Puisi
Puisi Eko Setyawan

Puisi Eko Setyawan

Mendengar Kegelisahan dari Gudang Arsip

: PDS H.B. Jassin

telah dibangun sunyi di tengah keriuhan kota,
ketika waktu tiba-tiba beku dan tak menyisakan apa pun
selain ingatan yang mulai pudar.

sejak kenangan tumbuh liar,
masa depan seolah ranggas.
tak ada lagi harapan, juga mimpi-mimpi yang enggan mekar,
selain kemegahan yang sebenarnya kosong.

kemegahan, sesungguhnya adalah nada tanpa suara.
tiada yang mampu mendengar keajaiban
selain dengan menutup mata dan kedua telinga
sembari merangkai mimpi tentang himne juga ode yang mulai dilupakan.
: atau barangkali sengaja dihilangkan.

pada suatu waktu, di tempat ini,
kau akan bersua buku-buku usang penuh debu,
kliping yang mulai berjamur, juga yang paling berharga dari itu semua
: album lawas yang berderit ketika kau putar
dan hanya tinggal nama yang dikenang,
tapi tidak dengan kenyataan yang menyelimutinya.

nama-nama yang diingat,
kadang berkarib dengan kenyataan pahit.
tapi tentu, itu bukan aib, melainkan nasib.

tapi Ismail Marzuki tak pernah pasrah.
sebab pasrah juga berarti kalah.
diam-diam, ia melesat jauh ke depan dan saat itu pula
: dua, tiga, hingga seterusnya berubah, lantas kegelisahan pun tumbang.
tak ada tanda-tanda kemenangan selain nada-nada dan seuntai doa yang dibawa.

sejak saat itu, ia tak lain paru-paru.
sesekali jantung. sesekali napas.
seringkali menjelma pelindung di tengah gamang atau mungkin juga perang.
setelahnya,
geliat cinta tumbuh.
pada tanah air, negara, dan suara-suara yang dicintai telinga.

gamang, juga perang, baginya, adalah suara-suara dari notasi
yang disusun dan berhasil membangun kenyataan.
sejak saat itu, ia mulai percaya pada dunia.

“tak ada yang menyempurnakan hidup tanpa ada yang menghidupkan.
dengan suara, seharusnya kebahagiaan tercipta.”

sejak saat itu,
di sini, di tempat ini,
seluruh kegelisahan perlahan susut.
himne dan ode menggema.
mengikis sunyi, mengikis sepi.

(Karanganyar, 2021)

Mendengar Suara dari Hutan Kita

mengapa mereka mencuri dari kita yang tak punya apa-apa?
kita tak punya apa-apa. selain hutan, sungai, laut, bukit, dan gunung

kita tak punya apa-apa. selain tiap hari masuk hutan mencari sagu dan berburu. tapi kita bisa hidup tanpa harus menderita. burung-burung membangun sarang di sana dan sesekali terbang di udara. sungai penuh ikan, tiap hari kita ambil bagian. juga laut kita punya, bisa berkarib dengan riak dan gemuruh ombak tanpa harus merusaknya.

kita tak punya apa-apa. tapi entah kapan bermula, orang-orang, entah dari mana tiba. mereka menembus hutan, menambang bukit dan membawanya pergi jauh tanpa pernah kami merasakan hasilnya, bunga-bunga dipanen dan dijual tanpa pernah kami diberi untung, pohon-pohon yang kami jaga ditebang dan diangkut ke dunia seberang, burung-burung tak lagi kita lihat, laut bening dan terumbu karang di atasnya dibangun rumah-rumah mewah sampai-sampai kita tak bisa lagi melihatnya.

kita tak punya apa-apa. dan kini, hutan kita mulai hilang, sagu dan pohon-pohon ditebang, burung-burung pergi, hewan-hewan perlahan hilang. sungai kotor karena sawit dan tambang, di laut ikan-ikan pergi dan terumbu karang rusak karena mereka bertindak sembarang, bukit-bukit yang dulu indah kini penuh lubang.

kita tak punya apa-apa. tapi mereka sebut kita kaya dan mereka curi itu semua. membawa pergi jauh entah ke mana tanpa ada sisa. tanpa kasih kita apa-apa.

kita tak punya apa-apa, bukan?
tapi mengapa mereka mencuri semuanya dari kita?

(Karanganyar, 2021)

Membaca Pesawat GA-974

: Munir Said Thalib
/G/

sejak kematian menjemputnya,
berbekal sepi,
ia kunjungi surga atau barangkali neraka.
ketika itu, di langit, awan biru jadi abu.

ketika ia sesap madu atau catu dari negara,
napasnya beku.
masa depan tampak begitu mengharukan sekaligus meragukan.

/A/

seseorang, entah siapa berseru:
“Tuhan kita di atas sana!”

tapi di langit pula, kematian
atau mungkin malaikat memanggilnya:
“kemari. di sini, kau akan jauh dari bahaya.
kau akan berbahagia. seterusnya!”

/-/

apa langit menyediakan kedamaian?

kedamaian, kadang bisa jadi belati.
damai memecah waktu,
suatu pagi, bisa saja membunuhmu.

suatu waktu, ia jadi puisi.
menenangkan sekaligus memenangkan
jiwamu.
meski hanya sesekali.

/9/

Pollycarpus. Pollycarpus.
negara sedang bagaimana?
apa bunga-bunga masih mekar
selain di pusara?

di Belanda, negeri yang menguras negerimu,
ia mati di tangan negara sendiri.
sebab takhta,
lebih penting dari nyawa
semata.

setelahnya, api padam.
tanpa cahaya.
hanya suara
dari surga.

siapa sebenarnya penyeru kematian itu?

/7/

di langit,
seseorang menggantungkan harapan.

di langit,
seseorang mengadu pada Tuhan.

di langit,
seseorang meregang nyawa.

di langit,
seseorang merupa Tuhan.

di langit,
seseorang menjemput maut.

di langit
ada surga.        ada neraka.
ada negara.      ada bencana.

/4/

sejak kematian menjemputnya,
bunga mekar di dalam hati
tiada henti.

seseorang lain lagi memercayai:
sesungguhnya,
di langit,
pagi itu
malaikat
singgah di tempat yang salah.

(Solo, 2021)

Membaca Marsinah

Marsinah adalah sebuah cermin perlawanan buruh
dalam bibit tumbuhnya gerakan buruh⸺Munir Said Thalib

sebermula tangis, lahirlah jazirah luas di telapak tanganmu.
serupa telaga, cerita-cerita tak pernah kering.
semua orang, tak terkecuali kau, bebas berkhotbah tentang apa saja.

1.

jika saja Musa tak membelah laut,
barangkali Fir’aun masih dan akan selalu menyusuri Thursina.
di sana, ia menyusun rencana untuk masa depan.

sejak mimpi itu mengunjunginya,
laki-laki tak ubahnya bencana.
dan tentu, neraka akan dan selalu akan ia ciptakan.

tapi neraka-neraka itu kelak jadi tongkat Musa.
ia mati tanpa mampu mencipta apa-apa.

namun, kau hanya perempuan, bukan?
berkhotbah secukupnya, melawan seterusnya.

7.

menatapmu sama halnya menatap taman bunga.
tapi bunga-bunga hanya akan berakhir layu.
sebab, terlampau banyak ruap dan bacin dari pabrik.
meski sebelumnya, lebah-lebah menyesap madu.

⸺mata itu, mata yang berbahaya!

matamu mata yang berbahaya.
dengung suara lahir di dalamnya.
bergeraklah manusia mirip koloni.
menuju sekaligus menujummu.

kematian itu kian dekat.

di tubuhmu, Drupadi bertapa.
kau uraikan rambutmu,
tapi kelak dibanjur darah.

1.

isyarat tak pernah terbaca
ketika kau berjalan ke arah langit.
pengantarmu tidak tahu sesiapa.

di pagi-pagi yang lain, namamu hanya tinggal sebuah nama.
sebab kau bukan caraka.
semakin jauh langkahmu,
semakin dekat kau hidu kematian bagimu.

“mati adalah pasti, berani itu azali.
sebab, kemerdekaan ialah hak setiap pekerja.”

3.

Yap Thiam Hien tersampir di pundakmu.
tapi sampur Drupadi melilit lehermu.

tak ada yang benar-benar sia-sia.

akhirnya, mau tidak mau, suka tidak suka,
sangkala akan bicara ihwal apa dan siapa.
sebab seluruhnya taksa.

“yang tak bisa diubah adalah takdir.
dan satu-satunya yang pantas dikenang adalah martir.”
sesuatu di telapak tanganmu telah tercipta.
seperti juru selamat Musa dari tabiat Fir’aun.
bukan laut terbelah, melainkan jazirah.

(Karanganyar, 2020)

Membaca Kota Tua

1/
ia susuri jalan setapak ke masa lalu
dan tak mendapati apa pun selain
kecemasan yang enggan surut.

di kepalanya, tumbuh pertanyaan
tapi jawaban hanya ada di mulut pelancong
yang datang dan membuat sketsa kota.
di sini, kantor pemerintah
di sini, stasiun
di sini, gudang pangan
dan di sini, tempat ibadah.

2/
di ibu kota
pelabuhan telah jadi rumah
bagi kompeni dan para kroni
sejak sketsa dibuat jadi nyata.

pribumi menjelma abdi
dan berubahlah seluruhnya
mengikuti kehendak jari-jari VOC.

kota pun mekar.

3/
tumbuhlah Semarang
dari kesepian dan berubah jadi megah.
tapi di sini, orang-orang
tak lagi mengenali diri mereka sendiri.

(Semarang, 2021)

Sarat Sajen

/sajen pendheman/
ditanamlah apa yang membawa berkah.
dipendhem dalam tanah disertai doa agar ijabah.
berbagi agar mudah dalam melangkah.
cempluk isi gereh, kacang, kedelai, kemiri.
telur ayam mentah, gantal, minyak,
dan air tertiup doa dikubur dalam tanah.

letaknya di depan pintu rumah, pawon,
juga perempatan dekat rumah.
sebab dari sana muasal kaki melangkah.

/sajen buwangan/
seperti halnya sajen pendheman
tapi perlu ditambah jenang merah putih
dan uang dengan secukupnya jumlah.

ada yang perlu dibuang
agar mantu berjalan tenang.

dibuanglah sajen yang disiapkan.
gandhok, pintu, sudut rumah, sumur,

perempatan, punden, dan sungai
adalah tujuan.

di tempat-tempat itu,
saban hari dituju.

/sarat/
dikumpulkanlah pelengkap jangkep.
agar hati menjadi manteb.

diambillah:
pasir dari Sitihinggil,
daun beringin lumah-mangkurep
dari Kanjeng Kyai Jayandaru dan Dewandaru,
uwuh dari pasar gedhe,
dan air dari tempuran.

setelahnya,
letakkan pada tempat yang semestinya.
kini sarat sajen telah mewakili derma
pada pemilik semesta.

(Karanganyar, 2021)


Penulis:

Eko Setyawan, lahir di Karanganyar, 22 September 1996. Mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar. Buku yang telah terbit Merindukan Kepulangan (2017), Harusnya, Tak Ada yang Boleh Bersedih di Antara Kita (2020), & Mengunjungi Janabijana (2020). Buku Mengunjungi Janabijana meraih Penghargaan Prasidatama 2021 Balai Bahasa Jawa Tengah kategori Buku Puisi Terbaik. Memperoleh penghargaan Insan Sastra UNS Surakarta 2018, serta memenangkan beberapa lomba penulisan puisi dan cerpen. Karya-karyanya termuat di media massa baik lokal maupun nasional. Instagram: @setyawan721, surat-menyurat: [email protected].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *