Puisi
Puisi Jamaludin GmSas

Puisi Jamaludin GmSas

Riwayat Uwais al-Qarni

/1/

Pada punggungnya yang belang-belang,
ada haudah yang terbuat dari keringat
dan akar-akar tubuh yang menjalar dengan
kuat untuk membawa seorang perempuan
renta mengunjungi rumah tuhan.
“Kugunakan kakiku sebagai kayu,
supaya cepat menyala cita-cita ibu,”
ucap lelaki yaman dengan lantang
di hadapan seekor lembu yang ia
gendong naik-turun bukit saat waktu fajar
dan juga senja di setiap hari-harinya.

“Uwais gila! Uwais sinting! Hidupnya seperti
sisifus. Membawa anak lembu layaknya batu,”
seru teman-temannya meledek.
Laki-laki yaman itu menutup telinganya,
tapi matanya tetap saja menyala-nyala
melihat perjalanan panjang menuju kota suci

demi seorang ibu yang ingin tunaikan ibadah haji.
Semakin berat beban anak lembu
semakin besar juga otot-otot pada tubuhnya.

/2/
“Ibu, naiklah ke punggungku, kuterbangkan
tubuhmu menuju rumah tuhan,”
seru Uwais yang sudah terbiasa membawa
lembu yang beratnya melebihi tubuh Ibu.
Kakinya mulai melangkah di atas bumi,
tapi kucuran keringatnya malah membanjiri langit ilahi

—membuat para penghuni langit basah
tersebab hujan keringat Uwais yang pecah.

/3/
“Apa yang kamu minta, Anakku?”
tanya Ibunya kala melihat ka’bah

berdiri megah di antara kedua matanya.
“Ampunan, keselamatan, dan keridaanmu,
itu sudah cukup menghapus segala air mata
yang selalu membasahi dosa-dosa,”
jawab Uwais lewat bibir wanginya yang
sebenarnya mampu meniup segala
bentuk doa ke langit-langit sana.

Ibunya menangis. Ia memaksa Uwais untuk
memanjatkan sebuah doa demi kesembuhan
penyakit belang yang diderita pada kulit tubuhnya.

Al Ikhsan, Desember 2020


Botol Ajaib

Perut ibu umpama perut botol ajaib.
Semalaman tangan ayah menggosok-gosoknya
hingga pada waktu itu keluarlah aku.

Aku pernah meringkuk di dalam botol itu
bersama kegelapan, kemudian Ayah dan Ibu
menyelamatkanku dari kesepian.

Tak seperti pada dongeng, yang bila
sudah digosok, aku akan keluar
dan mengabulkan segala permintaan.

Memang aku keluar, tapi Ayah dan Ibu
tak banyak meminta, justru aku yang tiba-tiba
menangis dan ingin dikabulkan cita-citanya.

Al-Ikhsan, Maret 2021


Pada Kaki Langit

Biarlah kunamai diriku fajar, senja,
atau pun malam yang kelam—
ibu tetaplah cakrawala, di mana doaku
terbit, tenggelam, dan menjadi gemintang.

Al-Ikhsan, November 2020


Di Waktu Itu

“Ibu, di sini gelap,” kataku ketika aku baru saja
muncrat dan keluar dari mulut-mulut suci
dan wangi. Lalu aku mondar-mandir mencari
Ibu dan kutemukan ia sedang kesusahan tidur,
sedangkan Ayahku menyalakan api-api
rejeki dan nurani dari beberapa suluh doa
yang sengaja ia jemur setiap malam selama beberapa

bulan di antara dada dan kedua mataku.

Al-Ikhsan, Juli 2020


Pelajaran Mewarnai dari Ibu

Air mataku jatuh dan menjelma pensil
yang bergerak sendiri mengukir sketsa
luka yang tak bisa dipahami bentuknya.
Ibu mengambil krayon dari tubuh rentanya.
Ia mulai mewarnai sketsa dengan
imajinasi yang tak bisa diduga-duga.
Aku hanya duduk cermat melihat kegiatan
ibu sambil senyam-senyum menertawai
sketsa luka yang ujug-ujug menjadi
peristiwa yang berwarna dan bermakna.

Al-Ikhsan, November 2020


Tragedi Nyamuk

Ada yang mendengung seperti
nyamuk di sekitar telingaku, seperti
isyarat dahaga akan kopi yang
mengarus di sungai tubuhku.

“Apa nyamuk akan kuat dengan kepahitan
kopi yang sudah ada pada tubuhku sejak
kali pertama Tuhan menaruhku di dalam
rahimmu, Bu?” tanyaku kepada Ibu.

Dan suara ibu tiba-tiba mendengung.
Ia menjawab pertanyaanku dengan
bahasa nyamuk yang tubuhnya siap
diluluhlantakkan oleh tangan-tangan waktu.

Al-Ikhsan, Juni 2020


Sejarah Aku

Pada mulanya diam seperti batu,
lalu tiba-tiba ada yang memberi jiwa yang dalam
untuk sebuah kehidupan yang amat panjang

— terciptalah seorang aku.

Aku gerakkan kedua kakiku untuk melemaskan
: kutendang-tendang angin subuh
dan kutonjok-tonjok cakrawala yang angkuh,
“Siapa aku?”

Pagi itu aku tidak tahu siapa aku.
Kutelisik tubuh telanjang yang ada
pada cermin yang sedang kutatap itu
: bersih, bening, dan bercahaya.

Kemudian terdengar suara perempuan
yang bernyanyi sambil menitipkan pesan,
“Sudah kutiup ubun-ubunmu dengan janji
lewat doa-doa yang tinggi dan berani.
Tuhan akan selalu menjaga tubuhmu
melalui air mata naluri seorang ibu.”

— hiduplah seorang aku.

Al Ikhsan, Juni 2021

Zat Kimia Pelukan

Selama masih ada Ibu, kehidupan adalah bayi.
Ibu dengan sabar menitah kaki-kaki
yang masih belum bisa berjalan di setiap
jalanan yang baru ia temui di atas bumi.
Puting ibu selalu mengeras dan mengeluarkan
air susunya ketika mendengar anaknya
menangis dan haus akan kasih-sayang dunia.
Ibu selalu punya tabungan air susu
untuk menghapus segala kesedihan
yang datangnya tak pernah tepat waktu.
Aku baru tahu, ternyata Tuhan selalu
memelukku lewat pelukan-pelukan ibu.

Al-Ikhsan, Agustus 2020

Di Meja Makan

Pada malam itu, kujadikan
pangkuan ibu sebagai meja makan
yang paling haru. Ibu kubiarkan
duduk saja melihatku memasak segala
bentuk dongeng di dapur kesayanganku.
“Gimana masakanku, Ibu?”

“Uripmu pedes, yo Le,”
jawab ibu sambil meminum air mataku.

Al Ikhsan, Januari 2021


Penulis

Jamaludin GmSas, lahir di Pemalang, 20 Juli. Ia adalah santri di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji, Banyumas. Laki-laki pecinta kopi ini puisi-puisinya pernah disiarkan di media cetak dan daring. Puisinya juga termuat di beberapa antologi bersama, antara lain: Tahun Baru Bersama Bunda (Anara Publishing, 2018), Petani dan Sebatang Padi (Jejak Publisher, 2018), Setumpuk Rindu Yang Berdebu (Inspira Pustaka, 2019), Perempuan Ghirsereng: Kumpulan Sajak Penyair ASEAN-3 (Dema FTIK IAIN Purwokerto, 2020), Kembang Glepang 2: Antologi Karya Sastra Para Penulis Banyumas (SIP Publishing, 2021). Bisa dihubungi di Facebook: Jamaludin GmSas dan Instagram: @jamaludin-gmsas.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *