Cerpen
Permintaan Adam

Permintaan Adam

Kami sepakat bertemu pukul sepuluh lewat sepuluh di depan geraja kota D. Aku menunggunya sejak pukul sepuluh pagi dan sekitar lima belas menit lagi akan jam dua belas siang. Sudah kuputuskan, aku akan terus menunggu sampai di benar-benar datang. Tak biasanya aku dibuat menunggu selama ini. Andai saja kejadian tiga hari lalu tak terjadi, kami tidak akan bersepakat untuk melakukan ini.

Orangtua Adam menolak hubungan kami. Mereka berkeras memintaku untuk ikut memeluk kepercayaan Adam dan keluarga. Hanya saja, lahir dan besar di keluarga pendeta membuat keinginan itu mustahil untuk kulakukan.

Terlebih lagi, aku dan Adam tak pernah mempermasalahkan ini sejak awal. Adam pun menolak permintaan itu dan mencoba melakukan sebuah rencana tiga hari ke depan.

***

“Apa kau yakin dengan rencanamu itu?”

“Tentu saja, aku sudah memikirkan kemungkinan ini sejak lama.”

“Lalu, apa yang akan kita lakukan selanjutnya?”

“Kita akan pindah ke kota M dan bermukim di sana.”

“Bagaimana dengan keluargamu?”

Adam terdiam tak menjawab. Hingga aku mengulang pertanyaanku.

“Jauh sebelum semua ini, aku sudah ingin pergi jauh dari keluargaku.”

Aku tak bertanya lebih jauh lagi. Sudah sejak lama Adam menceritakan masa lalu kelam bersama keluarganya. Setiap kali Adam bercerita, aku hanya mendengar dan mengamati emosi Adam yang terkadang tak stabil.

Suatu waktu dia menangis terisak-isak setelah menceritakan satu permintaannya kepada ayah dan ibunya semasa dia di kelas lima sekolah dasar. Adam selalu melihat sosok putih bercahaya di sudut kamarnya. Dia bilang, “Aku melihat malaikat, aku melihat malaikat!”

Setelah itu, dia akan menunjuk sudut kamar itu. Tapi ayah dan ibu sama sekali tak percaya apa yang diceritakan Adam. Bahkan setelah beberapa kali Adam menceritakan kejadian itu, ayahnya geram dan membentak Adam.

“Kau mungkin seperti kakekmu. Diam sekarang!”

Saat itu Adam tak pernah lagi bercerita tentang sosok putih yang dia lihat di kamarnya. Ibunya memeluk Adam yang menangis. Adam mengerti jika kakek yang dimaksud ayahnya punya penyakit jiwa mengerikan. Adam merasa kecewa saat disamakan dengan kakeknya. Kakek Adam bunuh diri akibat gangguan mental.

Adam diminta lebih rajin beribadah dan mengaji setiap malam. Namun demikian, Adam tetap saja melihat sosok itu. Bahkan sosok lain pun kerap muncul di kamarnya.

Adam selalu meminta kepada Tuhan agar kedua orangtuanya mengerti, sialnya itu tak pernah terjadi. Beranjak remaja hingga dewasa, Adam masih selalu melihat dan menemukan peristiwa itu berulang. Namun dia sadar betul jika kewarasan masih berpihak pada dirinya.

Saat bertemu Adam tiga tahun lalu di perpustakaan kampus, aku punya kesempatan bercerita hal-hal penting dalam hidupnya. Pasalnya, di saat bersamaan Adam menjadi salah satu narasumber mata kuliah wawancara psikologi klinis. Aku tak sengaja mendapat kontaknya dari kenalanku di kos lantaran beberapa syarat yang kubutuhkan sesuai dengan Adam. Hingga rencana Adam itu kami sepakati, aku masih bisa mengingat jelas pertemuan dan cerita yang dijelaskan Adam kepadaku.     

***

Sehari sebelum rencana Adam kusetujui, aku kembali mengingat masa-masa awal perjumpaanku dengannya. “Sosok itu seperti gambaran Yesus!” katanya. Lalu aku bertanya, “Kenapa kamu bisa bilang seperti itu?”

Adam bercerita panjang lebar, sejak kecil dia punya seorang teman beragama Protestan sepertiku. Dia bermain dan sesekali berkunjung ke rumah temannya. Aku tak terlalu sulit menjelaskan beberapa hal tentang keyakinanku lantaran Adam sudah tahu banyak hal. Hanya aku yang belum memahami tentang keyakinan Adam dan agamanya. Aku berusaha memahami keyakinan Adam, beberapa hal menarik dan beberapa lagi masih menimbulkan pertanyaan.

Tapi selebihnya, aku bersyukur bisa menjalani hubungan dengan Adam tanpa perlu mempermasalahkan perbedaan keyakinan ini. Walau sebenarnya kami telah siap jikalau restu orangtua kami akan cukup berat menerima hubungan aku dan Adam.

Malam itu, Adam tiba-tiba menghubungi melalui video call. Dia kembali menunjuk sudut kamarnya sambil mengatakan, “Aku melihat malaikat, aku melihat malaikat!” Tapi sejujurnya, aku tak melihat apa-apa selain dinding yang sedikit retak dan beberapa sarang laba-laba di sana. Demi menenangkan hati Adam, aku berusaha mengatakan “Ya, aku mencoba melihatnya. Tapi mungkin cuma kamu yang bisa melihatnya langsung”

Adam bersikeras jika aku juga bisa melihatnya hingga aku berbohong dan mengatakan, “Ya, aku melihat seberkas cahaya di sudut sana!”

Adam lalu tertawa dan tampak sangat senang setelah aku mengatakannya. Barulah sepuluh menit kemudian, dia mulai menceritakan rencananya.

Dia ingin mengajak aku pindah ke Kota M, dan dia akan pindah keyakinan. Tapi aku lebih meminta untuk pindah agama dan menikah dengannya. Tapi Adam pun kembali bersikeras untuk pindah ke agama yang kuanut. Kami belum punya pilihan yang tepat, tapi setidaknya kami akan pindah ke Kota M.

Di kota M, ada sebuah pantai dengan pasir putih yang indah, suasana kota tenang, penduduknya terkenal ramah dan saling menerima perbedaan. Sebuah kota wisata yang memang sejak dulu didambakan Adam, dan aku pun demikian. Di kota itu juga, Adam ingin menulis lebih banyak. Dia percaya akan menulis puisi yang lebih baik jika menulisnya di kota itu. Aku juga bisa membuka jasa psikolog di kota M.

 Aku mengerti jika Adam begitu baik dalam merencanakan sesuatu, tapi aku pun paham jika Adam mulai mengalami waham yang cukup mengkhawatirkan. Tidak ada salahnya jika aku mengikuti rencananya, pikirku. Di Kota M yang tenang, aku bisa melakukan terapi kepada Adam. Meski dia selalu merasa baik-baik saja dan hanya meminta untuk dimengerti, aku sadar jika Adam mesti mendapatkan terapi.

“Terapi puisi,” batinku. Itulah yang selalu kupikir akan tepat bagi Adam. Dengan cara itu, dia bisa menyembuhkan dirinya secara tidak langsung. Aku masih mencari dan membaca beberapa bacaan tentang terapi ini.

Memikirkan rencana Adam dan usaha untuk pindah ke Kota M membuatku sulit tidur. Aku membayangkan beberapa hal yang cukup rumit. Aku tak tahu apa yang akan terjadi pada orangtua Adam, begitu juga dengan orangtuaku. Saat aku bertanya kepada Adam tentang itu, dia selalu bilang, “Tenang saja, aku sudah punya rencananya!”

Sialnya, aku selalu percaya padanya. Meski sebenarnya itu bukanlah keputusan tepat. Perasaanku begitu kuat hingga mengalahkan nalarku.

Saat terlelap, aku bermimpi melihat diriku sendiri berdiri di depan pintu gereja kota D. Aku menunggu Adam dan seorang kakek yang wajahnya amat mirip dengan Adam datang menghampiriku. Dia mengenakan kopiah hitam, celana kain berwarna abu-abu, dan baju kemeja hijau tua.

Dia memberi salam “Assalamu Alaikum” dan aku menjawab seperti yang diajarkan Adam kepadaku. Kakek itu lalu bertanya tentang Adam.

“Kau pernah dengar permintaan Adam?”

Aku mengangguk dan agak ragu menjawabnya. Kakek itu kembali bertanya, “Aku tahu kau sedang menunggu Adam, bukan?” Lagi aku mengangguk, tak tahu harus menjawab apa.

“Baiklah, aku akan menjelaskan permintaan Adam kepadamu!”

“Maaf, Kakek siapa?”

“Aku akan menceritakan ini dengan ringkas. Adam pernah bercerita tentang aku kepadamu!”

Alisku seketika berkerut, mencoba mengingat-ingat cerita Adam. Tapi sulit untuk memastikan kapan dan bagaimana cerita itu.

“Jika kau lupa,” kakek itu kembali bicara, “kau bisa mengingat saat pertama kali kau mewawancarai Adam tentang kakeknya yang mati bunuh diri!”

Saat dia mengatakan “bunuh diri” seketika aku bisa mengingat dengan jelas cerita Adam. Terlebih wawancara yang dulu kami lakukan telah aku verbatim dan buat laporan khususnya demi keperluan tugas kuliah.

Kakek Adam mati bunuh diri setelah melihat sosok malaikat yang dia anggap sebagai malaikat pencabut nyawa. Berjubah hitam dan paras yang amat menyeramkan. Sehari sebelumnya, kakeknya sempat bicara jika dia akan pergi esok hari, sosok bercahaya putih di sudut kamarnya datang memberitahunya. Saat orang-orang menemukan mayat kakek Adam, tak ada yang tahu pasti di mana dia mendapatkan tali untuk menggantung diri. Orang-orang di rumah tak pernah melihat tali itu. Tapi Adam percaya, jika malaikat maut yang memberi dan memintanya melakukan itu.

Di mimpi, aku kembali mendengar cerita itu. Tepat seperti apa yang disampaikan Adam waktu itu. Saat aku bertanya tentang tali yang dia gunakan gantung diri, jawabannya sesuai seperti yang diceritakan Adam sebelumnya. Saat semua tampak jelas, dia mengatakan, “Adam punya permintaan kepadamu, pulanglah ke rumah dan berhenti menunggunya!”

Beberapa detik setelah dia mengatakan itu, suasana berubah dan aku tiba-tiba berada di dalam kamar Adam. Kulihat dia berdiri di atas kursi dengan memegang tali yang melingkar dan dia kalungkan di lehernya. Kakinya menendang kursi dan seketika aku terbangun dengan leher terasa sakit dan napas sesak.

***

Aku masuk ke dalam gereja untuk buang air kecil, tidak biasanya Adam membuatku menunggu seperti ini. Bahkan saat dia mengantar atau menjemputku, dia selalu datang lebih awal dibandingkan waktu yang ditentukan. Dan seperti itulah hubungan kami berlangsung hingga hari ini. Semua itu membuatku percaya jika Adam akan menjadi sosok yang bertanggungjawab. Aku sudah menghubungi Adam via chat, tapi belum juga dibalas. Saat kutelepon, tak ada jawaban.

Lima menit sebelum jam dua belas siang, seorang kakek yang mengenakan kopiah hitam, celana kain berwarna abu-abu, dan baju kemeja berwarna hijau tua datang menghampiri. Seketika aku menyentuh leher dan mengatur pernapasanku yang tiba-tiba terasa sesak. Aku ingat permintaan Adam dan lupa rencananya, rencana yang mungkin tak patut dianggap rencana.(*)

 

 


Penulis:

Wawan Kurniawan menulis puisi, cerpen, esai, novel dan menerjemahkan. Buku puisinya yang terbit tahun ini, Museum Kehilangan (2020). Aku Mengeong (2021) adalah kumpulan cerpen pertamanya diterbitkan di Indonesia Tera. Penulis dapat dihubungi via email, [email protected] atau twitter @wnkurn

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *