Resensi Buku
Eufemisme-Metafora, Hasrat Politis, dan Etiket Berbahasa

Eufemisme-Metafora, Hasrat Politis, dan Etiket Berbahasa

Judul : Dikuasai Kata-kata
Penulis : Achmad San
Penerbit : Diva Press
Cetak : Pertama, Juli 2021
Tebal : 128 halaman
ISBN : 978-623-293-097-1

“Bahasa suatu bangsa dapat merepresentasikan budaya bangsa itu sendiri”. Kata Sutan Takdir Alisjahbana. Demikian Sastrawan Pujangga Baru itu mengagungkan etiket berbahasa. Baginya, bahasa menjadi instrumen simbolis representasi diri. Cermin pengetahuan sekaligus merefleksikan pola sikap. Etiket berbahasa pada titik ini mesti disikapi dengan penuh kesadaran yang begitu sublim.

Bahasa bukan hanya sekadar alat komunikasi, melebihi dari itu ada aspek normatif yang harus dijaga. Sebagai entitas tak terpisahkan dari ruang publik, kendali individu dalam menggunakan bahasa menjadi begitu signifikan. Berbahasa yang tidak terkendali bisa saja memicu terjadinya gelombang ujaran kebencian (hate speech), hasrat memanipulasi, dan menggunungnya eufemisme.

Achmad San tak ingin publik dikuasai bahasa. Dirinya gelisah, tak mau diam.  Dikuasai Kata-kata merupakan hasil dari kegelisahannya yang tak mau diam itu. Laku hidup sebagai editor di Jawa Pos, membikin dirinya berkarib dengan dunia teks.  Mengumpulkan data, dan berusaha mengamati fakta. Ada sesuatu yang mesti diulik dalam kerja-kerja kesehariannya itu. Sesuatu yang trivial nan problematik dari bahasa, namun sering terucap. Ihwal eufemisme, metafora, dan etiket berbahasa.

Eufemisme, dalam linguistik kritis (critical linguistic), merupakan sebuah ungkapan kebahasaan yang bertujuan memperhalus sebuah keadaan sehingga apa yang ditangkap pendengar tidak sama dengan keadaan aslinya. Eufemisme sering berkelindan di seputar dunia politik. Jamak digunakan elite untuk memperhalus maksud agar bisa menaruh simpati publik.

Sikap kritis sang editor pun begitu jeli mengamati tiap detail ucapan elite politik  yang berkonotasi memihak kaum populis. Di peristiwa Covid-19 yang menerungku, misalnya, ragam kebijakan preventif pun dibuat pemerintah bertujuan memangkas kasus persebaran, sekaligus memberi rasa tenang di hati masyarakat. Persoalannya, terkadang setiap yang terucap dari pemerintah memiliki kecenderungan untuk sekadar menarik atensi publik, bukan mengungkap realitas yang sebenarnya.

Seperti  dalam sebuah penggalan pidato Khofifah Indar Parawansa. Dua frasa muncul amat problematik. “Masyarakat jangan panik”  dan “mari kita jaga bersama secara psikologis” . Terjadi penghalusan. Frasa ini sebetulnya menunjukkan sikap pemerintah yang tidak transparan. Sebab saat itu, di Jawa Timur sudah sekitar delapan orang spesimen yang terkonfirmasi positif dan satu di antaranya meninggal. Sikap gubernur seolah menunjukkan “ketidaksiapan” menghadapi fakta demikian karena enggan membuka data. Sedangkan frasa kedua merupakan contoh lain penghalusan untuk tidak mengatakan ketakutan warga. (Hal-15)

Terlepas dari persoalan eufemisme, penggunaan metafora dalam lingkar elite politik juga kerap dijadikan alat propaganda. Metafora beredar pamrih medium perang wacana.  Entitas bahasa yang paling mudah dipahami dalam dunia politik, kata Berd (2000). Lewat metafora, seseorang dapat mengonstruksikan dunia sekitarnya dan bagaimana cara dunia dikonstruksikan orang lain untuk kita.

Kunci metafora dalam dunia politik tilikan San meniscayakan konsep “musuh” dan “lawan”, serta “pemenang” dan “pecundang”. Term cebong-kampret dan togog-kadrun, misalnya, memuat kelindan dua konsep di atas yang disematkan oleh masing-masing pihak untuk merepresentasikan ketidaksukaan mereka pada pihak yang beroposisi dengannya. Bagi San, setiap metafora memuat gugus ide di dalamnya. Di sinilah pentingnya memahami metafora dengan baik.

Karenanya, San ingin masyarakat memahami dan menggunakan bahasa dengan baik. Detail etiket berbahasa dalam masyarakat diulik hingga kesan tendensi didaktisnya begitu terasa.  Lalu kita mengangguk tanda paham kala fenomena berbahasa yang dianggap trivial mampu menyadarkan kita. Merujuk yang trivial itu, sebagai salah satu contoh dalam penggunaan kata “maaf” dan “terimakasih”. Kedua kata terbilang “sakti”. Secara representatif menunjukkan kerendahan hati sang pengucap, meskipun terdengar mudah dan remeh.

Dengan mendahulukan meminta maaf, setidaknya kita telah berusaha menyemai benih kasih sayang terhadap orang lain. Perlahan berhasil merobohkan tendensi egoisme akut yang bersemayam dalam diri kita. Inilah salah satu contoh sederhana etiket berbahasa yang sarat muatan makna.  Orang tua kita selalu mengingatkan hal sederhana serupa meminta maaf itu, bahkan sebelum kita sadari telah melakukan suatu kesalahan.

Pengajaran ihwal menjaga dan menjunjung tinggi moral telah ditandur sejak dini oleh orang tua kita. San tak ingin masa lalunya terkubur-kabur. Ingatannya dibawa ke masa kecil, masa di mana dirinya lebur dalam nasihat baik orang tua. Sebagai orang Jawa, paribasan, saloka, parikan, hinggga keretabasa menjadi instrumen komunikatif paling subtil menyampaikan nasihat moral kepada anak-anak di Jawa yang tak luput San tilik.

 San menutup buku dengan mendedah persoalan berbahasa yang selama ini (disadari atau tidak) kerap merendahkan derajat perempuan. Tentang kamus yang tak ramah perempuan, komentar seksis sehari-hari, dan pelbagai isu-isu berbahasa bertaut dunia gender merupakan fenomena mutakhir yang coba dikritisi. Baginya, ada etiket berbahasa yang mesti diinternalisasi dalam diri ketika berkomunikasi dengan perempuan. Semacam sikap antisipatif agar tidak terjadi diskrimasi terhadap perempuan.  

Demikianlah etiket berbahasa menjadi identitas kolektif yang mesti terimplementasi dalam keseharian kita. Etiket berbahasa dapat merepresentasikan laku baik seseorang. Menanggalkan etiket berbahasa bersiap dipandang tak beretika. Sebaliknya, dengan menilik aspek etis berbahasa berarti menakhtakan spirit memuliakan adab keindonesiaan sebagai selebrasi adiluhung manusia Indonesia.   

Akhirnya, kehadiran Achmad San melalui Kuasa Kata nya bukan satu-satunya medium mengenali etiket berbahasa dalam jagad linguistik kita. Ada Holy Adib melalui Perca-perca Bahasa nya, juga Ivan Lanin sang linguistik ulung yang rajin dan tak segan membagikan etiket berbahasanya melalui pelbagai platform media sosial. Ketiganya memiliki persamaan yang khas ; sama-sama menjelaskan persoalan secara detail sehingga persoalan yang tampak sederhana itu menjadi begitu serius. Tilikan Achmad San terhadap persoalan sederhana itu—bagi Tatang Mahardika, Redaktur Jawa Pos— bersifat unik, tajam, dan tak terduga. []


Penulis:

Muhammad Ghufron. Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Pembaca buku di Garawiksa Institute, Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *