Resensi Buku
Aktivisme Abinaya yang Lantang dan Berani

Aktivisme Abinaya yang Lantang dan Berani

Judul : Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru
Penulis : Abinaya Ghina Jamela
Penerbit : Gorga
Cetakan : Pertama, November 2021
Tebal : 152 halaman
ISBN : 978-623-60530-3-4

Pertama-tama, saya perlu menghindari penyebutan “penulis cilik” atau “penulis berusia 12 tahun” atau istilah-istilah semacamnya untuk Abinaya Ghina Jamela atau yang biasa disapa Naya. Ini perlu saya tekankan untuk menghindari bias ageisme dalam penilaian saya—dan semoga juga pembaca lain—terhadap karyanya, terutama buku berjudul ‘Kucing, Lelaki Tua, dan Penulis yang Keliru’ (Gorga, 2021) yang saya ulas dalam tulisan ini.

Saya selesai membaca buku kumpulan esai Naya ini dalam dua malam menjelang tidur dengan kesan campur aduk: tersindir, minder, dan terkejut. Di dalamnya, banyak sekali sindiran, gagasan, agitasi, dan pengetahuan yang disampaikan Naya yang membuat kantuk saya hilang. Sebagian besar agitasi yang disampaikannya cukup berani dan frontal.

Suara aktivisme Naya langsung saya temukan dalam esai pertama berjudul ‘Luis Sepulveda, Camar, dan Para Kucing yang Menggemaskan’ yang ia tulis berdasarkan pembacaannya atas novel Kisah Seekor Camar dan Kucing yang Mengajarinya Terbang (Marjin Kiri) karya Luis Sepulveda. Dalam esai ini, Naya bicara tentang kerusakan lingkungan yang lebih banyak disebabkan oleh sikap egois dan keserakahan manusia. “Laut bukan tempat sampahmu!” tulisnya dalam satu sub-judul khusus yang isinya mengingatkan kita bahwa habitat makhluk hidup lain di luar manusia bukanlah tempat pembuangan sampah. Naya juga memperbandingkan sifat manusia dengan sifat binatang dalam hal kesetiaan, dengan membahas tokoh Zorbas, seorang kucing pelabuhan yang rela menolong seekor camar bernama Kengah yang sedang sekarat, padahal Zorbas tidak mengenal Kengah sama sekali. Bandingkan dengan manusia, terutama pada masa kiwari, yang justru enggan menolong orang lain sudah terkapar di pinggir jalan.

“Sayangnya manusia tidak seperti Zorbas dan teman-temannya. Maksudku bukan semua. Meski memiliki akal, manusia lebih suka menggunakannya untuk keuntungan mereka sendiri. Mereka tidak mau pusing. Mereka hanya tahu, ‘yang penting aku senang, aku puas, aku yang paling berkuasa’…” (hal.7).

Pada esai kedua berjudul ‘May Alcott dan Para Perempuan di Zamannya’, saya terkejut mendapati Naya mulai bicara soal patriarki. Ia menyorot suara-suara perlawanan perempuan yang ditulis oleh sejumlah pengarang perempuan era 1800-an selain May Alcott, seperti Jane Austen, Charlotte Bronte, dan Lucy Montgomery. Naya juga membahas soal perkawinan yang dalam banyak kasus di pelbagai belahan dunia sangat merugikan perempuan—hak-hak dan kebebasan mereka terenggut, mereka harus patuh pada perintah suami, dan yang lebih parah mereka harus melahirkan anak laki-laki jika tidak ingin dianggap sekadar sebagai seonggok daging.

Yang agak mengejutkan, Naya sudah sampai memiliki pemikiran bahwa perkawinan membuat kebanyakan perempuan menjadi “budak yang tak dibayar” dalam rumah tangga. Selain dalam esai ‘May Alcott dan Para Perempuan di Zamannya’, pemikiran itu juga ia tuangkan dalam esai berjudul ‘Penulis yang Keliru’.

“Menikahi anak usia empat belas tahun itu sama artinya dengan menjadikan mereka budak, bukan membantu mereka.” (hal.46). Pernyataan ini saya kira cukup berani. Semoga saja tidak ada pihak-pihak yang tersinggung.

Naya juga lantang membicarakan patriarki dalam esai ketiga berjudul ‘Tradisi Pengikatan Kaki yang Patriarki dan Egois’ (Singkirkan dulu masalah penggunaan kata ‘patriarki’ yang harusnya ditulis ‘patriarkis’ itu). Dalam esai ini Naya menyorot tradisi pengikatan kaki terhadap gadis-gadis kecil yang berlaku selama ratusan tahun di China. Anak-anak perempuan di China dipaksa menjalani tradisi naïf itu karena masyarakat China menganggap bahwa perempuan yang cantik adalah perempuan yang berkaki kecil dan bulat seperti bunga lotus. Tradisi itu disebut-sebut sudah berlangsung sejak tahun 920 Masehi. Naya menangkap bahwa lahirnya tradisi itu tidak lain merupakan buah patriarki yang sangat kental di China.

“Laki-laki selalu benar. Laki-laki diperlakukan seperi dewa dan perempuan dianggap serupa benda-benda,” tulis Naya pada halaman 25. Lebih jauh, Naya mencoba membayangkan bahwa perempuan berkaki kecil itu bukannya menjadi cantik, tetapi justru menjadi mengerikan. Masyarakat China sendiri mengikat kaki anak-anak perempuan mereka supaya cantik bila dipakaikan sepatu berwarna mencolok, bukan otomatis cantik karena kaki mereka berukuran kecil.

Berani Mengkritik Penulis
Esai ‘Penulis yang Keliru’ sendiri pada dasarnya membahas kekeliruan Arthur Golden soal status sosial geisha di Jepang dalam novelnya Memoirs of A Geisha. Berangkat dari berbagai referensi yang sudah ia baca, Naya berani menyimpulkan bahwa Arthur Golden adalah penulis yang keliru. Kekeliruan Golden, menurut Naya, terletak pada anggapan bahwa geisha adalah perempuan penghibur yang menjadi simpanan para laki-laki kaya atau laki-laki yang punya kuasa. Padahal, menurut sumber yang dibaca Naya, geisha adalah seniman (penari). Adapun “perempuan penghibur” dalam konotasinya sebagai jalang di Jepang disebut oiran. Kekeliruan lainnya dari Golden adalah dia gagal membedakan geisha dewasa dan profesional dengan maiko (calon geisha) dalam hal penampilan.

Kritik Naya mengenai “kegagalan penulis” juga ia tulis dalam esai ‘Misteri dalam Dua Buku Clarissa Goenawan’. Naya menyorot Clarissa yang hanya menjadikan latar Jepang sebagai “stiker tempelan” belaka.

“Clarissa Goenawan mengambil Jepang di dalam ceritanya seperti hanya meminjam nama dan tempat saja. Menurutku, dia kurang memunculkan detail-detail yang sangat identik dengan Jepang.” (hal. 54).

Sementara dalam esainya yang berjudul ‘Isabel Allende dan Mitos-Mitos Amerika Latin’, Naya secara terang-terangan menyindir penulis-penulis Indonesia yang jarang mengangkat mitos-mitos dan foklor menjadi cerita yang menarik dan bermutu, dengan cara memuji karya Isabel Allende yang baginya cukup berhasil menceritakan mitos di Amerika Latin.

“Maksudku bukan sekadar cerita Bawang Merah-Bawang Putih sebanyak 3 halaman dan tokoh yang baik selalu menang dan yang jahat selalu kalah. Jangan sampai mitos-mitos yang ada di Indonesia hilang tanpa jejak…” (hal. 67).

Dari beberapa esainya, bisa ditangkap bahwa intensitas Naya dalam membaca dan menulis pada akhirnya membuat ia kritis dan skeptis terhadap bacaannya. Hal itu diperkuat dalam esainya berjudul ‘Membaca Sejarah yang Berbeda’. Dalam esai ini, Naya membahas tentang permaisuri China, Tzu Shi atau Yehonala, yang kisahnya dituliskan dalam banyak versi yang berbeda. Bahkan, dalam khazanah sastra pun, perbedaan versi kisah Yehonala itu tetap ada. Misalnya, Anchee Min dalam novelnya Empress Orchid mengisahkan Yehonala sebagai gadis muda yang baik hati. Sementara  novel Maharani karya Pearl S. Buck menceritakan bahwa Yehonala adalah sosok yang kejam dan tak kenal belas kasihan. Sebagai pembaca, Naya sudah memiliki sikap untuk tidak percaya begitu saja terhadap sebuah bacaan.

Kritik terhadap Rasialisme
Selain patriarki, Naya juga banyak bicara soal rasialisme dan perbedaan status sosial dalam bukunya ini. Dalam esai ‘Buku yang Memicu Perang Saudara’ yang membahas buku Ucle Tom’s Cabin, Naya mengkritik sikap rasistis orang-orang kulit putih di Amerika Serikat yang menjadikan orang-orang kulit hitam sebagai budak yang diperjualbelikan dan memperlakukan mereka tak lebih dari seekor anjing. Selain dicambuki dan diperintah untuk mengerjakan pekerjaan-pekerjaan kasar (mengangkat beban, kerja di ladang kapas, dan lain sebagainya), orang-orang kulit hitam juga dipisahkan dari anak-anak dan istri/suami mereka. Mirisnya, para rasialis kulit putih itu rajin beribadah ke gereja dan merasa hanya mereka yang pantas masuk surga.

“Aku tidak tahu apa yang ada di dalam kepala mereka. Mungkin hanya kotoran kuda. Bagaimana jika mereka yang dipisahkan dari anak-anak mereka?” (hal. 85).

Tidak cuma di AS, Naya juga menyorot beberapa kasus rasisme di berbagai belahan dunia sepanjang sejarah, termasuk kekejaman Nazi Hitler selama Perang Dunia ke-2, di mana Hitler menganggap ras Arya sebagai ras unggul, dan menjadikan sikap rasis itu sebagai dasar untuk membantai orang-orang Yahudi.

Yang lebih berani lagi, Naya menyorot rasisme di Indonesia, yang kerap dirasakan oleh orang-orang Papua. Selain soal olok-olok sebutan ‘monyet’, Naya berani mengungkit perlakuan pemerintah RI terhadap orang Papua dalam kaitannya dengan sumber daya alam di Papua yang terus dikeruk untuk kepentingan di “Jawa”.

“Mereka diejek dengan panggilan monyet hanya karena warna kulit mereka berbeda, mode rambut mereka berbeda, bahasa mereka berbeda. Padahal Papua adalah wilayah di mana sumber daya alamnya selalu diambil.” (hal. 108).

Tidak cuma itu, Naya juga berani mengungkit isu rasisme di Papua dalam kaitannya dengan hak kemerdekaan bagi segala bangsa, sesuai dengan preambule UUD 1945. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia seperti mengangkangi UUD 1945. Pemerintah RI selalu berdalih soal NKRI harga mati dan soal keutuhan wilayah yang pada dasarnya semakin menegaskan kerakusan dan kolonialisme terhadap Papua.

“Ketika mereka ingin bebas, kita (maksudnya pemerintah RI) mencegahnya dengan berbagai cara. Tentara dan polisi dikirim ke Papua. Mereka bilang, mengawasi pemberontakan orang-orang Papua. Siapa yang tidak marah dan memberontak jika hasil buminya diambil sementara orang-orangnya diperlakukan dengan tidak adil? Bisa-bisa bakal terjadi Perang Sipil seperti di Amerika,” tulis Naya.

Selain masalah warna kulit, Naya menekankan pentingnya keadilan ditegakkan dengan tidak memperhatikan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, cacat atau normal, tinggi atau pendek, dan sebagainya. Beberapa kali Naya menyinggung soal seksisme yang membuat posisi perempuan termarginalkan, termasuk dalam pengalaman hidupnya sendiri di sekolah, di mana gurunya selalu memposisikan murid perempuan di bawah murid laki-laki. Dia juga menyinggung soal kenapa pandangan tersebut terbentuk dan tumbuh subur di tengah masyarakat, mulai dari perbedaan dalam pemberian hadiah untuk anak laki-laki dan anak perempuan hingga doktrin perbedaan cita-cita anak laki-laki dengan anak perempuan.

“Apakah kamu ingat mainan apa yang dihadiahkan kepadamu ketika kamu berulangtahun? Jika kamu perempuan, pasti bakal menjawab, alat permainan masak, menjahit, atau boneka. Dan jika kamu anak laki-laki, pasti kamu akan bilang, mobil-mobilan, pesawat tempur, helicopter, atau permainan yang terlihat keren.” (hal. 115).

Kekayaan Bacaan
Seperti yang saya sampaikan di awal, selain suara-suara aktivisme, buku kumpulan esai Naya ini juga berisi banyak pengetahuan, sebagai bukti kekayaan khazanah bacaan Naya. Bahkan bisa jadi, informasi yang disodorkan Naya dapat menjadi pengetahuan baru bagi sebagian pembaca. Misalnya ketika ia membahas geisha, ternyata geisha pertama bukanlah perempuan, melainkan laki-laki. Geisha laki-laki sudah ada di Jepang sejak tahun 1600, sementara geisha perempuan baru muncul 150 tahun setelahnya. Hal itu, menurut Naya, lagi-lagi tidak terlepas dari budaya patriarki yang juga mengakar di Jepang masa itu, di mana perempuan bahkan tidak boleh keluar rumah, apalagi menari dan menyanyi di hadapan banyak orang.

Membaca 17 esai dalam buku Naya ini, jika Anda bukan orang yang kaya akan bacaan, mungkin akan membuat Anda minder. Setidaknya saya pribadi merasakan demikian. Betapa tidak, banyak sekali buku yang sudah Naya baca yang saya bahkan baru pertama kali mendengar judul dan nama penulisnya. Empress Orchid karya Anchee Min dan Maharani karya Pearl S. Buck hanyalah dua di antaranya.

Namun, buku setebal 152 halaman ini bukannya tanpa cacat. Masih ada beberapa kesalahan dalam kalimat yang ditulis Naya. Juga ada beberapa masalah dalam hal mengidentifikasi kata sifat dan kata benda. Patriarki adalah kata benda, dan bila ia dimaksudkan sebagai kata sifat, agaknya perlu ditambahkan ‘s’ meskipun lema ‘patriarkis’ belum masuk dalam KBBI.

Perihal aktivisme Naya sendiri, sebenarnya bukan barang baru. Sejak buku pertamanya pun, Resep Membuat Jagat Raya (kumpulan puisi, 2017), Naya memang sudah mulai menunjukkan “pemberontakan-pemberontakan” dan kritik sosial dari apa yang pernah ia lihat dan rasakan. Bedanya, semakin ke sini, suara aktivisme penulis novel ‘Rahasia Negeri Osi’ itu kian lantang dan berani. []


Penulis:

Abul Muamar, lahir di Perbaungan, 6 November 1988. Menulis reportase dan cerpen. Buku kumpulan cerpennya, ‘Pacar Baru Angelina Jolie’ (Gorga, 2019).

Tags :

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *