Cerpen
Brahma Menghancurkan Alam Semesta

Brahma Menghancurkan Alam Semesta

/1/ Batara Guru

Batara Guru dan Dewi Umiya bulan madu di Galaksi Bimasakti. Mereka bercengkerama, berpelukan, dan berciuman di atas Lembu Andini. Hasrat birahi Batara Guru semakin bergejolak ketika meremas payudara Dewi Umiya, lantas meminta untuk bersanggama saat itu juga. Namun, Dewi Umiya menolaknya karena takut ada dewa yang melihatnya. Akibat gairah Batara Guru tak tertahankan sampai akhirnya komo1 keluar, menetes, dan meluncur ke bumi. Gesekan antara komo dan atmosfir menciptakan percikan api yang sangat terang, cahayanya membuat malam berubah menjadi siang selama lima bulan.

Komo itu jatuh ke luat, perlahan menyerap apa saja yang ada di sekitarnya, bahkan semua penghuni laut. Semakin hari, berkembang menjadi Kala yang mempunyai tubuh raksasa. Raksasa yang mempunyai taring, berwajah galak, dan mempunyai rambut api. Ia mempunyai selera makan yang luar biasa, semua hewan laut dimakan, air laut diseruput, gunung dijadikan cemilan, hutan dijadikan lalapan, dan mulai berniat untuk memakan nawagraha 2.

Narada yang bertugas untuk menjaga bumi pun merasakan hal yang janggal. Ia pergi ke ruangan pusat pustaka dan dokumentasi kahyangan untuk melihat asal mula Kala. Narada menjemput dan membawanya ke Kahyangan Ondar Andir Buana. Namun, ketika melewati Galaksi Bimasakti melihat Panca Kumara yang memiliki kulit putih, berambut lurus, dan mempunyai kecantikan dewi. Ia sedang asyik bermain dengan bintang, meniupnya ke arah bumi, bintang itu bergesekan dengan atmosfer, memancarkan percikan api, dan seketika tertawa terbahak-bahak.

 Narada yang pernasaran berhenti dan bertanya, “Siapakah kamu sebenarnya?”

“Aku tak pernah tahu siapa ibu dan bapakku. Sejak lahir aku sudah ada di sini.”

Narada membawa serta Panca Kumala ke Kahyangan Ondar Andir Buana. Mereka bersujud di hadapan Batara Guru dan Dewi Umiya Uma. Dewi Umiya yang tertarik dengan kecantikan Panca Kumala pun bertanya kepada Narada, “Anak siapakah ini?”

“Aku tak tahu. Dia sudah berada di Galaksi Bimasakti sejak lahir.”

“Dia sungguh cantik. Dia mempunyai kecantikan dewi. Sungguh orang tua yang memiliki anak secantik dia pasti sangat beruntung.” Dewi Umiya ingin memiliki anak seperti Panca Kumala.

Batara Guru mengamati tubuh Kala yang kuat, memiliki taring, berwajah galak, berambut api, dan memiliki aura dewa. Ia bertanya kepada Narada, “Siapakah yang berada di samping kananmu, Narada?”

Narada hanya terdiam, bingung, dan tak berani untu menjawab. Ia hanya bersujud di hadapan Batara Guru. Batara Guru bertanya untuk kedua kalinya, tetapi Narada masih saja bersujud, dan tak berani menjawab. Batara Guru pun mengulanginya untuk ketiga kalinya. Narada menjawab dengan terbata-bata, “Dia merupakan komo Batara guru yang jatuh ke bumi. Ia berkembang menjadi Kala.”

“Jangan bercanda kau, Narada!”

“Hamba tak bercanda, Batara Guru.” Narada memperbaiki  sikap sujudnya.

Mereka pergi ke ruangan pusat pustaka dan dokumentasi kahyangan untuk melihat asal usul Kala. Batara Guru yang melihat kenyataan tertunduk malu. Ia tak menyangkal kejadian itu dan mengakui Kala sebagai anaknya. Dewi Umiya yang penasaran dengan Panca Kumala meminta Narada untuk memutarkan dokumentasi tentang asal mulanya. Ia langsung memeluk Panca Kumala ketika tahu bahwa dia anaknya. Komo Batara Guru tak hanya menetes ke bumi, tetapi juga menetes di Galaksi Bimasakti, dan lahirlah Panca Kumala.

Mereka hidup damai di Kahyangan Ondar Andir Buana selama berabad-abad. Tak ada satu pun kekurangan dalam kehidupan mereka. Namun, mereka tak boleh untuk memakan buah nitya pralaya3. Pohon itu menjulang tinggi dari lapisan kahyangan satu sampai kahyangan yang ketujuh. Ketika melanggar pantangan itu maka akan dibunuh oleh Brahma.

Panca Kumala yang pernasaran diam-diam mendekat ke pohon nitya pralaya. Ia melihat buahnya yang tak pernah mengenal musim, terus berbuah walaupun sering dimakan oleh hewan-hewan yang berada di kahyangan. Ia memetik satu buah dan menggigitnya. Brahma yang menjaga pohon itu memergoki Panca Kumala. Ia pun marah dan mengutuk Panca Kumala menjadi ular. Kemarahan Brahma pun terus berlanjut sampai nawagraha terkena imbasnya, dan saling berbenturan.

Narada datang ke sumber kekacauan untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Ia melihat Brahma yang sedang marah di bawah pohon nitya pralaya. Pohon nitya pralaya yang awalnya mempunyai batang biru, berdaun hijau, berbuah seukuran apel, mulai menyerap energi kebencian, amarah, dan kejahatan.

“Hentikan Brahma! Apa yang kau lakukan?” Narada berusaha menghentikan kemarahan Brahma. Ia diam-diam mengambil Panca Kumala yang berbentuk ular dan menjatuhkannya ke bumi.

“Lihat pohon nitya pralaya! Buahnya dimakan oleh Panca Kumala.” Tubuh Brahma bersatu dengan pohon nitya pralaya. Akarnya mulai menjalar ke seluruh kahyangan. Ia semakin marah ketika Panca Kumala tak ada di hadapannya.

Batara Guru datang ke sumber keributan dan berusaha menenangkannya. Namun, tak membuahkan hasil. Ketika Brahma sudah marah, tak ada satu pun dewa yang mampu menenangkannya. Ia akan berhenti ketika yang membuatnya marah mati. Entah siapa pun itu kecuali Sang Hyang Wenang yang menjadi pencipta  para dewa.

Dewi Umiya yang menguping dari kejauhan mulai menangis. Ia terbang ke bumi untuk mengejar Panca Kumala. Berbulan-bulan menelusuri pergunungan, laut, hutan, dan segala tempat ditelusurinya. Namun, tak satu pun jejak Panca Kumala. Hal itu membuat hati Dewi Umiya sedih. Kala mulai tak tahan melihat ibunya sedih, sering melamun, dan tak bersemangat menjalani hidup. Ia lantas meminta izin kedua orang tuanya untuk turun ke bumi untuk mencari Panca Kumala.

/2/ Moksa

Semesta mulainya kosong dan tak ada penghuninya. Sang Hyang Wenang lantas melemparkan biji nitya pralaya. Biji itu baru mengeluarkan akarnya dalam kurung waktu 86400 tahun, dan mulai keluar satu daun dalam kurung waktu 100 tahun sekali. Sang Hyang Wenang selalu menyemainya setiap hari. Alhasil setelah pohon nitya pralaya tumbuh besar mulai menciptakan dewa-dewi untuk mengatur kehidupan. Mereka lantas menciptakan setan, demit, jin, gandarwa, mahluk halus, dan peri untuk menghuni madyapada4. Di sisi lain, juga menciptakan ras wayang, raksasa, dan margasatwa untuk menghuni marcapada5.

Kehidupan berlangsung dan dewa-dewi mulai menjalankan tugasnya masing-masing. Namun, mereka mempunyai satu aturan yang mutlak dan tak boleh dilanggar oleh siapa pun. Aturan untuk tidak memakan buah dari pohon nitya pralaya. Brahma yang ditunjuk langsung oleh Sang Hyang Wenang dengan sah dapat membunuh siapa pun yang memakan buah dari pohon nitya pralaya.

***

Kala mencari informasi tentang Panca Kumala kepada penghuni laut. Ribuan penghuni laut berdatangan di hadapan Kala. Melaporkan tentang apa yang diketahui mereka. Satu demi satu melapor di hadapan Kala. Sampai hampir semuanya telah melapor dan tak mengetahui Panca Kumala. Terakhir hanya ada satu udang yang belum melapor. Udang yang hanya memiliki tubuh separuh karena setengah bagian tubuhnya di makan oleh ikan ketika dirinya dijadikan manusia umpan memancing.

“Hamba tak tahu bagaimana fisik adik Panca Kumala. Namun, beberapa tahun yang lalu, kalau ingatanku tak salah aku melihat ada cahaya yang jatuh dari langit. Ia mengarah ke Hutan Candramurka. Barangkali itu adik kamu.”

Kala memegang udang itu, membacakan mantra, dan seketika tubuh udang itu kembali seperti semula. Ia kemudian pergi ke Hutan Candramurka, mencarinya selama berhari-hari, dan akhirnya bertemu dengan Panca Kumala. “Marilah kita pulang ke Kahyangan Ondar Andir Buana. Kita akan meminta maaf kepada Brahma.” Kala berusaha untuk membujuk Panca Kumala.

“Bagaimana jika Brahma masih marah kepadaku?”

“Aku akan melindungimu. Orang tua kita pun juga risau atas kepergianmu.”

“Baiklah kalau seperti itu.”

/3/ Kosong

Keadaan kahyangan menjadi kacau balau, semua gelap, dan sepuluh dewa tertinggi di kahyangan terkapar tak sadarkan diri. Mereka: Hyang Pitamaha, Hyang Prajapti, Hyang Suraguru, Hyang Manu, Hyang Stanu, Hyang Manu, Hyang Ka, Hyang Pracetas, Hyang Pramesti, Hyang Daksa. Mereka tak kuasa membendung kemarahan Brahma dan kekuatan dari pohon nitya pralaya. Akarnya mulai melilit apa saja yang ada di sekitarnya. Sembilan dewa dililit, dan di serap secara perlahan, bersatu dengan pohon nitya pralaya, dan seketika menjadi kepompong yang bergelantungan di ranting. Tak berselang lama, ratusan dewa-dewi pun juga mengalami hal yang sama.

Pohon nitya pralaya semakin besar, dan akarnya menjalar ke mayapada7, madyapada, dan marcapada. Semua makhluk dari tiga dunia ketakutan, berteriak, dan meminta tolong. Namun, akar pohon nitya pralaya menyeret mereka, satu demi satu, dan pada akhirnya semua makhluk telah diseret, dan dijadikan kepompong yang bergelantungan di ranting-rantingnya.

Mereka terkejut ketika sampai Kahyangan Ondar Andir Buana yang kacau balau. Berteriak memanggil orang tua mereka. Namun, tak ada jawaban. Mereka berlari ke ruangan dokumentasi dan pustaka kahyangan untuk mencari orang tuanya dan Narada. Namun, hasilnya nihil.

Kala mendekat ke tubuh Brahma yang berada di bawah pohon nitya pralaya. Ia memotong taringnya dan jadilah keris Kalanadah yang terukir naga, lantas berusaha untuk memotong akar yang melilit tubuh Brahma. Akar yang dipotong kembali tumbuh dan menjadi banyak. Semakin lama, tubuhnya semakin dililit oleh akar pohon nitya pralaya, dan hanya terlihat wajahnya saja. Mulut Brahma keluar akar yang berwarna merah, mengejar mereka. Kala terus memotong akar itu. Namun, akar itu akan terus tumbuh walaupun sudah ribuan kali di potong. Alhasil, akhirnya mereka dapat ditangkap, diseret masuk ke dalam mulut Brahma, di sana bertemu dengan kedua orang tuanya dan Narada yang telah berbentuk kepompong.

Mereka berusaha untuk melepaskan diri, tetapi sia-sia. Akar pohon nitya pralaya terus menjalar, membungkus  mayapada, madyapada, dan marcapada. Tiga dunia telah bersatu menjadi antiga mahadwipa8. Mayapada menjadi kulit, madyapada menjadi putih telurnya, dan marcapada menjadi kuning telurnya. Seketika terdengar suara gemuruh dari teriakan Brahma. Teriakan itu mengakibatkan pohon nitya pralaya diselimuti oleh api yang berwarna biru, sekejap menghancurkan secara total antiga mahadwipa, dan terjadilah naimittik pralaya8.[]

~Ruang Sang Hyang Widhi, 11 Januari–31 Maret 2021.

Catatan:

  1. Komo                         : Sperma.
  2. Nawagraha                : Sembilan planet.
  3. Nitya pralaya             : Pohon kematian.
  4. Madyapada                : Dunia bagi setan, demit, jin, gandarwa, mahluk halus, dan peri.
  5. Marcapada                 : Dunia bagi ras wayang, raksasa, dan margasatwa.
  6. Mayapada                  : Dunia bagi dewa-dewi, bidadari, dan apsari-apsari.
  7. Antiga mahadwipa     : Telur ajaib.
  8. Naimittik pralaya       : Hancurnya alam semesta.

Penulis:

Nur Khafidhin berdomisili di Demak. Alumni PBSI di Universitas Islam Sultan Agung Semarang.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *