Resensi Buku
Eco, Cerita Detektif, dan Gua yang Muram

Eco, Cerita Detektif, dan Gua yang Muram

Umberto Eco, seorang filsuf merangkap novelis berkebangsaan Italia bersetia pada buku-buku sepanjang hidupnya. Kegandrungannya pada buku-buku berbuah hasil imajinasi dan pemikiran; 7 novel dan 30 jilid non-fiksi, termasuk karya akademik yang pelik telah dihasilkan. Eco tak mau memenggal jalinan ruh intelektual. Suatu karya mesti bertaut dengan karya-karya sebelumnya. Kata Eco, “Buku selalu berbicara tentang buku, dan tiap cerita selalu membawa kisah yang sudah diceritakan”.

Bagi Goenawan Mohamad, novel-novel Eco hampir tiap bab mengandung pengetahuan yang ditimba dari buku yang lain. Ia sendiri tak menganggap kedangkalan suatu karya sebagai entitas yang kudu diabaikan. Eco tak menganggap itu. Sebagai suatu hasil manifestasi kebudayaan, karya sastra–bagaimanapun kualitasnya–tak boleh dipinggirkan, meskipun orang lain menyebut ‘karya sastra pinggiran’.  Ia membandingkan 20 tahun mendatang iklan Coca Cola, siapa tahu, akan dianggap lebih serius ketimbang karya Picasso.

Begitu pun, ia sendiri menganggap serius novel detektifnya, Il nome dela rossa. Melebihi sekadar novel kasuistik yang klise, novel monumentalnya itu dianggap memuat kedalaman pengetahuan yang tak biasa. Karya fiksi Eco yang paling kaya tafsir dan memikat bila dibaca. Eco menyejajarkannya dengan filsafat. Punya persamaan khas dengan filsafat. Dalam novelnya itu, sesuatu yang menurut Goenawan tak lazim terjadi; Eco sanggup memanggungkan konfrontasi antara iman dengan tiga kemampuan manusia : nalar, humor, dan dusta.

Bercerita seorang pastor Inggris dari Ordo Fransiskan, William Baskerville, pada suatu masa di tahun 1327, di mana serangkaian peristiwa pembunuhan terjadi. Ia mendatangi sebuah biara di Irlandia Utara yang terisolir untuk mengikuti suatu perdebatan teologis yang sengit. Kepala biara meminta William menyelidiki penyebab sejumlah biara mati secara misterius. Ia pun jadi detektif.

Dalam kerja-kerja detektifnya itu, ia menggunakan metode abduksi; mengamati fakta-fakta kecil, yang memungkinkan bisa jadi konklusi yang besar, dan kemudian memverifikasikannya. Seorang pelopor semiotika dan pemikir yang dikagumi Eco, Charles Sanders Peirce, menjelaskan suatu abduksi sebagai proses menyimpulkan; Ada fakta, hipotesa tentang fakta itu, pelbagai kemungkinan bahwa hipotesis itu benar, dan berakhir pada pembuktian.

Kenyataan itu berangkat dari latar belakang William yang hidup di titimangsa transisi Abad Tengah Eropa, suatu masa yang bagi Eco merupakan masa peralihan dari suasana jahiliah yang muram ke dalam The Age of Reason, zaman yang berpegang teguh pada nalar. Di situ, dirinya sebagai seorang yang beriman pengikut Ordo Fransiskan, tak berpikir dari doktrin agama. Dalam rangka menemukan jawaban dari serangkaian kerja detektifnya itu, William menyebut kebenaran bukan sesuatu yang mutlak.

Baginya, kebenaran mesti disandarkan pada pengalaman empiris. Dunia yang dicerap pancaindra, dunia benda-benda yang dekat, partikular, konkret, dan berubah-ubah. William berada pada kubu pemikiran  saintifik, kontras bagi kehidupan di biara Italia abad ke-14, di sana iman begitu dielu-elukan. Pengaruh belajar dari seorang Roger Bacon yang mempelopori studi tentang alam secara empiris masih melekat kuat. Setidaknya inilah konsekuensi logis yang membuat dirinya begitu memanggungkan nalar saintifik dalam paradigma berpikirnya itu.

William memandang agama harus memuliakan magia santa. Dalam magia santa, pengetahuan Tuhan dimanifestasikan melalui pengetahuan manusia, untuk mengubah alam, dan salah satu tujuannya ialah memperpanjang hidup. Kekuatan magis bagi William mendapatkan makna lain. Namun itulah yang tidak ada di biara itu. Pada akhirnya, tempat ibadat itu menjadi alegori kehidupan iman yang ketakutan, yang menyembunyikan konflik dalam dirinya, dan tertutup. Tak mengherankan jika bagi Goenawan, dalam Il nome dela rossa, agama dilukiskan sebagai “gua yang muram”.

Iman yang Cemas dan Humor
Salah satu bagian mencekam dalam Il nome dela rossa, adalah ketika seorang yang tak berdaya diadili, diusut kelurusan imannya, dan disiksa. Mirisnya, seorang gadis yang miskin dan tak bersalah dicadangkan dibunuh dengan nyala api. Dalam suasana yang ketakutan itu, hadir Jorge, sosok antagonis dengan tegar menegakkan satu tiang iman: “rasa takut kepada Tuhan”. Bagi Jorge yang biarawan itu, rasa takut awal fondasi iman. Tanpa rasa takut, tak ada iman.  

Agaknya itulah,  bagi Goenawan, iman dalam konsep Jorge merupakan iman yang cemas. Biarawan buta itu juga mengharamkan karya visual dan gambar. Jorge khawatir bahwa imajinasi, nalar, bahasa, dan tubuh manusia adalah kemampuan yang bisa liar. Baginya, puncak keberhasilan  biaranya terletak pada “merawat pengetahuan”, bukan mencarinya.  Pengetahuan sudah menjadi milik yang datang dari Tuhan sudah didefinisikan sejak semula.

Selain itu, Jorge juga mengharamkan humor. Humor membuat manusia menyeleweng dari jalan lurus. Menurutnya, ketawa menghasut orang untuk ragu. Karena itu, ia mematikan rasa takut. Seperti yang dijelaskan di atas, tanpa rasa takut, tak ada iman. Kristus pun tak pernah ketawa. Karenanya, manusia tak sepatutnya jenaka. Buku tentang humor pada akhirnya harus meratap sedih meratapi iman yang cemas itu.

Jorge juga orang yang menampik dan tak setuju dengan karya Aristoteles yang memartabatkan humor. Ia justru lebih mengamini Plato yang mengutamakan ide yang kekal. Ia cemas bila kelak bahasa keyakinan digantikan bahasa olok-olok yang merupakan bagian entitas humor. Itulah mengapa Jorge berdalih bahwa pengetahuan yang dibawa Aristoteles adalah ajaran sesat. Jorge mengingatkan bahwa buku Aristoteles itu semula tak dikenal di dunia Kristen, “sampai kepada kita melalui orang Islam, orang kafir” (hal-12)

Ihwal Kebenaran
William orang yang paling tak setuju dengan justifikasi kafir atau tak kafir. Baginya, ilmu tak mengenal dualisme. Ini dibuktikan ketika dirinya sesekali merujuk sumber-sumber Islam dalam pengetahuannya. Dirinya juga menganggap bahwa al-Quran merupakan buku yang mengandung kearifan yang berbeda dari ajarannya. Berbeda, bukan berarti salah dan sesat.

Ia juga orang yang tak terlalu tertarik pada kebenaran, orang yang tak punya satu jawaban pasti. Sebaliknya, ia lebih asyik pada kemungkinan-kemungkinan. Kebenaran telah membikin orang bergairah untuk membinasakan mereka yang dianggap tidak benar. Wiliiam seolah memandang ke semesta masa lalu dan masa depan, di mana ketika agama dan ideologi yang mengklaim dirinya sebagai pembawa kebenaran berkali-kali membuat manusia saling membunuh.

Bagi William, Jorge adalah rohaniawan yang merasa dirinya paling suci. Ia lalu mencercanya, “kamu iblis”. Iblis merupakan representasi keangkuhan rohani. Iman yang tanpa senyum, kebenaran yang tak pernah dijangkiti rasa ragu. Keangkuhan juga lah yang membuat manusia merasa gagah mengetahui dunia sampai mendasar hingga menjadikan dunia sebagai objek untuk diolah dan ditelaah.

Pada akhirnya, Eco hendak mendedahkan makna terhadap pembaca bahwa ukuran kearifan komunitas kemanusiaan didasarkan pada kesadaran yang terus menerus akan kemungkinan bahwa yang kita ketahui dan yang kita pelajari bisa saja salah. Itulah yang bagi Goenawan ketika Il nome dela rossa berakhir, tak ada perayaan kemenangan. Tak seperti dalam The Science of Deduction yang berhasil memecahkan misteri dan mengungkapkan kebenaran (Hal-16).

William pun juga mengakui bahwa dirinya tak cukup arif untuk melihat semesta. Dunia sehari-hari selalu acak-acakan. Tata yang tertib  hanya ada dalam pikiran manusia, berfungsi sebagai tangga untuk meraih pengetahuan, dan menggapai kebenaran. Agar jalan ke kebenaran selalu baru, kata William “ tangga itu harus dibuang”.  Melalui sosok William dan Jorge, Eco telah berhasil mengisahkan representasi antara dialektika agama dan sains dalam kehidupan wacana manusia modern. []


Penulis:

Muhammad Ghufron. Mahasiswa Sosiologi Agama UIN Sunan Kalijaga dan Pembaca Buku di Garawiksa Institute, Yogyakarta.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *