Cerpen
Setelah  Banjir Jakarta

Setelah Banjir Jakarta

Satu bulan setelah banjir bandang melanda Jakarta, dan dua hari sebelum keluarga Kak Ros datang ke rumah, pamanku pulang ke Padang. Paman pulang seperti membawa banyak kesedihan. Ia  hanya sedikit bicara. Tapi, kami tahu, jika paman sedang mengalami musibah akibat banjir bandang itu. Paman  pun tidak membawa buah tangan sebagai oleh-oleh buat kami.  Pamanku  hanya membawa satu koper pakaian  dengan  kondisi yang  sudah tidak bagus. Warna koper pakaian itu sudah memudar dan terdapat beberapa sudut dipenuhi bintik-bintik hitam seperti lumpur pernah menempelinya.

Dua jam setelah sampai di rumah, pamanku baru benar-benar mau bicara pada ibuku.

“Aku benar-benar tidak punya apa-apa lagi, Uni. Barang dagangan tidak bisa dijual. Beras, gula, dan yang lain basah karena banjir itu. Modalku hilang. Semua sudah habis. Mengapa kejadian itu datang di saat aku baru saja mengisi kios? Uangku tandas semua,” rintih pamanku seperti meratap.

“Sudahlah, kau jangan terlalu memikirkannya lagi. Kulihat wajahmu kusut dan pikiranmu nampaknya lagi tidak baik. Istirahatlah. Serahkan saja semuanya pada Tuhan,” ujar ibuku pula.

“Aku masih sulit melupakan musibah ini Uni. Bagaimana aku bisa beristirahat dengan baik? Kepalaku rasanya mau pecah,” sambung paman lagi.

“Itu karena kau masih memikirkannya.”

“Tapi, aku tidak bisa kalau tidak memikirkannya, Uni. Puluhan  juta uangku hilang begitu saja.”

“Uang bisa dicari, Buyung. Kau selamat saja aku sudah senang.”

“Rasanya aku mau mati saja, Uni.”

“Kamu  jangan berpikiran macam-macam. Kamu pikir mati itu enak, ha?” kali ini ibuku agak menghardik pamanku itu.

“Tapi, aku sudah jadi orang miskin, Uni. Bagaimana dengan keluarga Ros jika tahu aku begini?”’

“Tenangkanlah pikiranmu. Kau seperti orang tak beragama saja. Sebutlah nama Tuhan. Biar pikiranmu tenang.”

Lalu pamanku  tidak menyahut lagi. Wajahnya menekuk ke lantai. Ia tidak lagi berani menatap wajah ibuku.

Pamanku itu usianya kini sudah berkepala tiga. Ia merantau ke Jakarta sudah sepuluh tahun lamanya. Tepat  dua bulan setelah ia  menamatkan sekolah menengah atas di Padang. Sewaktu pertama kali berangkat ke Jakarta, ibuku cemas sekali padanya.

“Di mana kamu akan tinggal, Buyung? Kau tahu bahwa kita tidak punya saudara di sana.”

“Tak usah Uni pikirkan itu. Di Jakarta itu banyak orang Padang, tak ‘kanlah aku bingung di sana nanti.”

Beberapa minggu setelah pamanku berangkat ke Jakarta dengan menumpang bus, ia mengabari kami, katanya pada ibuku, ia telah bekerja sebagai pelayan rumah makan padang.  Ibuku tentu saja merasa tenang.

Satu tahun setelah merantau, pamanku itu pulang pada bulan Ramadhan. Tepatnya tujuh hari sebelum Lebaran. Hanya satu tahun merantau ke Jakarta, pamanku terlihat sudah berubah. Badannya nampak agak berisi, beda sebelum ia merantau. Aku ingat, saat itu badan pamanku kurus. Mukanya cekung. Kulitnya  pun nampak agak lebh bersih dari yang dahulu. Dan, tentu saja pamanku sudah punya uang sendiri. Ia pun tidak lupa memberi beberapa lembar uang ratusan padaku.

Setelah lima tahun bekerja sebagai pelayan di rumah makan padang di Jakarta, suatu hari pamanku memberitahu ibu lagi. Katanya  ia sudah membuka usaha sendiri. Ia tidak lagi bekerja sebagai pelayan di rumah makan. Ia telah menyewa sebuah kios sederhana dan membuka usaha kebutuhan sehari-hari di daerah Tangerang.

Ibuku semakin banga pada pamanku. Bahkan, ibu berharap agar aku seperti paman. Giat berusaha agar hidup mandiri sebagai laki-laki. Jika ada orang di kampung atau tetanggaku bertanya pada ibu perihal paman, dengan bangga  dan dada busung ibu memberitahu mereka jika pamanku kini sudah membuka toko sendiri di Jakarta. Tentu tidak lupa melebih-lebihkan sedikit tentang kesuksesan paman merantau ke Jakarta.

Perihal cerita kesuksesan paman yang merantau ke Jakarta tentu saja telah menarik hati para orang tua yang memiliki anak gadis di kampungku. Tidak segan-segan mereka mendatangi ibu dengan hasrat menjodohkan anak gadisnya untuk paman.

Ibu sangat antusias pula, serta senang sekali setiap ada orang tua yang memperkenalkan anak gadisnya. Kalau aku tidak salah, ada sekitar sebelas  orang yang mendatangi rumah kami. Dengan teliti dan senyum ceria, ibu menjelaskan bagaimana keadaan pamanku itu di Jakarta. Bagaimana ia sudah sukses sekarang.  Beberapa dari mereka terkagum-kagum dengan sifat pamanku yang mandiri. Ibu juga memberitahu bahwa pamanku adalah anak baik dan rajin sembahyang. Tapi, setiap penutup dari pembicaraan dengan para orang tua itu, ibuku mengatakan bahwa ia tidak bisa memutuskan apa-apa. Ibu ingin paman sendiri yang menentukan siapa calon istrinya.

Ketika memasuki tujuh hari sebelum Lebaran pada tahun berikutnya, pamanku pulang lagi. Kali  ini pamanku terlihat gagah sekali. Ia semakin terlihat muda dari kepulangannya beberapa tahun lalu. Pakaiannya bagus. Potongan rambutnya pun bagus.

Ibuku lalu menceritakan padanya perihal kedatangan beberapa orang tua yang ingin anak gadisnya dijadikan istri. Pamanku tersenyum-senyum mendengar kabar itu.

“Bagaimana menurutmu, Buyung. Kau pertimbangkanlah usiamu. Usiamu berapa sekarang, ya?”

“Dua puluh tujuh, Uni.”

“Ya, dua puluh sembilan. Sudah sangat pantas itu, Buyung.”

“Jadi, bagaimana, Uni?”

“Kau pilihlah salah satu dari mereka itu. Bagaimana?”

“Baiklah, Uni.”

Selama di kampung, pamanku lebih banyak di rumah. Dengan demikian, setiap ada orang tua yang membawa anak gadisnya ke rumah kami, ibu tidak mengalami kesulitan menyambut tamu-tamu itu.  Pamanku tidak memberi jawaban langsung pada setiap tamu yang datang. Walaupun mereka membaawa langsung anak gadisnya ke rumah.

Tepat pada malam takbiran, pamanku memberi  tahu ibu bahwa ia telah memutuskan dengan siapa ia akan menikah. Pilihan paman jatuh pada Kak Ros, anak Pak Burhan. Pak Burhan adalah seorang buruh bangunan yang sangat terkenal di kampung kami.

Ibu memahami keinginan pamanku itu. Sebab ibu tahu, bahwa Kak Ros adalah gadis baik. Meski ibu sendiri juga tahu bahwa masih banyak orang tua yang berada menginginkan paman jadi menantunya. Ibu maklum, mungkin waktu paman yang  sedikit di kampung membuat paman lebih cepat memilih.          

Pada Lebaran kedua, Pak Burhan datang ke rumah. Sambil bersilaturahmi menyambut Hari Raya, Pak Burhan juga memberitahu kami sekeluarga bahwa hari penentuan jadwal perkawinan  serta penentuan mahar perkawinan akan ditentukan pada awal bulan ini. Ibuku dan paman setuju dan menyerahkan hal itu pada pihak Pak Burhan.

Banjir bandang Jakarta pada bulan Desember itu seperti telah meruntuhkan semua rencana. Hari yang telah dijanjikan Pak Burhan untuk datang ke rumah tidak terlaksana. Ibuku dan paman dari sore sampai malam menunggu kedatangan mereka ke rumah. Tapi, sampai azan isa berkumandang, mereka tidak pernah datang juga.

“Mungkin keluarga Ros tidak akan dating, Uni. Mereka mungkin saja sudah tahu jika aku sekarang tidak punya apa-apa lagi. Orang tua mana yang sudi bermenantukan laki-laki pengangguran?”

Ibuku tidak menyahut. Ia hanya terdiam. Dua mata ibu tak henti-hentinya memandang keluar.

Setelah kejadian malam itu, pamanku semakin pendiam. Ia lebih banyak di dalam kamar. Desas-desus perihal pamanku yang kini menjadi miskin dan tidak punya pekerjaan semakin cepat pula menyebar ke penjuru kampung. Entah siapa yang menyebarkannya. Padahal, ibu tidak pernah berbicara apa-apa. Ibuku kini lebih banyak pula diamnya. Jika ada orang yang bertanya, atau mungkin saja hanya berpura-pura bertanya tentang pamanku, ia hanya menjawab bahwa pamanku di rumah dan ia baik-baik saja.

Dan, orang-orang yang bertanya itu, pasti pula akan terdiam sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.[]

~Banda Aceh 2020.


Penulis:

Farizal Sikumbang, lahir di Padang. Bekerja di Aceh sebagai Tenaga Pendidik SMA. Menulis Cerpen sejak tahun 1998. Di Publikasikan di Koran terbitan Aceh, Padang, dan Jakarta. Kumcernya yang sudah terbit Kupu-Kupu Orang Mati (Basabasi 2017).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *