Esai
Mitos dan Pembebasan Spiritualitas

Mitos dan Pembebasan Spiritualitas

DAYA TARIK mitos masih menjadi obsesi penyair. Mitos menjadi pijakan daya cipta, yang mengalirkan puisi hadir ke hadapan pembaca mutakhir. Dalam kumpulan puisi Jumantara (Pustaka Ekspresi, 2021), Wayan Jengki Sunarta sengaja menyingkap mitos-mitos yang menyelubungi atmosfer religiusitasnya sehari-hari ke dalam puisi-puisi panjang yang menghadirkan tokoh, latar, dan alur. Ia menyebutnya puisi prosa. Spiritualitas menjadi penjelajahan ekspresi daya cipta penyair, menyentuh dunia transendensi.

Makna “jumantara” adalah awang-awang, udara, langit, atau angkasa. Ini  merujuk pada pengertian jagat spiritualitas yang transenden, sebuah dunia kontemplasi tanpa batas. Dengan berpijak pada mitos, Wayan Jengki Sunarta tak ingin kehilangan akar penciptaan yang menjadi jati diri kulturalnya, yang membawanya sebagai penerima Penghargaan Utama Anugerah Puisi Terbaik Hari Puisi Indonesia 2021. Bagi saya, dan juga pembaca masa kini, kumpulan puisi  ini menjadi penawar pergolakan batin melawan hedonisme dan hasrat duniawi yang mengotori atmosfer kehidupan. Ia sangat lincah memanfaatkan mitos dalam semua puisinya.   

Saya menemukan aneka mitos yang menyusup sebagai motif puisi prosa yang diciptakannya. Mitos-mitos itu hadir dari penghayatan spiritualitas dan religiusitas yang melingkupi kehidupan masyarakat, maupun diciptakan dalam imajinasi penyair. Mitos-mitos itu mungkin personal, tetapi seringkali telah dipahami pembaca dan masyarakat: sarkofagus, singa bersayap api, Dewi Durga, Candi Gunung Kawi, punarbhawa, dan leak. Dengan mitos-mitos itu penyair menyusupkan spiritualitas yang sesekali berhadap-hadapan dengan hegemoni kekuasaan.

*** 

Saya tertarik pada kekuatan mitos dan religiusitas yang memberi warna katarsis terhadap  hegemoni kekuasaan  yang menindas manusia sepanjang pergeseran zaman. Dalam  puisi “Balada Sang Putri”, penyair menyingkap hegemoni kekuasaan raja yang menyingkirkan anak kandung dari sisinya: “ketahuilah, pujanggaku/ aku bukan sejatinya putri istana/ aku hanya anak jadah/ meski ayahku turunan raja/ yang sungguh kasip kuketahui/ namun tak pernah kutahu rupa ibuku/.  Hegemoni kekuasaan raja yang menyertai kekuatan patriarkhi, mencipta narasi yang berpihak pada seorang putri yang dinistakan kekuasaan, yang sepanjang hidupnya menyandang duka, aib, kesunyian, kesepian, dan mengutuki takdirnya sendiri.

Kehadiran mitos dalam kumpulan puisi ini mengalirkan struktur narasi untuk mencapai perlawanan hegemoni kekuasaan. Dalam puisi “Singa Bersayap Api” muncul mitos Dewi Durga untuk menyingkap spiritualitas di tengah kekotoran tradisi manusia: sebuah pesta di petilasan penuh lumut/ tambur dan genderang bertalu/ penari-penari tua menandak-nandak/ di atas kuburan batu/ kain disingkap hingga lutut/ paha-paha layu dalam rayuan malam/api cahaya biru berkedip-kedip/ di sela-sela rambut terurai/ lidah menjulur dengan percik-percik api/ api dari birahi/ api sakti/ dari durga/ yang akan menghanguskan aku/ tanpa sisa//. Dewi Durga dihadirkan sebagai simbol kekuatan sakti yang menghanguskan manusia dari peradabannya, dan penyair melakukan mitos pengukuhan terhadap tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Penyair memunculkan Dewi Durga yang terkutuk dan merusak jiwa manusia.   

 Pembebasan spiritualitas terhadap hegemoni kekuasaan yang paling tajam muncul dalam puisi “Cakra Punarbhawa”. Puisi ini berkisah tentang siklus reinkarnasi sebagai ekspresi hukum karma yang berkaitan dengan samsara, dengan kelahiran kembali ke dunia secara berulang-ulang; karena atma (roh) masih diliputi keinginan duniawi: Suatu malam raja melepas lelah dalam rahim ibu/Aku terjaga. Aku benih, gabungan sudra dan ksatria/Aku menggenangi genta-genta pendeta/ Aku putra jadah, rasi bintang yang sendiri/ Terbuang, tak diakui/ Meski raja mencintaiku/namun tahta adalah utama setelah titah/. Larik-larik puisi ini menuturkan bahwa tahta lebih diutamakan raja, dan cinta terhadap manusia justru dikorbankan. Dalam bait-bait berikutnya, penyair menghadirkan berkali-kali reinkarnasi, yang berperan sebagai manusia tertindas hegemoni kekuasaan. Tokoh itu senantiasa ternistakan dan teraniaya di hadapan penguasa.

Reinkarnasi  itu kembali muncul dalam puisi “Pengelana Tanah Timur” dengan hegemoni kekuasaan yang menelantarkan rakyatnya: apakah raja tahu beberapa depa dari taman/ atau bahkan dari puri, bocah-bocah kumal/ menghibur perut mereka dengan kaldu kerikil/ yang dimasak ibunya?/ hamba rasa raja tiadalah tahu/ para punggawa dan penasihat istana/ senantiasa menghibur raja dengan kabar gembira/ yang disadap dan disamak dari kulit rakyatnya sendiri//. Betapa hegemoni kekuasaan raja telah  mencipta kenestapaan hidup rakyat. Wayan Jengki Sunarta  menghadirkan spiritualitas untuk menyingkap hegemoni kekuasaan yang menindas dan mencipta kesengsaraan rakyat atau bahkan keturunan raja, demi keagungan tahta.

***

Dalam dialog mengenai proses penciptaan kumpulan puisi Jumantara, Wayan Jengki Sunarta menyingkap rahasia pergeseran daya cipta dari puisi liris ke arah puisi prosa. Ia berusaha membebaskan diri dari tradisi penciptaannya sendiri yang takjub pada penciptaan puisi liris Chairil Anwar, dan mencoba menemukan ragam puisi naratif. Dalam dialog itu ia menuturkan, mesti memiliki napas panjang untuk mengekspresikan ide dengan pertaruhan diksi, dan disertai dengan ketekunan untuk mengedit berulangkali puisi-puisinya.

Wayan Jengki Sunarta melakukan pencarian terhadap “identitas sastra” yang mempresentasikan ciri-ciri kultural dan ciri-ciri literer berkembang secara bersama-sama dalam kumpulan puisinya. Ia  menjelajah obsesi yang lebih intens: jati diri penciptaan teks sastra. Yang mengasyikkan, penyair berobsesi pada ekspresi bahasa yang mengemas persoalan-persoalan kemanusiaan dan kultur yang berakar pada tradisi kehidupan masyarakatnya. Ia juga tidak lagi mencipta puisi sebagai jejak  kultural dan  literer Chairil Anwar.

Ciri-ciri kultural yang dikembangkan Wayan Jengki Sunarta  dalam penciptaan puisi mengingatkan saya pada ekplorasi Sanusi Pane yang mengagungkan spritualitas sebagai obsesi penciptaan. Sanusi Pane sangat kuat berobsesi pada akar tradisi, mitos, dan spiritualitas yang melingkupi atmosfer kehidupannya. Bahkan Sanusi Pane juga mencipta puisi prosa yang cukup panjang dalam “Syiwa-Nataraja”. Secara literer, puisi-puisi Wayan Jengki Sunarta mengingatkan saya pada puisi-puisi W.S. Rendra pada awal mula penciptaan ketika menulis puisi-puisi balada.

Puisi-puisi dalam buku ini menampakkan kemampuan penyair menyentuh hal-hal yang berkaitan dengan eksplorasi diksi dan nilai rasa bahasa. Bahasa dimanfaatkan penyair untuk memberikan empatinya pada narasi kecil.  Nilai rasa bahasa mempertegas empati penyair pada rakyat yang tertindas, teraniaya, bahkan terkucilkan.      

Wayan Jengki Sunarta menemukan “identitas sastra” yang berpijak dari atmosfer kehidupan masyarakatnya. Teks sastranya menandai kegelisahan orientasi kreativitasnya. Memang pengaruh yang ditimbulkannya tak sedahsyat Chairil Anwar, W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono dan Goenawan Mohamad. Akan tetapi, intensitas pencarian “identitas sastra” ke dalam spiritualitas tanah leluhurnya menjadi jawaban akan kegelisahan daya cipta para penyair mutakhir. []


Penulis:

 S. Prasetyo Utomo, sastrawan, doktor Ilmu Pendidikan Bahasa Unnes.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *