Cerpen
Dukun Tiban

Dukun Tiban

Laki-laki sekitar setengah abad itu kurus melangit, bermata kecil, tapi sorotnya tajam bak burung hantu. Bibirnya gampang tersenyum mengimbangi rahangnya yang keras dan kaku. Rambutnya panjang dan seluruhnya putih, mirip gambaran pendekar-pendekar silat di komik Asmaraman S. Kho Ping Ho, selalu dikucir atau disanggul di atas kepala. Kami tak pernah tahu persis siapa nama sebenarnya dan berapa usianya. Dia dipanggil sebagai Mbah Cipto.

Kami juga tak pernah tahu sejak kapan Mbah Cipto datang dan bermukim di kampung kami. Yang kami tahu, Mbah Cipto membeli separoh tanah milik Carik Keni, salah satu warga kampung terkaya. Di tanah yang luas itu, Mbah Cipto membangun rumahnya yang megah dengan model limasan.

 Tak ada yang tahu apa pekerjaannya, namun tamunya banyak sekali. Kami sering kasak-kusuk menerka bahwa Mbah Cipto adalah seorang paranormal kondang atau seorang dukun tiban. Kasak-kusuk kami menerka bahwa Mbah Cipto adalah paranormal para pejabat penting dan pengusaha-pengusaha besar, walau sebenarnya kami tak pernah tahu apakah tamu-tamu yang datang dengan mobil mewah itu benar pejabat penting atau pengusaha sukses. Yang jelas tamu-tamunya kebanyakan masih belum terlampau tua.

Walaupun tak banyak bicara, Mbah Cipto adalah seorang ramah dan banyak senyum. Dia tak segan menyapa kami ketika lewat depan gardu kampling. Kalau tidak sedang berpergian atau tidak sibuk dengan para tamunya, Mbah Cipto cukup sering  nongkrong di warung Lik Dji. Warung itu menjadi tempat kami para penghuni kampung tiap malam melepas penat. Saat marung, Mbah Cipto tetap tak banyak bicara, lebih banyak berdiam diri dan lama-lama menikmati wedang jahe dan samsu kesukaannya.   

Di suatu malam, saat  ngopi dan nokrong di warung Lik Dji, tiba-tiba Mbah Cipto bergumam, “Kasihan Juragan Setu. Sebenarnya orang baik. Malang benar nasibnya. Ia akan ketiban sial.”

Kami  melongo tak paham.

Tujuh hari kemudian terjadi geger. Rumah Juragan Setu dirampok ludes. Seluruh uang dan perhiasan simpanan ludes. Juragan Setu mencoba melawan. Tapi, perlawanannya langsung padam setelah dua jarinya puthul ditebas kelewang.

Setelah peristiwa rampokkan itu, warga kampung makin yakin bahwa Mbah Cipto adalah seorang dukun tiban yang waskita dan memiliki ilmu terawang mampu membaca peristiwa akan datang. Warung Lik Dji pun kian ramai karena kami para pemuda kampung menunggu ‘sesuatu’ dari Mbah Cipto.

Awalnya kami bertanya hal yang remeh-temeh, misalnya soal cewek atau pekerjaan, kemudian berkembang ke persoalan rumit seperti dunia kebatinan. Bahkan, kami sering kali kelewatan.

Pernah suatu malam, Jakus, seorang teman kami, ngerocos bertanya tombokan togel.

“Mbah, mbok kami diberi rezeki? Anu, Mbah, nomer togel Rabu depan keluar berapa?” tanya Jakus dengan nekat

“Nomer, ndasmu, itu, Le! Di meteran listrik Lik Dji itu kan ada!” kata Mbah Cipto.

Kami hanya mesem klinyutan.

Rabu, esoknya, Jakus menari-nari kegirangan, empat angka di meteran listrik Lik Dji itu nembus seluruhnya. Mbah Cipto pun makin tersohor sebagai paranormal yang mumpuni.

Aku makin penasaran. Pengin tahu ada apa saja rumah orang yang sakti. Aku lantas nekat mengamati rumah Mbah Cipto. Dalam imajinasiku, rumah seorang paranormal atau dukun pastilah dihiasi dengan berbagai macam keris, tombak, payung yang dibungkus mori putih dan di tiap pintu tergantung gembolan, bau kemenyan, kembang setaman atau yoshua.

Imajinasiku salah.

Suatu ketika, aku dimintai tolong Mbah Cipto untuk memperbaiki listrik. Kesempatan ini tak kulewatkan. Mataku jelalatan mengamati tiap lekuk bagian rumah Mbah Cipto.

Ternyata ruangan-ruangan rumah Mbah Cipto bersih dan wangi karena aroma parfum mahal. Di dinding tidak ada satu pusaka pun, hanya ada dua lukisan besar, lukisan ukir dari Bali dan lukisan cat minyak bergambar perempuan berkucir. Ada lemari berisikan benda pecah belah mahal, seperangkat meja kursi, televisi layar datar 90 inci, dan permadani tebal menutup lantai. Indah, harum, mewah, dan mahal.

Satu yang tak bisa kulihat, yaitu sebuah kamar besar yang terkunci rapat. Tampaknya kamar itu hanya digunakan Mbah Cipto untuk menemui tamunya, yang semuanya laki-laki, muda-muda dan gantheng, bahkan ada yang gempal dan berewok.

Pikirku, pastilah Mbah Cipto seorang homo. Ia pasti punya ilmu gemblak! Bukankah ilmu gemblak itu ilmu yang diikuti dengan laku khusus tidak melakukan hubungan seks dengan perempuan dan harus memelihara anak laki-laki yang disebut gemblakan sebagai ganti perempuan atau istri. Kepalaku sibuk menduga-duga apa saja yang dilakukan Mbah Cipto dengan para tamu di kamar rahasianya.

Pagi itu kampung kami geger! Mobil-mobil polisi bersliweran.  Bukan karena perampokan seperti yang terjadi di rumah Juragan Setu, namun polisi-polisi itu menangkap Mbah Cipto. Penangkapannya pun sangat dramatik. Diwarnai baku jotos dan tembak antara para polisi dengan empat tamu Mbah Cipto yang akhirnya ditembak kakinya.

Mbah Cipto tak terluka sedikit pun. Masih tersenyum kepada kami saat digelandang masuk ke sebuah mobil polisi. Desas-desus pun menyeruak dengan berbagai versi. Ada yang mengatakan Mbah Cipto terjerat kasus penipuan, ada kabar Mbah Cipto ditangkap karena narkoba. Yang paling santer adalah dugaan  teroris.

Dengan bantuan seorang kenalan polisi di Polres kota, aku berhasil menemui Mbah Cipto di tahanan. Dari mulutnya sendiri ia bercerita bahwa ia adalah seorang gembong rampok. Ia telah melakukan puluhan perampokan, termasuk di rumah Juragan Setu. Aku hanya manggut-manggut seperti anak kecil. Dalam hati aku misuh-misuhi  Mbah Cipto yang dengan cerdiknya mengelabui kami seluruh warga desa.

Saat aku pamit, Mbah Cipto berbisik tegas, “Jangan kau ceritakan siapa aku sebenarnya kepada siapa pun. Aku pengin pulang ke kampungmu. Di sana kopinya enak dan akan kulanjutkan pekerjaanku. Bukankah kalian telah memberiku pekerjaan. Pekerjaan sebagai dukun tiban!” katanya sambil terkekeh-kekeh.

Aku hanya diam mendongkol.(*)


Penulis:

Tjahjono Widarmanto. Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006, saat ini melanjutkan studi di program doktoral Unesa.

Buku puisi terbarunya Percakapan Tan dan Riwayat Kuldi Para Pemuja Sajak (2016) menerima anugerah buku hari puisi Indonesia tahun 2016. Bukunya yang terbit terdahulu Pengantar Jurnalistik; Panduan Penulis dan Jurnalis (2016), Marxisme dan Sumbangannya Terhadap Teori Sastra: Menuju Pengantar Sosiologi Sastra (2014) dan Sejarah Yang Merambat di Tembok-Tembok Sekolah (2014), Mata Air di Karang Rindu (buku puisi, 2013) dan Masa Depan Sastra: Mozaik  Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), Di Pusat Pusaran Angin (buku puisi, 1997), Kubur Penyair (buku puisi:2002), Kitab Kelahiran (buku puisi, 2003), Nasionalisme Sastra (bunga rampai esai, 2011), dan  Drama: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), Umayi (buku puisi, 2012).

Selain menulis juga bekerja sebagai guru di SMA 2 Ngawi.  Sekarang beralamat di Perumahan Chrisan Hikari B.6 Jl. Teuku Umar Ngawi. Telp. (0351)746225 atau 085643653271. E-Mail:  [email protected],  

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *