Puisi
Puisi Novan Leany

Puisi Novan Leany

Laham 

“Telah sampai kita di Laham”, katanya
dalam bahasa asing di telingaku

Juni buncang 
tanpa limbubu pada 1907
seorang yang aku kenali dulu
kembali ke kampung,
dengan jubah terkulai
seolah kemarau tak mampu
merahasiakan wajahnya yang bening

Dikaukah utusan puanku,
yang menumpahkan makna 
bagi segantang sendu
penunggu sungai?

Sebab biru, kulihat di sorot matamu
adalah silsilah kampungku yang memar;
Ladang-ladang gandum milik Belanda
penjara lapuk kepala suku
dan barangkali, merdeka
hanyalah riuh riam Mahakam
yang tak juga mengabarkan petang

Masih aku panggil
kau meneer…

“Tak usah risau,
akan ada seribu anak menggetarkan dunia
dan sepuluhnya akan aku antar ke surga,” desisnya
yang mencoba bahasaku, sedikit terbata-bata dan tiba-tiba

Malam di Laham
angin basah berembus 
sekencang doa bocah lapar
dan rasa kasihan ini
terus membising dalam kepala 
serupa gemerisik rantai borgol
di kaki pembangkang 
pada tembok penjara 
bawah tanah

“Maafkan ine,
sahaya buta huruf
dan hidup adalah sekerat roti,
yang terhidang jadi rebutan
sebelum mantra-mantra
kita baca di meja makan,” sabda seorang anak,
dengan wajah samar aku kenali

Apakah doa 
yang dikatakannya itu?

Tahun-tahun penuh balian kemudian:
aku duga Stasi,  
mulai terbangun tepat 
di siku-siku Laham
sebab tiga kanak telah dibaptis
sementara yang lain,
melihat langit mendung di kampung
serupa ribuan hama bergelayut

di rimba yang bersiap gugur
ke ulu ladang

(Ine memintaku
untuk memanggilnya Suster)

Barangkali cinta terdengar
pada dentang lonceng
setiap hari minggu,
tapi bagaimana 
kalau ia berjejak
umpat tumpah
dengan darah 
di sumur depan rumah? 
Atau sekadar jadi sajak
kala kemboja duka
mulai gugur

Dikaukah utusan puanku,
yang menumpahkan makna 
bagi segantang sendu
penunggu sungai?

Sebab biru, kulihat di sorot matamu 
adalah langit adalah sunyi kekecewaan 
dalam tempo gerimis di bilik 
autofokus yang berjamur

Sampai mana 
doanya tadi?            

2022

Kutukan Kudungga

Jikalau engkau tahu,
yang kami sembunyikan
di balik terompah
adalah nama ayahku,
terbaca pada lepuh kaki-kaki 
nelayan penjinak hujan

Ia kembali
dengan peluh luruh 
serupa petang kikis, 
Pitis ini untukmu nak, 
lekas beri ke ibu
ikat dengan karet
lalu jepitkan di ketiaknya
agar tidak kerampokan.”

Kami miskin puan, 
yang menyusun sampan tiris
sebagai arakan sunyi,
yang uyuh, yang rapuh
dan sisa kematian
jauh terkenang
bagai pecahan karang
kembali ke gelombang

Mungkinkah,
laut bergumam; 
“kenapa buih
acap pecah
dan tak dikekalkan?”

Dengarlah Kudungga,
atau kepada siapapun
yang mendengar
laung pingkauku
jampimu adalah sepah 
segala bala
kalau lanun wani
menyamun rempah

sayap Martadipura
yang patah

Namun, berkali-kali
mereka kiau aku 
anak dagang,
cuma tahu berdendang
dengan jerit pantai
serupa Tukik menetas 
yang mendekati tepi
atau iwak-iwak
berkawin 
dengan surut 

Sementara, Ratuku
ini kening mulai demam kampung
sedang yang gemetar adalah 
tunggul-tunggul rumah rakit
kerap gusar, ditikam
pusaran bawah laut

O, janganlah
Ratu bergumam;
apa kehilangan namanya,
jikalau mimpi tiap malam
merebut ufuk wajahku
ke hening yang paling dalam
apa kekecewaan namanya,
jikalau batang dan bayangmu
menangkap kakiku yang tak tahu
ke mana akan sampai

2022

Hantu di Handel Maatschappij Borneo 

: 1800

Kampung dagang,
banjaran kenangan basah
dan hantu seorang pribumi
menuntunku ke abad yang lapuk

Jala-jala masih memukat, padahal
iwak tak lagi berkecipak,
mengambang seperti
memanggil Tuhan
dalam keragu-raguan
dan jazirah moyangku
hanyalah amis yang susut
di kolong rumah rakit 
sebelum banjir bandang

Sesekali ia berkelindang
di tiang-tiang rumah,
serupa serat Bamban
pada tubuh seorang perawan
ingin berangkat ke pernikahan

Adakah yang ingin 
dikau ceritakan dik? Sebelum 
pintu kau hempas
seakan-akan menepisku
menelusuri masa lalu

Tanpa aku kiau,
ia menghampiri
dan melelapkan wajahnya
di antara kaki-kakiku,
seolah ingin menyeberangi jalan, 
tapi takut dengan laju taksi Jamban 
secepat penggusuran kampungnya

Jendela tertutup rapat, namun
seseorang dapat keluar dari sana
itukah budak kataku, yang memikul 
rotan, damar, dan peraca
dengan upah murah

Maka, sampai kini
aku terus temukan Samarinda
pada lembaran kuning peristiwa
tergelimpang di pusar jalan
atau ditelungkupi jembatan, sementara
ia tak berawal sebagai Yupa

Kau tahu dik?
Seseorang yang murung
ingin menyusulmu 
sedang dayung telah patah
sampan terbelah,
bak isyarat duka tak berbentuk 
yang lelah menemuimu

2022

Parikesit

“Kenapa sahaya
tak dijual tuan? 
Sebagai rempah, senjata
atau waris arkais,” bisik seorang
dari dalam tanah

Ia sematkan segala
hikayat pilu saudaranya
pada pintu terakhir istana itu,
seolah kesedihan dan kegembiraan
adalah kavaleri penghabisan adalah museum piatu
yang membingkai Tuhan dan tuan
antara kitab yang menguning
dan kehilangan lembaran terakhir

Konon Parikesit, ingin 
dikutuk jadi budak
sebab tulang tentara 
yang berserakan di telinga
terus mendengung
dan sesekali ia mencoba
lantang,”Aku bukan Belanda bung,
meski kalam dipanggul
haram dibentangkan
aku ini lahir di bandar 
pelabuhan datukmu
menggelar ambal 
yang tak bau surau
tapi bau Eropa
bau tubuh perantau yang lapar,”

Risau luka yang terus-menerus 
sangkut di petala ingatan
adalah rengek gadis Serang 
yang menanti dipinang
seorang gadis tertasbih
ke sekujur Mahakam
sebagai sejuk batu tua
antara lantang angin hangit
yang makin luruh di tubuh
bak aroma asam seragam
dalam putik peperangan

Sementara, puluhan bujang 
nyaris tumpas kehilangan 
kampung halaman
juga perihal rinyut dalam tubuh 
adalah Australia 
adalah cermin wajah sejarah 
yang tak usai berpaling 
di rumah rakit yang karam,
di bercak tembok-tembok kota 
tempat lumut menyerahkan basah
di gua-gua rimba
tempat tinggal Walet
berebut mata batu
seolah ingin masuk ke 
dalam dongeng-dongeng
yang berlubang

“Kekasihku, dongeng naga Melenu
meminta beras kuning
yang menyambut yakin
untuk menutupi ketakutan kita
O, aku bakar Wijen
dengan peluh Kasau
aroma hitam makin
senyengat minyak Bintang 
yang kau sapu-sapu 
ke sekujur lenganku 
yang patah,”

Bagai Bidawang mencungul 
dari balik tempurung

takut ditebas parang
ia mendongak ke langit,
gadis Serang itu
menagih dipinang,
”Yang riam 
adalah waktu 
sedang pada garis 
telapak tanganku
mencemburui lipatan lehermu,”

2021/2022


Lembuswana

untuk Mentari

Dengan belalai ini,
aku semburkan kau banyu Mahakam 
sebelum taringku menggigit lambung silsilahmu

Di kedalaman sungai rindu tak berguna lagi,
dan barangkali nasib
sang buyut Mulawarman
bagai ayam menyerahkan kokok
pada matahari, napas terakhir
jawaban mimpi manusia
dari tengah malam

Karena setengah Lembu, aku izinkan kau 
bernyanyi di ujung tandukku sayang,
asal jangan kau tembak ini leher
dengan lembing sebagai perlambang 

Dan suatu saat, akan kau lihat
seseorang bisa terbang ke langit jadi kendara
sesekali terpelanting ke huma
tapi bukan sebagai musim

Dengarkan aum ini puan
jikalau kau inginkan,
agar menggetarkan Londo dan Jepun
yang numpang gantung seraga
tariklah ekorku, sekuat menteri raja
mengambil kembali ucapan sumpahnya

“Aku ini pelindung Ing Martadipura,
siapapun pengganggu, akan aku terkam
walau kuku-kukuku telah tumpul
dan rimba-rimba jadi
pelabuhan tongkang”

Tapi, telinga ini punya Rusa jantan
tentu hati selalu teriris
mendengar rengek 
kesedihan budak
yang berkepanjangan
dari tulang selangka
di dada makin nampak
(O, bisa aku sebut apa
tulang yang tumbuh di kepala?)

Dengan belalai ini,
aku semburkan banyu Mahakam 
ke tubuh sendiri, 
sebelum taringku kau ambil 
untuk menggigit lambung silsilahmu
sebelum sampai kau ke timur
mencari petang sebagai hijau rimba
kehilangan hujan
di sungai yang tak kekal

2022


Penulis:

Novan Leany, asal Samarinda, Kalimantan Timur. Pegiat seni dan pencinta kopi. Telah menerbitkan buku pertamanya “Eufolina pada tahun 2019. Puisinya beredar di media massa seperti Koran Tempo, Jawa Pos, Matapuisi, Bacapetra.co, Buruan.co, Borobudurwriters, dll. Kini bergiat di komunitas TerAksara. Dalam waktu terdekat pula sedang berproses untuk persiapan buku antologi puisi keduanya dan sekarang menetap di Yogyakarta melanjutkan pendidikan studi S2 psikologi.

1 thought on “Puisi Novan Leany

Leave a Reply to Jamiah Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *