Cerpen
Malaikat Izrail

Malaikat Izrail

Empat hari yang lalu, Sukri bertemu malaikat Izrail sepulang dari menggarap sawah Pak Karmin. Ia mengabarkan kepada Sukri bahwa empat hari lagi ia akan menemui istrinya. Mencabut nyawa istrinya.

“Sampaikan segera kepada istrimu, agar ia mempersiapkan diri,” ucap Izrail.

“Baik, segera saya sampaikan kabar ini,” kata Sukri berbunga-bunga. Wajahnya cerah. Malaikat itu heran, sebab sepengetahuannya selama ini, orang-orang akan ketakutan bila dirinya hadir. Jangan-jangan Sukri akan menikah lagi? Katanya dalam hati. Tetapi kemudian malaikat Izrail sadar, seharusnya ia tidak punya prasangka.

Bagi orang yang rajin ibadah seperti Sukri, malaikat pencabut nyawa bukanlah makhluk yang harus ditakuti. Justru kedatangannya menimbulkan kebahagiaan. Tidak seperti orang yang telah mengantongi banyak dosa, mereka takut malaikat Izrail.

Begitu sampai rumah, Sukri langsung menyampaikan hal tersebut kepada istrinya, Sumi. Tak ada tanda-tanda takut di wajah Sumi. Sama seperti Sukri, Sumi sangat taat beragama. Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, pasangan suami-istri itu tak dikaruniai satu pun anak. Namun mereka tak pernah mengeluh, mereka berprasangka baik, mungkin Tuhan tidak memberikan rezeki berupa anak, dan menggantinya dalam bentuk lain.

Sumi bekerja sebagai penjahit di rumah, namun tidak melayani pembuatan baju, melainkan hanya menjahit baju-baju yang rusak karena suatu sebab. Pekerjaan pokok Sukri sejatinya bukan sebagai petani, melainkan pembuat batu-bata. Jika di sawah, berarti ia sedang menggarap sawah Pak Karmin bersama beberapa orang kepercayaannya—Sukri termasuk orang kepercayaan Pak Karmin.

Halaman rumah Sukri cukup luas, tanahnya adalah warisan dari orangtua. Di halaman rumahnya-lah semua proses pembuatan batu-bata berlangsung, mulai dari ngluluh (mencampur tanah liat, air, dan sedikit abu menggunakan cangkul) hingga membakar batu-bata di tobong—tempat pembakaran batu-bata berupa rumah tanpa dinding yang cagak-cagaknya terbuat dari bambu atau kayu.

Istri Sukri tak menderita penyakit apa-apa. Tetapi bagi Sukri, mati tidak mesti ada kaitannya dengan sakit. Jika Tuhan menghendaki, saat tidur pun orang bisa mati. Sebaliknya, jika Tuhan belum ingin seorang hambanya mati, di medan perang pun tetap selamat. Maka saat malaikat Izrail datang kepadanya mengutarakan maksudnya, ia tidak memikirkan akan hal itu.

Sukri juga tak berpikir, apakah orang-orang di sekitar yang meninggal dunia diberitahu oleh malaikat Izrail? Yang ada di pikirannya adalah bagaimana nantinya menyambut malaikat Izrail dengan sebaik-baiknya. Bagi Sukri, malaikat Izrail menjadi tamu paling istimewa. Dan di hari tibanya malaikat Izrail di rumahnya, menjadi hari yang paling bersejarah baginya.

Malam ini, Sukri mondar-mandir di depan rumahnya. Hari ini, tak lain hari seharusnya malaikat Izrail datang menemui istrinya. Sukri telah mempersiapkan diri dengan baik, mulai dari membersihkan halaman hingga berdoa. Pun Sumi. Istrinya itu selalu mengisi waktu luangnya untuk beribadah. Ia tidak ingin waktunya sia-sia menjelang kematian. Sukri sendiri sejak dua hari yang lalu tak bekerja. Di tobong, mungkin rindu cangkul kepada Sukri sudah menggunung.

Sukri telah menunggu kedatangan malaikat Izrail sejak setelah subuh. Sehari ini, pintu rumahnya terbuka. Namun hingga malam tiba, malaikat Izrail juga belum juga datang. Siang tadi sempat ada seseorang datang, hanya saja ia bukan malaikat Izrail. Orang itu datang ke rumah Sukri untuk memesan batu-bata.

Sukri terus mondar-mandir. Ia sama sekali tak memikirkan bagaimana caranya malaikat Izrail sampai di halaman rumahnya, apakah berjalan dari jauh mendekat ke rumahnya, atau langsung turun dari langit serupa seekor burung yang hinggap di daratan. Sukri tak memikirkan. Ia terus mondar-mandir. Begitu gelisah. Waktu terus berjalan. Malaikat Izrail tak juga datang.

“Apa ia tak jadi mencabut nyawa istriku?” tanyanya dalam hati, pada dirinya sendiri.

Jika malaikat Izrail tidak jadi mencabut nyawa istrinya, itu berarti Sumi masih ada waktu untuk hidup, jika hidup berarti ada peluang mendatangkan dosa. Namun bukankah itu sebagai kesempatan untuk menambah amal baik?

Beberapa saat kemudian, ia membantah prasangkanya sendiri. Malaikat Izrail tidak mungkin berbohong, karena perkataannya datang dari Tuhan. Itu artinya Tuhan tidak mungkin berdusta. Jika Tuhan berdusta, bukan Tuhan namanya, karena Tuhan maha sempurna, tanpa sedikit pun cela. Istriku pasti malam ini akan meninggal, artinya peluang mendatangkan dosa tertutup, kata Sukri. Sukri berdoa, supaya istrinya masuk surga. 

Lelah mondar-mandir, Sukri masuk rumah. Gelisah yang membebaninya berkurang banyak. Ia duduk di kursi ruang tamu. Ia tak lagi meresahkan soal malaikat Izrail yang tak kunjung memunculkan dirinya. Bisa jadi yang dimaksud malaikat Izrail akan menemuinya bukan di rumah, melainkan di tempat lain di mana istrinya berada. Istri Sukri sendiri sedang tak ada di rumah.

Beberapa saat yang lalu Sumi pamit membeli beras di swalayan langganannya dengan naik sepeda—Sumi selalu pergi hanya dengan sepeda tatkala jarak yang ditempuh tidak terlampau jauh. Sebenarnya di dekat swalayan ada pasar, tetapi anehnya harga untuk beberapa merek beras di swalayan lebih murah daripada di pasar, meski sebenarnya selisihnya sedikit. Membeli beras di swalayan langganannya sudah menjadi rutinitas Sumi.

Sukri membayangkan istrinya pulang dari swalayan mengayuh sepeda, menembus gelap malam. Lalu di pinggir jalan malaikat Izrail memanggilnya, menyuruhnya untuk berhenti. Sumi berhenti. Dengan penuh hati-hati malaikat Izrail mengutarakan maksudnya. Sukri membayangkan istrinya yang langsung menyerahkan diri begitu malaikat Izrail selesai berbicara sembari tersenyum. Sukri tersenyum.

Tiba-tiba Sukri mendengar ucapan salam. Sukri menghampiri pintu sambil membalas salam itu. Dan seketika hatinya bak disiram air dingin. Senyum diterbitkannya.

“Oh, malaikat Izrail. Silakan, mari silakan, duduk,” ucap Sukri dengan ramah. “Seperti ini kondisi rumah saya…”

“Terima kasih sebelumnya. Saya hanya sebentar. Ingin menyampaikan sesuatu.”

“Menyampaikan sesuatu? Untuk saya? Untuk istri saya? Kalau untuk istri saya, ia sedang membeli beras. Sebentar lagi juga datang.”

“Saya tidak akan menunggu istri Anda. Apa yang saya sampaikan ini untuk Anda,” ujar malaikat Izrail. “Saya tidak mencabut nyawa istri Anda di rumah karena istri Anda sedang pergi. Saya akan mengambilnya di jalan. Istri Anda sedang dalam detik-detik kecelakaan. Cukup itu saja yang saya sampaikan.” Di akhir bicaranya, malaikat Izrail mengucapkan salam. Ia pun melesat.

Kita tinggalkan Sukri.              

Di sebuah jalan telah terjadi kecelakaan. Pengendara sepeda yang menyalip sepeda motor di depannya—sepeda motor itu melaju lambat—beradu dengan sebuah sepeda motor yang berlawanan arah dengannya. Sepeda motor itu berupaya menyalip sebuah mobil kijang. Kedua pengendara terkapar.

Darah mengucur deras dari kepala Sumi. Kakinya basah oleh darah, tangan kirinya tertekuk ke belakang. Mata Sumi terpejam. Malaikat Izrail telah mengambil nyawanya. Saat ia hendak pergi, tak sengaja ia melihat ke arah pengendara sepeda motor yang juga terkapar. Matanya masih terjaga. Dadanya masih naik turun. Rambutnya yang panjang basah oleh darah.

Tangan kanannya hampir putus. Di bagian tertentu bajunya terdapat robekan. Ia terus mengerang akibat rasa sakit. Malaikat Izrail tentu tak bisa mencabut nyawa orang itu agar ia berhenti mengerang, sebab Tuhan tak menyuruhnya untuk mencabut nyawanya.(*)

~ Bantul, 2019-2021


Penulis:

Risen Dhawuh Abdullah, lahir di Sleman, 29 September 1998. Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas Ahmad Dahlan (UAD) angkatan 2017. Bukunya yang sudah terbit berupa kumpulan cerpen berjudul Aku Memakan Pohon Mangga (Gambang Bukubudaya, 2018). Alumni Bengkel Bahasa dan Sastra Bantul 2015, kelas cerpen. Anggota Komunitas Jejak Imaji dan Luar Ruang. Bermukim di Bantul, Yogyakarta. Bila ingin berkomunikasi bisa lewat @risen_ridho.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *