Resensi Buku
Suara dari Pengungsian

Suara dari Pengungsian

Judul Buku : Suara dari Pengungsian
Penulis              : Nissa Rengganis
Penerbit            : Langgam Pustaka
Tahun Terbit      : 2021
Jumlah Halaman : 80 Halaman

MEMBACA puisi-puisi Nissa Rengganis membuat saya khawatir. Dalam lima puluh puisi Suara dari Pengungsian (2021), terserak kegelisahan yang meriah: tegang, berisiko, bahkan sayup. Suasana-suasana tersebut menjadi lembing tajam yang menohok sekaligus meletupkan luka dari kesunyian yang meranggas di tenda-tenda pengungsian. Dan, Nissa melalui gerak avonturirnya telah mengantarkan tegangan frekuensi kuat dari peristiwa pengungsian pada antena kepala pembaca.

Tegangan frekuensi tersebut seperti mengantarkan gelombang antara teks dan peristiwa yang melampaui bentuk imajiner tanpa sekat. Baik dari skala masa lalu atau, bahkan, skala geografis yang membentang sekalipun. Dan, Nissa melalui Suara dari Pengungsian berusaha membuka peluang realitas dengan segala ketelanjangannya. Ia melihat, mencatat, sekaligus memulihkan kembali puisi sebagai peristiwa.

Misalnya dalam nukilan puisi Ishmael Beah, Nissa menulis keutuhan peristiwa yang gempar:

Hujan di kotaku telah menjadi batu
Pohon-pohon riuh
Tempat kami berteduh telah runtuh
Di sini tak ada lagi
Karnaval dan pesta kembang api
Hanya bising dentuman sepatu larsa
Dan sesak kepulan asap mesiu.

Ada desakan harapan yang pengap dari sesak kepulan asap mesiu hingga menjadi visualisasi peristiwa yang noise, kasar, dan kesat. Saya pikir Nissa tidak bermaksud menampik puisi sebagai sesuatu yang subtil, tapi justru realita itu sendiri yang meleburkannya menjadi deretan bait yang chaos.

Ia juga seperti menegaskan kembali fungsional puisi, khususnya dalam peristiwa pengungsian: secara subjek, misalnya memberikan pantulan peristiwa tak terelakkan dalam gambaran tubuh pengungsi yang terkatung dan tergantung di ranting-ranting ketidakpastian. Sementara sebagai objek, puisi menjadi bentuk dokumenter foto-foto wajah buram yang imajinatif sekaligus retoris. Di antara subjek dan objek, tak kurang bahwa puisi-puisi Nissa ialah sublimasi emosional yang menjelma denyut nadi itu sendiri.

Melalui hal tersebut dalam puisi Malala Yousufzai Nissa menulis:

Doa-doa mengalir di sepanjang lembah Swat
Menggigil dingin di pegunungan bersalju
Di halaman belakang rumahmu
Kata-kata kembali berbaring di sana

Puisi terbakar amarah
Bau darah kering, pohon-pohon terbakar tak berpenghuni.

Lebih lanjut lagi pada puisi Pernyataan Cinta Menjelang Ajal, ia juga menulis pertautan emosional dalam suatu puisi dengan bait:

Jika esok hari kematianku

Cintaku hidup dalam hidup
Sekaligus dalam kata-kata.

Keutuhan puisi-puisi tersebut menjadi tolak ukur di tengah jejaring peristiwa yang mencekam dan menegangkan. Tentu saja. Komposisi puisi yang dibangun Nissa menjadi semakin kompleks. Ia seakan menebus kembali puisi bukan sebatas imaji visual (penglihatan), tetapi auditif (pendengaran), bahkan taktil (perabaan atau sentuhan). Hal itulah yang kemudian menjadi radar dari apa yang nampak di antara peristiwa dan panca indera. Dalam hal ini, Octavio Paz pernah menulis, “Apa yang diperlihatkan puisi tidak bisa dilihat mata jasmani, tapi harus dengan mata jiwa. Puisi akan menyentuh pembaca yang tak tampak dan tak mendengar naiknya pasang kesunyian yang melingkupi sebuah lanskap yang boyak oleh insomnia (Nyala Ganda, 2018).”

Bagi Paz, kesadaran transenden atas suatu peristiwa adalah persentuhan yang konkret dalam menyelisik puisi. Karena puisi tak sekadar seonggok tubuh kata-kata. Puisi tercipta seperti membangun tumpukan kata menjadi peristiwa sebagai substansinya. Dan, dalam Suara dari Pengungsian, persentuhan pasang-surut dari kesunyian adalah salah satu puncak fungsional puisi yang paling intim sebagai peristiwa tragik.

Maka, yang seringkali nampak jelas dibangun oleh Nissa, tentu saja bukan peristiwa kesunyian yang estetis, atau subtil, atau sublim, melainkan kepingan fragmen destruktif yang berdengung di daun telinga. Suara yang karam dalam Suara dari Pengungsian berada di tengah pelataran nasib esensial puisi yang dilematis.

Dilematis tersebut mengawang-awang dalam nukilan puisi Tenda Bicara Kepada Angin:

Di tenda pengungsian
Angin melintasi segala kata
Hingga sajak-sajak tak lagi punya tenaga
Untuk sekadar mengirimkan doa.

Atau pada bait terakhir dalam puisi Di Tenda Pengungsian Seseorang Bunuh Diri, Nissa juga menggambarkan:

Aku heran sendiri
Mengapa ada yang perlu bunuh diri karena puisi
Bukankah tak perlu ada lagi puisi
Di tenda pengungsian macam begini.

Kedua nukilan puisi di atas menautkan napas puisi yang bermutasi dari elemen bunyi ke sunyi. Sekaligus memantik citraan dari keterasingan puisi yang menepikan diri. Kemudian, melalui percakapan imajiner yang impresif dalam puisi Di Tenda Pengungsian Seseorang Bunuh Diri secara utuh, Nissa memosisikan puisi sebagai subjek yang paradoks: di satu sisi memantul persinggungan antar emosional yang halus, tapi di sisi lain justru menjadi peran yang kasap dan ironis.

Pada titik ini, ia seperti ingin mengabarkan distopia-puisi bahwa ketika harapan manusia terlanjur mengapung, puisi justru berpotensi menjadi kata-kata yang memungkinkan terasa kering. Di sinilah kemudian puisi memantulkan bias pada dirinya sendiri di tengah peristiwa sebagai otokritik bagi diri yang tak menyelesaikan masalah apapun: nonsens.

Nissa pun, melalui konteks kesadaran distopia-puisi, menanyakan hal itu dalam puisi Pertanyaan:

Apakah aku masih ada dalam ingatan
Ataukah menjadi kata-kata
yang berhamburan
kemudian kau lupakan.

Barangkali memang tak ada yang perlu diharapkan dari puisi, sebab misi puisi bukan untuk menyelesaikan persoalan apa pun. Puisi—tercipta, terbangun, dan berdiri—sebagai dirinya sendiri. Artinya puisi akan nampak sebagai puisi, utuh, seperti halnya foto sebagai foto. Keduanya mempunyai porsi yang sama sebagai pemantik kontemplasi, sekalipun wujudnya berbeda. Bahkan, meskipun sejarah pernah menempatkan fungsional puisi sebagai senjata yang melatarbelakangi peristiwa, pada akhirnya puisi adalah tubuh kata-kata yang telanjang dengan organ-organ puitik yang memiliki dunianya sendiri.

Sementara dalam puisi-puisi Suara dari Pengungsian, secara keseluruhan nampak telah membebaskan diri dari dorongan sikap yang partikular, sebab telah memilih dirinya sebagai peristiwa universal yang menjadi persentuhan luka-luka kemanusiaan. Maka sederhananya, di sini peristiwa menjadi momentum tragedi sekaligus medan utama dalam cara kerja representasi yang dilakukan puisi-puisi Nissa.

Peristiwa-peristiwa khaostik dalam tubuh-puisi yang bertumpu pada spirit liris ini juga merupakan power (kekuatan/elan vital) yang berdenyut dari tegangan antena pada kepala penyairnya. Lebih dari sekadar antena, menjadi degup jantung yang kencang atas kegetiran pengasingan dari wajah-wajah pengungsi yang penuh baret di tengah hutan penderitaan. Meski pada akhirnya setiap peristiwa sebatas diungsikan puisi, diasingkan bahasa dan kata-kata, maka melalui pendekatan puitik dari pembacaan Paz, puisi-puisi Nissa menempuh jalan lain: sebagai jembatan impresif antar-kata dan peristiwa.(*)


Penulis:

Saefudin Muhamad. Lahir di Cirebon. Lulusan FKIP Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Kuningan. Bergiat di Komunitas Tjirebon Book Club.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *