, rasakan liat lapis dagingnya,
dan alangkah tipis lemaknya”

“dan aku menukarnya dengan delapan kambing jawa
dewasa,” tambahnya

“itu hanya sapi,” kata orang-orang
“ia memakai topeng,” jawab mupit,
“perhatikan wajahnya, dan hanya wajahnya, yang putih
teduh, dan badannya merah berkilau belaka”

tapi suatu kali, putih teduh itu bersalin putih
keruh, dan merah berkilau itu berganti merah
saren, si lembu berhenti mengunyah pucuk rumput gajah
dan orang-orang berkata, “ia memang binatang yang manja
sebab ia berasal dari eropa”

dua hari kemudian si sapi mati
dan mupit melihat jalan ke mekkah mengecil, mengecil, mengecil

enam setengah jam kemudian, orang-orang
menemukan mupit terayun-ayun di blandar kandang

3/ limosin

bocah itu selesai menggores arang pada gedek kandang
lalu tersenyum manis sekali

“sekarang,” kata bapaknya, “sapi ini tidak akan kesepian lagi,”

“ia akan merasa di rumah sendiri,” jawab si anak – masih tiga sd
yang tadi pagi telah melihat foto dinding gua lascaux di buku
pengayaan, lalu ia lari dari sekolah sambil berteriak
“aku tahu sekarang, bapak,” napasnya tersengal dan si bapak
memberinya segelas air, “aku tahu kenapa sapi kita yang besar
dan cokelat dan penuh otot itu seperti sedih dan gampang masuk
angin

“sebab ia kesepian dan kangen rumahnya,”
“di mana rumahnya?” tanya si bapak
“jauh, jauh,” jawab si anak, “di prancis”
lalu si anak menggambar apa yang dilihatnya di buku
pengayaan pada gedek kandang

malam itu di kelonan si bapak, si anak bertanya,
“apakah ibu di arab sana juga sedih dan gampang masuk
angin?”
si bapak tak tahu, si bapak hanya mengenang betapa tiga bulan
lalu si ibu mengirim sejumlah uang dan selarik pesan,
“belikan seekor limosin yang bagus sebagai tabungan”

si limosin yang malam itu mendongak, mengintip bintang leluhurnya,
taurus, dari celah atap – melenguh dan terus melenguh,
dan sapi itu balas melenguh, seperti bersedih, menggiring angin
gunung memenuhi luas tabung perutnya

4/ peranakan ongole

satu setengah jam sebelum kematian si putih
ki kasan mengusir blantik dan mantri hewan dari kandangnya
dengan sebaris kalimat, “ia akan mati jika ia akan mati,
dan ia akan dikubur di tanah yang biasa digarunya”

“kau tak akan mendapatkan apa-apa,” si blantik
bersikeras, “ia sudah tua, ia sudah tak berguna lagi
selain sebagai sapi potong,” kata si mantri

ki kasan mengusap gelambir yang mengeriput, punuk
yang hampir kopong, dan menatap mata berair yang kian sejuk

ia tahu, waktu telah lama meninggalkannya, berdua saja
bersama si putih

dan ia mengenang hektaran sawah yang mereka bajak
bersama, sekian tahun, jauh, jauh sebelum mesin
pabrik datang dan orang-orang mulai melupakannya

“aku mendapatkan hidup dan masa lalu yang panjang,” kata ki
kasan akhirnya

ketika blantik dan mantri hewan pergi sambil mengomel,
ki kasan mengerti yang tua dan kuna memang selalu
ditinggalkan atau dianggap menyebalkan

dari luar kandang, deru traktor mengentalkan yang
sentimental dalam dirinya,
“besok atau lusa,” pikirnya, “apa lagi yang akan menggaru
sepetak sawahku – yang bakal terpotong secuil
sebagai kubur si putih – selain mesin-mesin dingin itu?”

seperti orang kalah, ia kembali mengelus punggung si sapi
yang mulai mengejang dengan mulut berbusa

5/ sapi bali

malam itu, dari pinggir kerumunan kuprit coba menjadi
banteng: ia pasang topeng di mukanya, ia tutup tubuhnya
dengan sehelai kain hitam, ia pejamkan mata, ia biarkan
suara kendang memenuhi liang kupingnya, ia kenang kawan-
kawan sepantarannya yang lihai mendesis dan berguling
setiap kali kalangan digelar dan dupa-dupa mulai dibakar

tapi ia hanya menggoler seperti seekor sapi bali, ia melenguh
dan lidahnya menjulur, matanya berair dan giginya rindu
memamah hijau pucuk gelagah

siang tadi seorang kawannya berkata, “bukan pemuda pacet
bila tak bisa main bantengan: mengisi raga dengan
roh banteng serta mengecap beling atau
menerkam ayam kampung jantan, sebab kita keturunan banteng,
sebab di masa kolonial dulu, leluhur kita mengamuk seperti banteng
dalam perang kemerdekaan”

kuprit tak pernah melihat banteng, kuprit menghabiskan hari-hari
bersama enam ekor sapi bali di kandang ganjaran, dan setiap kali
kalangan bantengan dibuka ia bertingkah seperti seekor sapi bali

“toh,” teriaknya, pada akhirnya, “sapi bali juga keturunan
banteng, dan dia kuat membajak sawah, dan kotorannya bagus
menyuburkan tanah,

toh, ia membantu kita memerangi paceklik dan rasa lapar”
namun kawan-kawannya tetap tertawa dan
berseru, “ia bukan pemuda kampung sini!”

6/ friesian holstein

apa yang terjadi sesungguhnya:
delapan puluh empat, atau lebih,
ambing putih diseberangkan dari australia
sepanjang delapan puluh dan awal sembilan puluhan
menggenangi kampung dengan susu berlangit

lalu tak ada lagi
selain patung beku di gerbang kampung
dan koperasi pengumpulan susu yang didatangi orang luar,
melulu orang luar,
juga sisa keluh warga sekitar
“mulas ini sebab lambung jawa kita tak cocok dengan
tajin sapi, dan itu berarti kandang kita juga tak layak
untuk hewan-hewan yang bahkan tak kuasa mengangkat
garu”

tilas kaki mereka kini hanya
mengeras di semen lantai kandang, hanya
mengental di ingatan orang-orang yang mulai
rajin bertukar tangkap dengan rematik

dan gagap mencari video di layar ponsel pintar


Penulis:

Dadang Ari Murtono, lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Bukunya yang sudah terbit antara lain Ludruk Kedua (kumpulan puisi, 2016), Samaran (novel, 2018), Jalan Lain ke Majapahit (kumpulan puisi, 2019), dan Cara Kerja Ingatan (novel, 2020). Buku Jalan Lain ke Majapahit meraih Anugerah Sutasoma dari Balai Bahasa Provinsi Jawa Timur serta  Penghargaan Sastra Utama dari Badan Bahasa Jakarta sebagai buku puisi terbaik Indonesia tahun 2019. Buku terbarunya, Cara Kerja Ingatan, merupakan naskah unggulan sayembara novel Basabasi 2019. Ia juga mendapat Anugerah Sabda Budaya dari Universitas Brawijaya tahun 2019. Saat ini tinggal di Yogyakarta dan bekerja penuh waktu sebagai penulis serta terlibat dalam kelompok suka jalan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *