Cerpen
Pengikut Terakhir Suli Murbani

Pengikut Terakhir Suli Murbani

BERTAHUN-TAHUN perjalanan kami tak kunjung usai. Sebagian besar anggota putus asa dan keluar dan memulai hidup baru di kota-kota kecil yang kami singgahi; menikah di sana dan mungkin memiliki banyak anak.

Aku tak tahu yang dapat kuperbuat di kawasan terpencil yang jauh dari kampung halamanku, tapi kadang ada godaan untuk berhenti. Seakan-akan sekelompok setan keji berkeliling di sekitarku dan berbisik, “Coba tiduri beberapa wanita dan rasakan sensasi menggendong bayi-bayimu sendiri!”

Aku tak tergoda berhenti dan menetap selamanya di satu kawasan, apalagi sampai memiliki anak cucu. Aku menyukai wangi dan indahnya wanita, tapi tak ingin selesai dan keluar dari persekutuan. Akulah barangkali anggota paling setia di sini. Terkadang aku iba pada Suli Murbani, pemimpin kami, yang tampak kurus dan sakit-sakitan dan tak punya siapa pun yang menghubungkannya dengan masa lalu ataupun masa depan, kecuali kami, para pengikutnya.

Tahun-tahun yang panjang memang terasa berat bagi mereka yang tak cukup sabar; begitu banyak pertanyaan telontar, menampar halus jidat dan pipiku, namun sepertinya itu bagai tamparan terkuat yang ditujukan pada pemimpin kami.

Pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan makmur, sahabat, memiliki para penerus, membangun legacy yang bersifat duniawi (yang bagi sebagian dari kami itu manusiawi belaka), rumah untuk masa tua, penghormatan dan cinta pada orang tua, dan lain sebagainya.

Suli Murbani hanya akan menjawab, “Tunggu sampai langit memberi jawaban.”

Sering diam-diam kudapat pertanyaan, atau tepatnya curahan hati, dari anggota lain yang akhirnya tergoda meninggalkan persekutuan ini: “Untuk apa perjalanan panjang yang tak ada putusnya ini? Mau sampai kapan terus begini, sedangkan Suli Murbani tak pernah sekali pun memberi kita penjelasan?”

Aku tak bisa menyanggah, tetapi kukatakan betapa aku percaya sepenuhnya pada pemimpin kami itu. Fakta bahwa dunia telah keropos dan terkorupsi oleh perbuatan keji dan biadab umat manusia dan para setan, sama sekali tak bisa disangkal.

“Lihatlah kerusakan di banyak tempat dan pikirkan bagaimana kemenangan bukan lagi soal siapa yang benar dan lurus, melainkan siapa yang kuat dan berkuasa!”

Jika seorang atau dua anggota sekaligus mundur memisahkan diri dan tak berkenan melanjutkan perjalanan bersama kami, akulah yang pertama mengumpat dan mengucap tujuh sumpah suci kami yang tertera di buku pedoman persekutuan, yang dilantunkan ketika Suli Murbani menasbihkan kami sebagai bagian dari kelompok yang dibangunnya ini. Bahwa tindakanku sia-sia dan bahwa orang-orang yang menyerah barangkali mulai memandang kami sebagai sekumpulan orang bodoh, sama sekali tidak membuat sosok pemimpin kami marah. Akhirnya aku cuma kesal sendiri dan itu berlangsung lima tahun belakangan.

Suatu hari kami tiba di suatu titik ketika anggota kami tinggal sembilan orang. Suli Murbani mendadak bangkit berdiri begitu kami menuntaskan makan malam yang amat sederhana dan murah di sisi tembok sebuah pabrik tua kosong, dan berkata, “Barangsiapa ingin pergi, silakan. Tidak akan ada larangan dan kutukan untuk itu. Kalian justru akan mendapat doa dariku. Sebuah doa khusus agar kehidupan kalian berjalan lancar setelah kita berpisah.”

Esoknya tinggal dua pengikut Suli Murbani yang bertahan, yakni aku dan seorang pemuda bernama Ali Subadar. Kami merawat pemimpin kami yang mulai terlihat lemah dan kadang Ali Subadar perlu menggendong tubuh kurus Suli Murbani ketika harus menapaki jalan yang lumayan menanjak.

Ali Subadar-lah yang paling sering mengerjakan tugas-tugas yang membutuhkan energi besar macam itu, dan suatu hari aku juga mulai melihat fisik pemuda itu tampak tak segagah biasanya. Entah hanya pikiranku belaka atau memang dia mulai menderita penyakit dalam yang kronis (yang tentunya dia simpan sendiri rasa sakitnya itu) atau kurang gizi.

Untuk mengatasi ini, pekerjaan serabutan yang biasa kami ambil selama perjalanan kutambah; diam-diam aku mencari uang ekstra ketika kedua orang itu sedang istirahat di lokasi yang jauh dari rumah penduduk. Aku kembali tengah malam dan melewatkan kesempatan makan malam bersama dengan doa-doa khusus yang Suli Murbani lafalkan sebelum santapan sederhana kami telan bersama. Maka, beberapa hari setelahnya kami bisa membeli makanan yang lebih baik. Jika dulu pemimpin kami kerap bertanya terhadap hal-hal di luar kebiasaan macam ini, kini dia tak bertanya apa-apa.

Suli Murbani benar-benar mengunci diri dari pembicaraan apa pun tepat dua bulan setelah arus terakhir anggota pembangkang meninggalkan persekutuan. Di titik itu, baik aku maupun Ali Subadar merasa telah sampai pada fase ketika godaan para setan serta wanita-wanita di luar sana tidak membuat kami menoleh sejengkal pun. Kami memang kerap membayar para wanita malam untuk kesenangan sesaat dan sesekali, setelah Suli Murbani terlelap, kami pergi ke bar atau kelab malam untuk menenggak beberapa botol minuman keras. Namun, berkhianat atau keluar dari persekutuan? Itu tidak akan pernah terjadi.

“Perjalanan berlanjut sampai kita jumpai apa yang guru kita dambakan,” kataku pada Ali Subadar dan dia setuju seratus persen.

Kami pikir semua akan berjalan dan berakhir sebagaimana mestinya. Suatu kali di tepi suatu kota kami dihadang oleh para bajingan yang merampok habis bekal uang dan makanan kami yang sebenarnya memang tak banyak. Aku dan Ali Subadar tak sanggup melawan karena kami tidak pernah dilatih atau tidak dilahirkan untuk menjadi petarung; kami melawan dengan tenaga dan skill bela diri seadanya. Kami tumbang dan Suli Murbani juga tidak berdaya dengan gigi-gigi patah serta wajah berlumuran darah dan babak belur bak daging giling.

Oleh seorang warga yang melintas dengan mobilnya, kami dibawa ke rumah sakit setempat dan Suli Murbani dirawat selama dua hari sebelum akhirnya dia meninggal karena serangan jantung. Di subuh hari setelah kami dengar kabar itu, dokter meminta kami informasi tentang siapa pun yang bisa kami hubungi untuk proses pengiriman jenazah pemimpin kami.

Kubilang, “Kamilah satu-satunya yang dia miliki.”

“Tidak ada keluarga?”

“Kami keluarganya.”

“Wajah kalian bertiga sangat berbeda.”

“Tapi, kami keluarganya!”

“Baiklah. Dari mana kalian berasal?”

“Kami berasal dari tanah dan kembali ke tanah.”

“Maksudnya alamat rumah, Bung. Kalian memiliki rumah atau kampung halaman, bukan?” ucap dokter itu mendesah.

“Rumah kami di permukaan bumi.”

Dokter itu putus asa setelah mendengar penjelasan tentang persekutuan dan seluruh peristiwa yang kami alami untuk perjalanan panjang ini. Dia menyarankan agar kami merelakan jasad pemimpin kami diurus oleh pihak rumah sakit, sebab kami tak sanggup.

Kukatakan, “Biar kami bawa tubuh guru dan pemimpin kami itu.”

“Ke mana akan kalian bawa tubuhnya?”

“Tujuan utama kami.”

Dokter itu terlihat kesal dan menyerah.

Beberapa hari kemudian, dari kejauhan, seandainya seseorang bisa melihat, mereka hanya akan menemukan kami, dua pria kurus, berjalan dengan laju perlahan, menuju ke arah timur, ke sebuah lokasi suci yang bahkan kami sendiri belum benar-benar tahu, dan dalam pelukanku, ada guci kecil berisi abu dari jasad Suli Murbani. Setiap hari, aku tak henti berdoa agar pertanda-pertanda muncul; tentang bagaimana semua ini harus kami akhiri, tentang nasib persekutuan yang sudah di ujung tanduk, tentang akhir hidupku di bumi yang telah terkorupsi oleh perbuatan-perbuatan jahat.

Ali Subadar tidak lagi bicara denganku. Aku sendiri juga tak lagi bicara dengannya, seakan kami sama-sama tahu bahwa semua ini bakal selesai tak lama lagi, entah dengan cara apa.

Setan-setan seolah berpesta pora di sepanjang jalan. Lampu-lampu menerangi jalan yang kami tapaki di malam hari, namun seakan kami berjalan dikepung kesunyian dan kegelapan yang abadi. []

~Gempol, 2019-2021.


Penulis:

Ken Hanggara, lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018). Segera terbit kumpulan cerpen terbarunya yang berjudul Pengetahuan Baru Umat Manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *