Esai
Nusa Yang Hilang: Narasi Sejarah dan Diskursus Pascakolonial

Nusa Yang Hilang: Narasi Sejarah dan Diskursus Pascakolonial

Narasi sejarah adalah kumpulan fragmen-fragmen peristiwa yang dipotret dari berbagai sudut pandang. Karena itu, peristiwa sejarah selalu tak sederhana dan bersifat kompleks. Sejarah selalu berupa jalin kelindan peristiwa yang rumit. Mencatat sebuah peristiwa berarti juga mengabaikan peristiwa lain. Maka, narasi sejarah selalu tentang siapa dan apa yang tercatat. Narasi sejarah seringkali hanya mencatat peristiwa-peristiwa ‘besar’. Namun, di sisi lain, selalu ada penggalan-penggalan ‘kecil’ yang tak tercatat dalam narasi besar sejarah. Ada banyak peristiwa yang terlupakan. Ada banyak nama yang terabaikan.

Dalam narasi sejarah, kehadiran seri monolog Di Tepi Sejarah dapat disebut sebagai sebuah praktek diskursif. Seri monolog Di Tepi Sejarah adalah usaha menggaungkan kembali fragmen-fragmen sejarah yang kurang mendapat sorotan dalam periode perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Happy Salma, produser pementasan, menyebut monolog-monolog ini sebagai upaya merawat ingatan. Sebagai praktik pewacanaan, karya-karya seni, termasuk seri monolog ini, menggulirkan kembali wacana-wacana yang selama ini terpinggirkan tentang sejarah yang terlupakan dan peristiwa yang terabaikan. Karena sekecil apa pun sumbangsih seseorang dalam perjuangan kemerdekaan, hal tersebut sangatlah berarti, penting dan patut untuk dihargai.

Seri monolog ini mengguratkan kesimpulan bahwa banyak sekali pihak yang terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, termasuk juga golongan minoritas negeri ini yang kurang mendapat perhatian seperti orang cina peranakan (The Sin Nio), warga negara asing (Muriel Stuart Walker), dan penduduk indonesia timur (Riwu Ga). Monolog-monolog ini menunjukkan bahwa sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia terukir dengan menjunjung tinggi kemanusiaan universal yang melampaui sekat-sekat agama, ras, dan warna kulit.

Salah satu monolognya adalah Nusa yang Hilang tentang seorang perempuan bernama Muriel Stuart Walker yang diperankan oleh Chelsea Islan. Ia lahir di Skotlandia, namun tumbuh besar di Amerika, lalu datang mengunjungi Bali. Perempuan ini yang kemudian diberi nama Ketut Tantri, turut serta dalam perjuangan kemerdekaan republik dengan bergabung bersama para pejuang Surabaya. Dengan bahasa inggris, ia berjuang dengan memberitakan kebengisan Inggris terhadap rakyat Surabaya melalui siaran-siaran radio.

Sebagai sebuah diskursus, monolog berdurasi 57.20 menit ini sangatlah menarik ditinjau dari dua hal dengan menggulirkan wacana poskolonial dan wacana keperempuanan. Dengan menghadirkan sudut pandang seorang perempuan asing, monolog Nusa yang Hilang menghadirkan diskursus poskolonial yang menyingkap wacana-wacana kolonial yang secara dominan berkembang dalam masyarakat.

Dalam wacana dominan tentang perjuangan kemerdekaan negara ini, terutama setelah reformasi 1998, tokoh asing dipersepsikan sebagai tokoh jelek yang anti terhadap kemerdekaan Indonesia. Segala yang serba asing adalah selalu hal-hal bengis yang digambarkan seperti iblis. Sebaliknya, tokoh-tokoh pribumi selalu digambarkan dengan tokoh yang baik dan mendukung kemerdekaan. Hal ini dipertegas dengan kehadiran karya seni seperti film yang menggambarkan kejelekan tokoh-tokoh asing seperti Darah Garuda (2010), Sang Pencerah (2010), Soegija (2012), Soekarno (2013) dan H.O.S. Tjokroaminoto (2015). Dalam hal ini, monolog Nusa yang Hilang berada pada arus yang berbeda dengan beberapa karya seni seperti dalam film-film tersebut.

Karya seni sepeti film dan petunjukan monolog sebagai sebuah diskursus dapat melanggengkan wacana yang dominan dalam masyarakat atau menolak wacana dominan. Maka, monolog Nusa yang Hilang memilih poin kedua. Dapat dikatakan bahwa monolog ini adalah anti-tesa dari nasionalisme yang menggebu-gebu yang serba anti-asing seperti dalam film-film di atas, karena monolog ini menggambarkan tokoh asing baik yang berpihak pada perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Dengan tegas, Ketut Tantri berucap dalam monolog:

“Aku adalah perempuan kelahiran Inggris yang tanpa ragu berdiri di belakang revolusi kemerdekaan rakyat Indonesia.”

Dalam fakta-fakta sejarah, banyak pula tokoh-tokoh asing yang mendukung kemerdekaan Indonesia dengan mengabarkan kekejaman penindasan kolonial seperti Eduard Douwes Dekker yang mengarang novel Max Havelaar berdasar kisah sejarah. Ada pula tokoh-tokoh pribumi yang mendukung kekuasaan Belanda. Misalnya, para bangsawan-bangsawan Jawa yang mengabdi kepada Belanda seperti Pakubuwana II, Pakubuwana III dan Pangeran Mangkubumi. Para residen-residen (bupati) pada jaman Belanda juga diangkat oleh Gubernal Jenderal yang kebanyakan mengabdi kepada kekuasaan kolonial.

Dalam monolog tersebut juga digambarkan bahwa seorang tuan controller yang memiliki darah pribumi malah bersikap membenci pribumi dan menganggap rendah orang-orang pribumi. Maka, dalam sejarah perjuangan kemerdekaan, tokoh-tokohnya tidaklah hitam putih. Orang asing selalu mendukung kolonialisme dan orang pribumi selalu anti terhadap kolonialisme. Karena perjuangan kemerdekaan adalah perjuangan berdasarkan asas kemanusiaan universal, bahwa tidak seharusnya manusia saling menindas dan menjajah manusia lainnya.

Ketut Tantri berkata dengan yakin:

“Kemerdekaan dan kemanusiaan melebihi batas apapun: negara, agama, kebangsaan, juga warna kulit.”

Pada titik ini, wacana monolog Nusa yang Hilang dengan mengangkat seorang perempuan asing yang mendukung kemerdekaan Indonesia dan melawan para penjajah menjadi hal yang menarik karena melawan stigma-stigma dominan dalam wacana masyarakat.

Hal menarik lainnya tentang wacana poskolonial dalam monolog ini adalah tentang pandangan-pandangan Ketut Tantri sebagai orang asing di bumi Nusantara. Pertama-tama, ia memandang Bali sebagai wilayah eksotis seperti lazimnya pandangan para wisatawan asing yang berkunjung ke tempat-tempat wisata yang jauh. Ia mengagumi adat istiadat Bali seperti ritual tradisi dan tari-tarian. Namun, perlahan-lahan, pandangan tentang Bali kemudian berubah saat ia keluar dari pura dan melihat penderitaan masyarakat Bali akibat kolonialisme. Walhasil, dengan nuraninya, Ketut Kantri memilih untuk tinggal di Bali dan ikut berjuang bersama rakyat.

Pikiran Ketut Tantri ini adalah hal luar biasa pada zaman itu karena orang kulit putih masih dipandang lebih tinggi daripada orang berkulit coklat. Bagi mereka, orang pribumi bukanlah orang yang sederajat dengan orang kulit putih seperti Ketut Tantri. Banyak dari orang-orang asing yang mempertanyakan keputusannya. Ketut Tantri berkata:

Banyak orang Belanda menanyakan tentang perjalananku. Mereka heran mendengar keinginanku untuk tinggal bersama orang-orang pribumi di Bali. Di mata mereka, itu tidak masuk akal. Bagaimana mungkin seorang perempuan berkulit putih tinggal bersama orang-orang pribumi dan memperlakukan para inlander itu sederajat.”

Ketut Tantri mempercayai bahwa manusia adalah makhluk sederajat dan tidak dibeda-bedakan berdasarkan warna kulitnya. Bahkan, ia mengagumi salah seorang putera raja yang bernama Pangeran Anak Agung Nura yang cerdas dan beradab. Ketut Tantri mengakui bahwa pengetahuan Sang Pangeran melebihi pengetahuannya. Pandangan positif dari seorang perempuan asing berkulit putih terhadap kaum pribumi ini menunjukkan wacana poskolonial yang menghancurkan persepsi-persepsi kolonial bahwa orang kulit putih selalu lebih unggul daripada kaum berkulit coklat.

Hal menarik kedua dari monolog ini adalah tentang wacana keperempuan dalam sejarah Indonesia. Pertunjukan ini dapat dibaca sebagai upaya untuk menghadirkan sudut pandang perempuan dalam narasi sejarah Indonesia. Bahwa perempuan turut hadir dan berjuang dalam kemerdekaan Indonesia. Selama ini, wacana perempuan dalam sejarah kemerdekaan Indonesia selalu tertutupi oleh hegemoni narasi sejarah laki-laki dan juga wacana sejarah nasional yang lebih besar. Monolog ini merupakan media alternatif yang tepat untuk menggambarkan peran dan sudut pandang perempuan dalam sejarah kemerdekaan republik.

Ketut Tantri digambarkan sebagai perempuan yang mampu bertahan dari perih pedih perjuangan. Ia pernah terlibat dalam gerakan gerilya bawah tanah sehingga ia disekap dan dipenjara oleh pemerintah kolonial Jepang. Ia adalah representasi dari perempuan yang otonom dan merdeka atas segala keputusan dan tindakannya, terutama pilihannya dalam berdiri bersama para pejuang-pejuang republik.

Pada mulanya, setelah ia bebas dari penjara, Ketut Tantri menerima surat dari pejuang Surabaya. Mengingat jasa-jasa Ketut Tantri sebelumnya, surat tersebut memberikan pilihan kepadanya untuk kembali ke Amerika dengan fasilitas dan transportasi yang telah disediakan para pejuang. Namun, di sisi lain, surat tersebut juga memohon pada Ketut Tantri untuk ikut berjuang kembali dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Ketut Tantri, tanpa intervensi dari pihak mana pun, akhirnya memilih untuk tetap di Indonesia dan berjuang bersama para rakyat Indonesia. Ia memilih jalan perjuangan kemanusiaan dengan mengabarkan kekejaman tentara Inggris melalui siaran-siaran radio.

Monolog ini secara teknis disajikan dengan apik dengan tata cahaya dan tata suara yang ciamik. Pemilihan Chelsea Islan sebagai aktor juga sangat tepat sebagai representasi Muriel Stuart Walker. Naskah lakon yang digarap dengan riset mendalam memiliki juga gaung indah tersendiri. Namun, sebagai penonton, hal yang sedikit mengganggu adalah kata-kata berbahasa asing yang dilontarkan sang aktor namun tanpa disertai subtitle dalam videonya. Bagi penonton yang tidak memahami bahasa asing, kata-kata berbahasa asing tentu tidak dimengerti. Akan tetapi, hal tersebut tidak mengurangi apresiasi saya terhadap pertunjukan ini yang dapat dinikmati secara daring Sungguh, pementasan monolog yang menyalakan api semangat pertunjukan teater di tengah pandemi.

Sebagai penutup, pertunjukan monolog Nusa yang Hilang ini membongkar wacana-wacana kolonial yang dominan dalam masyarakat. Pementasan ini dapat menjadi sumber alternatif menarik dalam melihat kembali narasi-narasi rasis, patriarkal dan hitam-putih tentang sejarah Indonesia. Karena sejarah kemerdekaan negara ini dibangun atas dasar kemanusiaan universal.

Seperti kata Pramoedya Ananta Toer dalam novel Bumi Manusia, seorang terpelajar harus adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan. Semoga dengan menonton pertunjukan ini, kita dapat berlaku adil dalam melihat sejarah dan memandang kemanusiaan. Semoga! []


Penulis:

Rosyid H.W. Lahir dan tinggal di Sidoarjo. Mahasiswa Kajian Sastra dan Budaya, Pascasarjana Universitas Airlangga. Esai dan cerita pendeknya dimuat di berbagai media masa seperti Jawa Pos, Media Indonesia, Kompas.id dan lain-lain. Kumpulan cerpen terbarunya “Rembulan di Bibir Teluk” (Pelangi Sastra, 2021) 

1 thought on “Nusa Yang Hilang: Narasi Sejarah dan Diskursus Pascakolonial

    • Author gravatar

      Poin kedua; menolak wacana dominan. Setelah membaca dan berupaya memahami tulisan ini, pola pikir saya berubah. Saya juga setuju 100% dengan poin kedua. Bahwasannya kebaikan maupun keburukan itu dapat datang dari mana pun. Kemerdekaan bangsa kita memang benar-benar sebuah perjuangan yang universal; semua perbedaan bukan alasan untuk tidak dapat membela nilai-nilai kemanusiaan dan hak kemerdekaan segala bangsa. Sebagian orang Belanda pun ternyata juga ada yang empatik terhadap Revolusi kemerdekaan kita. Peran-peran golongan minoritas pun juga layak untuk kita ketahui andil perjuangan mereka.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *