Puisi
Puisi Yohan Fikri

Puisi Yohan Fikri

Episode Malang Sumirang
: Sunan Panggung

I.
Di hadapan Sultan,

sama sekali tak sudi ia bungkukkan badan,
“Sebab sembahku semata hanya tinuju
pada Yang Manunggal
— yang tak terjengkal oleh ritual.”
Ia tahu, berpasang-pasang netra itu
sedang mendelik-nyalang ke arahnya.
Beberapa dari mereka
(mungkin) memandang sambil bergidik jijik
persis menyaksikan sepasang anjing kudisan
menjulur-julurkan lidah

dan liurnya yang menetes-netes,
tumpah membasahi tubuh syariat.

“Ia telah tinahbis
sebagai sebesar-besarnya najis,” seorang Sunan berkata,
“dan ia tak akan pernah jadi suci,
walau dibasuh debu dan banyu seribu kali!
Hanya api — dan hanya jilat api,
yang dapat membuat jasadnya bersih kembali.”

II.
Ia dengar samar gemeletuk gigi,

ia lihat urat yang menegang di leher para wali.
Dan ia tahu, ajal tinggal sejengkal,
“Tetapi jauh di dasar dada kiriku, aku telah mantap menetap
untuk beriman pada ketiadaan!”
“Sedang kematian, bagiku, cumalah segelintir
yang disitir oleh takdir!”
di hadapan mata ajal ia membatin,
sembari menimbang yang kelak dan mungkin.

“Adinda Raja, Tuhan adalah
yang tak terjangkau oleh hukum, bukan?!”
ujarnya — enteng belaka,
seolah seorang kakang, memberi kalimat wewejang.
“Ia berkehendak atas segala tumindak.
Yang kudus dan yang cela,

segalanya telah ginaris,
dan kita, tak lebih wayang yang ditancap dalang
di pokok batang pisang;
bayang yang hanya kuasa gemetar,
gampang hilang di bentang putih layar.”

III.
Hari itu, Tuhan

menitahkan agama menjadi api,
menjelma nyala yang memutus tali tembuni.
Ia buang sepasang bakiak ke arah bara
dan bersiul pada sepasang anjingnya.

(Mungkin, sepasang anjing itu pun tahu,
orang-orang mencintai agama
bahkan melebihi Tuhan mereka sendiri)

Lalu panas jadi padam, nyalang jadi redam.
Dendam menggertakkan geraham,
tatkala dua anjing itu keluar
tanpa sehelai pun bulu terbakar.
Waktu memucat, waktu membeku
di raut-raut wajah yang menunggu.

Nyala terus menyala, asap bergulung-gulung,
kebencian menjelma minyak,
dan api menggelegak.
Di antara yang kemelut,
di tapal batas hayat dan maut,
ia tancapkan sebatang kalimat ilah di atas tanah
— yang tak lebih gembur ketimbang dadanya,
dan bersila di pucuknya.
Lalu kebenaran lebur jadi dawat,
keyakinan tegak sebagai buluh pena,
ia anggit sepenggal suluk
sebelum moksa pada kekosongan.

“Sembahku semata hanya tinuju pada Yang Manunggal
— yang tak terjengkal oleh ritual, dan tak terbilang oleh bilangan!”

Waktu memucat,
waktu membeku,
pada wajah-wajah yang termangu.

/2021

Panembahan Senapati

 Pada suatu malam yang nisbi,
seberkas cahaya purba menghela tubuhnya
ke tubir tebing tua, ke tepi suatu samudera.
Di tapal batas wujud dan maya,

kesunyian laut, dan dini hari yang langut,
seribu ombak berpacu dalam dadanya.

“Di Laut Selatan, Tuan,
ceruk-ceruk karang adalah kiblat para raja
untuk menyujudkan seluruh hajatnya.”
Tatkala ia sadar, fajar masih meringkuk di balik ufuk,
nusa-nusa kecil tampak pucat dan menggigil,
ia patri seluruh sepi ke puncak simpuh semadi.

Pasang pun reda, ketika perempuan
bermata bintang utara, berselendang hijau ganggang
bertandang padanya. Kecantikan yang wingit memancar
dari betis sebening porselen. Ia tahu, perempuan itu
seorang ratu yang menitah angin meniup layar
semerta-merta menjadi badai; yang mengutus ombak
mengecup lunas perahu, mengantarnya ke pinggir pantai.

Lalu cinta yang musykil, hasrat yang mustahil
jatuh menimpa selaput jala, dan
sendi-sendinya gigil didekap geletar pesona.
“Mata perempuan itu, bertumbuk dengan ketakutan
yang meraung jauh di lubuk imanku!” katamu.
“Tetapi hari yang gemilang, Tuan, adalah pulau
di seberang yang tinggal menunggu sauhmu berlabuh.”

Setelah itu ia pergi membawa janji di tangan kiri,
serta sejumlah syarat yang begitu gamang
dapat ia lunasi dengan tangan kanannya.
“Kali ini, Tuan, dosa ialah satu-satunya pialang rapuh
yang harus kautempuh, yang musti kautiti
— untuk sampai ke tubir ngarai!”

/2022

Panembahan Sapu Jagat
: Ki Juru Taman

“Hamba hanyalah sabit, Tuan.
Hamba punya gagang, dan Engkaulah yang memegang.
Bila sewaktu-waktu kauhunus untuk memutus
kelingking sendiri, akan tabah hamba jalani.
Adapun bila sekadar diminta menyiangi rumput taman,
atau memangkas pucuk-pucuk daun
bila telah kelewat rimbun, hamba pun terima dengan legawa.”

Ujarmu suatu hari
pada Panembahan Senapati,
seakan menggaungkan kesetiaan paling dawam
dari lubuk dadamu yang terdalam, dan tak kuasa kami selami
dasarnya — kecuali oleh batinmu sendiri.

“Lidah dan mulutku, tak pernah dididik
untuk sekali pun berkata ‘tidak’ pada segala titahmu.”
Maka, tanpa senoktah ragu,
kautelan sebutir telur yang diulurkan tuanmu itu
sampai tandas, tanpa setitik pun rasa was-was,
tanpa sedikit pun menaruh waham,
seolah kau telah mengerti (atau barangkali abai)
tentang ‘tuah ataukah mala’ yang turut tertelan selepasnya.

Tubuh lunglitmu tetiba saja memuai.
Kemudian jagad mengecil,
hari menjadi sangsai, dan nyata terasa ganjil.
Pohon sirih di tepi taman yang acap kauruntih daun-daunnya,
kini tak lebih besar dari buku jarimu, dan, meski kau duduk bersila,
langit tampak hanya berjarak sekilan dari pucuk ubun-ubunmu.

Tetapi, kau toh hanya diam, hanya merunduk takzim
: tak hendak bertanya, tak niat membantah.
Adakah kau telah mengerti, bahwa kelak di puncak Merapi,
kau masihlah seorang abdi — tetaplah seorang abdi
: yang menggemakan langgam kesetiaan

paling dawam, sebagai danyang tanah Mataram?
— “Juru  Taman! Juru Taman! Ajari kami kesetiaan!” 

/2021
 

Kronik Kiblat Mesjid
: Syekh Malaya

“Setelah rekaat kedua, lelaki
bersurjan itu berdiri di sisi utara.”

Kami bayangkan ia mualim
yang piawai menerka
musim dan mata angin;
mesjid itu adalah jung yang pasrah
hendak dilayarkan ke arah mana.

Ada yang berdesir
membuat bulu roma jadi berdiri,
meski langit malam hari,
tak menggunturkan guruh sama sekali,
dan cuaca, masih selazim hari biasa.

“Tangan kanannya menggapai ka’bah,
tangan kirinya meraih kubah!”

Ada yang tampak menjulang
di pucuk mustaka,
meningkahi batas-batas

yang dapat dimaklumi isi kepala.
Tetapi malam itu,
semua toh merasa lega, dan lusa,
tak ada lagi pertikaian yang sia-sia.

“Esok hari, ketika sembah ditunaikan jemaah,
kening telah disujudkan
menghadap kiblat yang mereka imani.”

/2022

Salik

Ia pergi ke tempat ibadat
melihat orang-orang sibuk sembahyang.

Mengagumi ukiran-ukiran kaligrafi,
dan kokoh pilar-pilar jati.

Lampu-lampu mewah, cahaya tumpah-ruah
— yang tak satu pun tetesnya, menerangi gelap dadanya.

Ia kembali berjalan, mencari alamat Tuhan.
Namun, Tuhan telah menghapus jejak di tubuh agama

: Sejumlah markah yang dapat ia pedomani
— tetapi, mulai gagal ia karibi.

Ia duduk di kursi tepi jalan, menyaksikan
nasib kusam pada wajah seorang gelandangan.

Ia melihat Tuhan bertakhta dalam lambung yang nestapa
— dan langit, seakan buru-buru menghapusnya.

/2022


Penulis:

Yohan Fikri, belajar di Universitas Negeri Malang. Ia adalah seorang pengajar sekaligus pebelajar, pembaca musiman, dan penulis moodyan. Karya-karyanya dimuat di pelbagai media dan memenangi beberapa perlombaan puisi. Sedang menyiapkan kelahiran anak batin pertamanya, yang akan diberinya nama “Tanbihat Sebuah Perjalanan”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *