Puisi
Puisi Polanco S. Achri

Puisi Polanco S. Achri

Adegan di Depan Gapura Perkuburan:
Ken Endok Berpesan pada Bayinya

Anak terlelap dalam buaian. Ken Endok menembang sambil memandang rembulan.
Purnama amatlah terang, dan dihadirkannya bayang-bayang; bayang
yang oleh mata teduh perempuan itu dipandang terus selama perjalanan
menuju ke sini, menuju ke gapura perkuburan.
Matanya mendapati, bahwa bayangan dirinya serupa bayangan wayang
dari Ibunda Kunthi tatkala membawa putranya, Karna, menuju ke sungai suci—guna
dihanyutkan; supaya tiada menimbulkan duga dan wasangka. Gemintang yang biasa
berkedip-kedipan itu, kini, enggan terpejam dan terus saja memandangi ibu-anak itu;
roh gentayangan, setan, dan binatang, dan segala yang biasa mengganggu manusia
kini terdiam memandangi—bagian mula lakon-cerita dari seorang anak yang kelak
bernama Arok dan bergelar Rajasa. Ah, jemari mungil anak itu mencoba tuk meraih
tangan dari si ibu. Maka, disusuilah anak itu, dan berkatalah si ibu dengan perlahan:

Anakku, semoga dirimu berkenan mengampuni Ibundamu yang tiada bisa
memenuhi kewajibannya: mendidik dan mengajarkan dharma. Ampunilah
Ibundamu yang akan meninggalkanmu di sini, di batas antara kehidupan
dan kematian. Akan tetapi, Anakku, sudah menjadi suratanmu untuk hidup
dan menjalani kehidupan—yang di ujungnya tetap dirimu temui kematian.
Amatlah jauh Ibundamu ini dengan Ibunda Kunthi, tetapi Ibunda doakan
supaya dirimu lebih ternama dan masyhur namanya dibandingkan Adipati
Karna; dan tiada dirimu alami nasib yang penuh umpama atau takdir yang

penuh sanepa. Berbaktilah nanti kepada orangtua yang mau mengasuhmu;
belajarlah banyak pada mereka—dan tetaplah berterima kasih pada segala.

 . . . . . . . . . . . Oh, Anakku sayang, betapa sulit meninggalkanmu—meski
dirimu hadir tanpa kehendak dariku. Hendak Ibunda temui Gajahpura,
suami Ibunda, yang belum sempat menerima sembah-sayta-bakti, tapi
sudah pergi dari bumi. Hendak Ibunda susul, meski menuju ke
kehidupan setelah ini. Dan andai kata dirimu menghendaki kembali
menjadi ibu-anak seperti kini, maka Ibunda pintakan kepada-Nya, kepada
Yang Mahasunyi, supaya diizinkan dirimu kembali terlahir dari rahim ini.
Dirimu ialah api terang yang hangat. Janganlah takut, Anakku sayang . . .

Anak itu diletakkannya di dalam keranjang—yang diletakkan di atas sebuah tikar.
Ini musim kemarau dengan rembulan yang membeku. Akan tetapi, Ken Endok
kedinginan bukan tersebab hawa, tetapi dirinya mesti rela meninggalkan putranya.
Perempuan itu pun menghilang, ditelan kabut yang penuh pertanyaan. Anak itu
menangis! Angin malam dan dingin musim kemarau tak membuatnya menangis;
tetapi tersebab kehilangan dekapan ibundanyalah ia menangis! Betapa
pada musim kemarau yang paling panjang sekali pun, tiada pernah kering
dan habis airmata Ibu. Anak itu pun menangis, dan terus mencari
jemari ibundanya. Segala yang masih memandang, masihlah terdiam.
Mereka menantikan seorang yang datang dan berkata:
Akan kuasuh anak ini, dan aku rawat hingga menjadi kuat.

(2019—2022)

Di Bawah Pohon Melinjo, di Dalam Sebuah Taman

Gadis yang teramat ayu itu, Ken Dedes, duduk bersandar terpaku memandang
gambaran yang dibuat timbul di sepanjang dinding pagar taman. Terlukislah di sana
kisah dari Raja Ayodhya, Sri Rama, yang masyhur namanya, sebab menata kembali
aturan dan norma-norma dengan baik seperti sediakala. Ia memanglah pemuja Siwa,
tetapi dirinya tetaplah menaruh hormat kepada sang Raja Ayodhya; meski dirinya

turut menyayangkan keraguan yang hinggap dalam dada titisan Bathara Wisnu itu.
Matanya, yang teduh dan memancarkan kesucian cahaya, terhenti pada
bagian di mana Anoman mendatangi dan hendak menjemput Ibunda Shinta, supaya pulang kembali pada Kakandanya, yang tiada lain ialah Sri Rama. Perempuan yang
disebut-sebut sebagai Ardwanareswari, sesaat merasa, dirinya tiada lain serupa
Shinta. Akan tetapi, dirinya hanyalah gadis desa, putri seorang brahmana bernama Mpu Parwa; dan yang kini datangi, bukanlah wanara kera putih berbulu berwarna,
tetapi seekor ular, ular yang kelak menitis sebagai seorang pujangga tanpa nama.
Ular itu terdiam di sana, mendengarkan gadis itu berkeluh-kesah:
Duh, Tuan Ular, apakah kini sahaya telah menjelma Shinta?

Ular yang kelak menitis itu mencium aroma pemuja Durga; dan menduga
bahwa seperti Banowati gadis itu akan bernasib serupa. Duh! betapa banyak
perempuan mesti menjadi jalan supaya Arjuna masyhur bernama. Dan pemuda
yang kelak dinamai Arok tiada pernah ingin jadi Arjuna; tapi betapa malang ia
telah diangkat murid oleh seorang Drona. Dan berkatalah lagi gadis ayu itu

kepada sang ular yang kelak menitik, yang kini masih mencoba menerka-nerka:
Segalanya telah menjadi asing di sini, duh, Tuan Ular; telah asing
masa lalu, kini, dan jua masa depan sahaya; asing pula sahaya pada dewi
yang selama ini telah sahaya puja dan puji. Andai kata, Akuwu Tumapel, Tunggul Ametung, tiada mencuri dan berkata baik-baik pada Ayahanda,
mungkin sahaya akan senang hati menjadi istrinya. Tiada sahaya punyai
alasan membencinya, selain sebab dibawanya sahaya tanpa izin daripada

Ayahanda yang membesarkan sahaya ini dari kanak berusia. Mungkin
sahaya akan mencintai dan menyayanginya andaikan . . . . . . . .

Seketika, dan terasa begitu tiba-tiba, semua menjadi abu tersebab Kelud
yang hendak menyamarkan lakon-cerita! Adapun, gadis itu turut menanti
pujangga tanpa nama, yang tak lain adalah titisan itu ular, yang terlahir
guna memberi warna meski sedikit pada lakon-cerita yang selama ini abu.           

(2019—2022) 

Kepadamu, oh, Anakku, Anusapati

Oh, Anakku, Anusapati…
Barangkali, dirimu memang enggan dan tiada lagi mau
dipanggil begitu oleh diriku—yang telah nyata menjadi alasan
daripada kematian ayahandamu. Betapa cara-cara yang dipakai

guna mendapatkan kekuasaan akanlah jadi cara yang sama
guna kehilangannya. Maka, seperti ayahandamu, oh, Anakku,
duh, Anusapati, telah rela diriku ini menemui mati.
Bayarlah abdimu yang menikam dadaku yang sunyi ini,
dan kumohon ampun kelak atas perbuatan anakku, Tohjaya,
yang tiada lain ialah saudaramu—bila kau menganggapnya.          

(2019—2022)

Tatkala Ken Umang Mendapati Suaminya Tiada

Matanya tiada mampu membendung tangisan
dan dengan tersedu berkatalah Ken Umang:

Saat itu, Kakanda pernah bertanya kepada Adinda: Apakah
Adinda tetap mencintai Kakanda meski bukan utuh manusia?
Ah, Kakanda, meski seluruh penghuni tiga dunia menganggap
Kakanda sebagai setengah dewata, titisan dewata, atau apalah;
Adinda, akan tetap menganggap Kakanda sebagai manusia . . .
Oh, Kakandaku, betapa tiada yang lebih mulia selain menjadi
manusia; betapa jalan menuju Buddha lebih terbuka, dan juga
segera bisa terbebas dari samsara yang hanya menyiksa dada.

Adinda hanya takut anak dari rahim ini kan saling bunuh
dengan anak yang lahir dari rahim rayi Dedes, duh, Kakanda.
Betapa pedihnya kehidupan yang semacam itu. Adindamu ini
berharap Yang Kuasa supaya berkenan kiranya menjodohkan
kembali di kehidupan sesudah ini. Oh, Pujangga tanpa nama,
tuliskanlah lakon-cerita yang membuat hidup menjadi bahagia!
—meski dirimu masihlah belum meyakininya ada di ini dunia.

(2019—2022)

Kepada Arok

Ken Dedes berkata:
Arok, apakah kau benar-benar mencintaiku—
dan bukan hanya menggenapi ramalan yang selalu ganjil?
. . . . Sentuhlah tanganku, jari-jemariku, lantas
peluklah aku: ingin kudengar degup jantung manusia,
dan bukan sunyi para dewa, juga hendak kucari pula

jawaban atas serentetan tanya dalam ini dada.
Dunia begitu dingin, bukan, oh, lelaki bernama Arok?

Dekaplah aku lebih dalam, dan dalam, begitu dalam . . . .
Kini, ciumlah bibirku, lembut bibir yang sejak kanak
diajarkan bapanya untuk menyebut-memuja nama dewata.

Siapa yang tahu jawaban atas serentetan tanya di atas sana? Ah!
barangkali hanya lelaki bernama Arok, lantas perempuan yang
bernama Dedes. Akan tetapi, jelas sekali, bahwasanya Yang Mahasunyi
paling mengetahui—dan betapa Ia begitu suka dan senang sekali menanti.

(2020—2022)


Percakapan Ken Dedes dan Ken Umang

Apakah dirimu
cemburu kepadaku,
Nimas Umang?

Siapa perempuan yang tiada cemburu
jika lelakinya bersama perempuan lain, Rayi?

Apakah dirimu
membenciku,
Nimas Umang?

Aku hanya cemburu dan jua iri;
aku tiada pernah ingin membenci—

(2020—2022)


Penulis:

Polanco S. Achri, lahir dan tinggal di Yogyakarta. Seorang lulusan jurusan sastra yang kini menjadi pengajar di sebuah sekolah menengah kejuruan di Sleman. Menulis sajak, prosa-fiksi, dan drama, serta esai-esai pendek. Adapun, beberapa tulisannya tersebar di media, baik cetak maupun daring. Dapat dihubungi melalui Facebook: Polanco Surya Achri dan/atau Instagram: polanco_achri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *