Resensi Buku
Kucing dan Upaya Memaknai Waktu

Kucing dan Upaya Memaknai Waktu

Judul            : Jika Kucing Lenyap dari Dunia
Penulis         : Genki Kawamura
Penerjemah : Ribeka Ota
Penerbit       : Penerbit Baca
Terbit           : 2021
Tebal            : 255
ISBN             : 978-602-6486-43-1

Sekilas, judul novel ini terdengar menggemaskan: “Jika Kucing Lenyap Dari Dunia”. Kita mahfum ada kata kucing yang memunculkan dugaan bahwa ini adalah kisah yang manis. Atau paling tidak, pasti ada adegan yang memperlihatkan hubungan platonik antara seseorang dengan hewan peliharaannya yang seekor kucing. Tidak, dugaan itu sebenarnya tidak salah-salah amat, sebab adalah benar kalau kisah dalam novel karya Genki Kawamura ini mengandung sesuatu yang manis, kisah yang hangat, dan itu memang melibatkan hubungan si tokoh utama, narator ini, dengan kucing yang dipeliharanya. Kendati begitu, ada hal lain yang justru membuat novel ini tidak sepenuhnya menjadi sebuah kisah yang hangat: Kematian.

Sekali lagi, kematian. Kabar itu menyentak si toko utama yang tak bernama, yang merasa tubuhnya flu dan tidak sembuh-sembuh selama dua minggu, yang ternyata itu disebabkan kanker yang bersarang di otaknya. Parahnya, kondisinya sudah sedemikian gawat, sebab kanker itu sudah hampir sampai tahap final atau stadium IV. Tentu, pintu kematian segala terbayang di depan mata, menganga dan telah siap menyambutnya esok hari. Si tokoh utama tahu, hidupnya tidak akan bertahan lama lagi. Di tengah menghitung waktu hidupnya yang sebentar lagi itulah, datang sesosok Iblis yang tahu-tahu muncul di depannya saat ia terbangun dari sebuah tidur yang melelahkan. Si tokoh utama mengira itu bayangannya semata, sebuah tanda yang menyiratkan kematiannya sudah dekat. Namun, sosok Iblis itu nyata dan ia langsung mengenalkan dirinya. Kelak, si narator memanggil iblis itu dengan Aloha.

Seperti kedatangannya yang kelewat tiba-tiba, apa yang ditawarkan iblis itu tak kalah membuat si tokoh utama yang seorang tukang pos itu terbengong-bengong. Si iblis menawarkan, bahwa ia bisa menambah jatah usia si pria selama satu hari asal ditukar dengan menghilangkan sebuah benda atau hal dari dunia ini. “Untuk memperoleh sesuatu, harus kehilangan sesuatu.” (Hal.18) Itu hukum yang diingatkan sosok ibunya di masa lalu, dan kini seolah kedatangan iblis tadi menvalidasinya. Hal itu pula yang ditawarkan Aloha, ia bisa menghilangkan sebuah benda untuk menambah waktu hidupnya selama satu hari. Tahu kalau itu tawaran yang menggiurkan, si pria pun tak kuasa menolaknya. Ia bersedia menghilangkan sebuah benda untuk menggantikan waktu hidupnya.

Mulanya, Aloha meminta satu hal paling dekat yang ada pada dirinya, yaitu telepon. Lalu, apa jadinya kalau telepon hilang dari dunia ini? Si pria segera teringat kenangan tentang benda itu saat hendak menghilangkan telepon. Ia ingat, bersama mantan pacarnya, di masa lalu ia banyak menjalin fragmen obrolan yang asyik bersama perempuan itu. Ia sedikit menyesal mengingat ia kini tidak bisa lagi melakukannya. Selain itu, ia pun teringat sosok ayahnya yang sudah empat tahun lebih tidak pernah ia hubungi. Kendati tahu kalau hubungan mereka masih menegang, tetapi pikiran bahwa kelak ia sama sekali tidak bisa memberi kabar kepada lelaki itu tetap membuatnya masygul.

Setelah telepon, permintaan Aloha mulai aneh dan sama sekali tak diduga. Hari keduanya, si iblis itu meminta si tokoh utama menghilangkan film dari dunia ini. Benda satu ini pun memiliki kenangan tersendiri, sebab si mantan pacar tinggal dan bekerja di sebuah bioskop. Lantas, bagaimana jika film hilang dari dunia ini? Sebelum tiba pada keputusan itu, si tokoh utama teringat akan sesuatu hal lagi, “Dalam angan-angan itu, yang terbayang saat menghadapi kematian adalah penyesalan terhadap masa depan yang semestinya. Barangkali kata penyesalan tidak cocok untuk masa depan, tapi aku tidak bisa tidak menyesal tentang begitu banyak hal yang membuatku membatin seandainya aku masih hidup. Aneh juga. Tiap-tiap hal seperti itu ternyata merupakan “hal yang boleh ada, tapi boleh juga kalaupun tidak ada,” sama seperti film yang hendak kuhilangkan. (Hal. 118)

Monolog itu menyiratkan kesadaran yang perlahan muncul di benak si narator. Bahwa apa pun yang ada di dunia ini memiliki makna, nilai tertentu yang memang, terkadang tidak kita sadari. Adapun soal kematian, si narator sadar kalau semakin dekatnya ia dengan ambang kematian, angan-angan dan seberagam keinginan lainnya pun menyeruak keluar. Ia menyesal sebab kelak, ia tidak bisa melakukan beberapa hal lagi, ia akan kehilangan momen dan waktu melakukan hal-hal tertentu. Dan makna, itulah yang kian menguat di benak si narator. Ia ingin membuat hidupnya bermakna baik bagi diri maupun orang-orang yang ada di sekitarnya. Seperti yang ia katakan: “Seandainya hidupku ini sebuah film, aku berharap film itu menyisakan sesuatu di dalam hati orang, bahkan setelah kredit film berakhir. Sekecil apa dan sesederhana apa pun film itu, aku berharap ada seseorang yang merasa hidupnya terselamatkan dan hatinya dibesarkan dengan menonton film itu. Setelah kredit film usai pun hidup terus berlangsung. Dari lubuk hatiku aku berharap hidupku terus berlangsung di dalam ingatan seseorang. (Hal. 131)

Sejak itu, permenungan pun semakin sering dilakukan si narator. Seiring sekian benda yang sudah dihilangkan demi menyambung waktu hidupnya, timbul pula hal-hal yang memancing permenungan si narator, terutama mengenai eksistensi dari benda dan hal-hal yang ada di sekitarnya. Ia pun mulai memikirkan hubungannya dengan orang-orang yang menahun ia abaikan, ia anggap tidak lagi penting untuk dihubungi. Selain itu, ia sadar, akan betapa eratnya sejarah hidupnya dan keluarganya dengan sosok kucing yang mereka pelihara. Saat waktunya tinggal hitungan hari itu, ia tinggal bersama seekor kucing bernama Kubis. Kucing itu sudah laiknya teman hidup sekaligus sahabat yang selalu ada, baik suka maupun duka.

Sialnya, suatu hari, si iblis itu meminta si narator untuk menghilang hewan yang paling dekatnya dengannya itu. Maka, tibalah ia pada keputusan paling sulit yang pernah ia temui. Ia benar-benar kesulitan menentukan akan menghilangkan kucing dari dunia ini atau tidak. Di dalam cerita, masa-masa kebimbangan itu menjadi bagian terhangat dan sangat mungkin mengundang keharuan. Sebab, kesadaran si tokoh utama terkait nilai akan eksistensi dari si kucing kian mengemuka sekaligus berbenturan dengan keinginan untuk terus melanjutkan hidup. Manakah yang ia pilih? Hidupnya ataupun eksistensi si kucing?

“Tapi tidak ada artinya kalau sekadar hidup. Artinya ada pada bagaimana kita hidup, bukan?” (Hal. 227) Satu kalimat muncul di tengah puncak permenungannya. Kita kerap mengandaikan kehidupan yang panjang, yang bisa membuat kita menikmati beragam momen bersama orang-orang tercinta. Kita pun mahfum bahwa setiap bertambahnya usia, doa yang selalu tersemat dari belasan doa yang diucapkan orang-orang adalah “semoga berumur panjang”. Namun, akan berbeda saat kau mengetahui bahwa usiamu tidak akan bertahan lama lagi, seperti tokoh utama dalam novel ini. Pikiran bahwa kau perlu melakukan hal-hal tertentu yang memiliki nilai penting bagimu akan muncul. Sama seperti yang kelak dilakukan si tokoh utama: Kita memberi arti dari sisa waktu yang kita punyai.

Mengharukan. Kesan itu yang tersisa setelah menamatkan novel ini. Sergapan rasa gemas yang sebelumnya mencuat ketika membaca kali pertama, seolah tidak berarti lagi saat tiba di kalimat terakhir. Rasa haru itu pula yang sangat mungkin membuat kita teringat akan orang-orang terdekat yang sebelumnya, mungkin kita abaikan, sebab atas beberapa alasan personal. Di situlah, kisah di dalam novel ini menyuguhkan suatu kesadaran bahwa kita perlu menggeser sudut pandang dalam melihat sesuatu, terutama berkaitan dengan hubungan dengan seseorang. Sebab, bisa jadi, orang-orang tersebut sebenarnya telah memberi arti atau nilai yang sama sekali kita tak kita sadari. Terakhir, kendati dengan pesan yang sedemikian dalam itu, untungnya, novel ini tidak terjebak dalam parade narasi moral yang menggurui. Ia tetap berdiri sebagai cerita yang menghibur, yang menyenangkan, yang mengandung humor. Hal lainnya, terjemahan garapan Ribeka Ota pun patut diapresiasi, sebab ia bisa mempertahankan kekhasan dan jati diri dari penulisnya. Narasi dari novel ini mengalir dan hampir seluruhnya nyaman dibaca. []


Penulis:

Wahid Kurniawan, penikmat buku, mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Teknokrat Indonesia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *