Cerpen
Pohon Peramal Nasib

Pohon Peramal Nasib

Hujan semalam menyisakan butiran gerimis yang membuat pagi itu sangat hening. Matahari beraut suram, mirip jamur layu yang sudah dua hari terlepas dari akar, mengambang tak tentu di ufuk timur, berkalang mendung tipis. Beberapa orang petugas mendatangi dan menginterogasi Ki Subali karena dianggap penentang rencana pemerintah yang hendak mengadakan pelebaran jalan di depan rumahnya.

Kedatangan petugas itu hanya karena kesalahpahaman saja, sebenarnya Ki Subali tidak menetang pelebaran jalan itu asal dilebarkan ke bagian selatan, tidak dilebarkan ke bagian utara. Karena bila dilebarkan ke utara bisa menggusur sebatang pohon purba yang sudah sejak zaman penjajahan Jepang tumbuh menjulang. Petugas itu pun mau menuruti kemauan Ki Subali asal ia bersedia jadi relawan kebersihan kantor selama dua tahun tanpa gaji.

Ki Subali sebentar diam, seperti berpikir, seraya ia lirik pohon kesayangannya itu dengan mata yang bening; kulitnya yang berkerut pecahan garis berliuk menjadi jalan semut, berhulu ke pangkal dahan. Dahan-dahannya kekar seperti memeluk rahasia musim, ranting-rantingnya meliar ke samping hingga membuat rimbun daun tampak mengembang. Bunga-bunganya yang merah muda berkuntum dan bergoyang ditiup angin. Bagi Ki Subali, pohon itu terlanjur jadi leluhur yang pada setiap gerak dan gejala yang ditimbulkannya mengandung pesan tersirat tentang putaran hidup yang ia jalani bersama keluarganya, sebab itulah ia tak rela pohon itu tumbang hanya karena pelebaran jalan.

“Iya. Saya siap jadi petugas kebersihan tanpa gaji, asal pelebaran dilakukan pada sisi selatan jalan, jangan di sisi utaranya, sebab saya tak ingin pohon itu lenyap,” jawab Ki Subali dengan suara tegas. Telunjuknya menuding pohon itu.

Sejak saat itulah ia bertugas jadi relawan kebersihan kantor yang setiap hari sendirian menyapu, menyiangi rumput, dan kadang memotong bonsai supaya rapi. Berkali-kali ia menerima bentakan, cacian, makian, bahkan sering dilempar dengan benda-benda keras hingga membenjol dan kadang terluka. Tapi ia tetap berusaha tersenyum, karena bagi dirinya, pohon purba itu jauh sangat berharga, sehingga mampu menutupi derita penyiksaan yang ia rasakan.

Di bulan ketiga, Ki Subali diwajibkan menginap di kantor itu, agar ia tidak datang terlambat untuk memulai pekerjaan sebagaimana keterlambatan yang sering ia lakukan setiap pagi. Petugas mengancam akan menumbangkan pohon kesayangannya itu jika ia tidak mau menuruti kemauan petugas tersebut. Setelah membuat pertimbangan, akhirnya Ki subali bersedia untuk menginap di kantor dan hanya pulang seminggu sekali.

“Jika kamu ingin tahu keadaanku, amatilah guguran daun pohon ini. Jika daun yang gugur banyak yang menelungkup di datar tanah, itu artinya aku baik-baik saja. Sebaliknya, jika daun yang gugur itu banyak yang terlentang, maka aku dalam keadaan tidak baik,” pesan Ki Subali kepada Samad, anaknya satu-satunya.

Samad mengangguk dengan rembesan air mata tercurah membutir ke datar pipinya. Ki Subali mengelus kepala Samad, lalu mengecupnya, sebelum akhirnya ia pamit, melambaikan tangan dari balik pintu pagar sambil memanggul tas besar.

“Kenapa ayah lebih mengorbankan dirinya daripada pohon ini, Bu?” Samad melirik ibunya yang sedang menganyam tikar daun siwalan.

“Karena bagi ayahmu, pohon itu adalah leluhur yang harus dijaga. Selebihnya, pohon itu bisa jadi tanda-tanda datangnya sesuatu, baik atau buruk, untung atau rugi, menang atau kalah,” jawab ibunya tanpa menoleh ke wajah Samad.

Hari-hari saat ayahnya berada di tempat tugas, Samad terus menyambangi pohon itu setap pagi dan sore, bahkan kadang bila sempat ia juga menyambangi seusai salat Zuhur. Samad mengamati guguran daun yang bertebar di tanah, memastikan lebih banyak mana daun yang jatuh menelungkup dan yang terlentang, tapi selalu tak menemukan kepastian, sebab daun yang gugur terlalu banyak, sehingga sulit dihitung. Dalam perkiraannya, ia selalu menyimpulkan guguran daun yang menelungkup dan yang terlentang itu nyaris sama, sehingga ia berkesimpulan ayahnya ada di posisi antara baik dan buruk. Ia hanya memungut selembar daun yang menelungkup dan diciumnya sambil berdoa supaya ayahnya selalu baik.

Suatu malam ketika Samad merasa tak mampu memastikan daun gugur antara yang menelungkup dan yang terlentang, ia minta pendapat untuk mencarikan cara terbaik memastikan daun gugur itu kepada ibunya. Akhirnya ibu Samad menghampar selembar sarung di bawah pohon itu dan menyarankan Samad untuk memastikan guguran daun yang ada dipermukaan sarung itu. Samad mengangguk sambil tersenyum, karena cara itu lebih memudahkan dia memastikan guguran daun.

Keesokan harinya, seusai salat subuh, Samad langsung mengecek hamparan sarung itu. Ternyata tak selembar daun pun gugur di atasnya. Samad menarik napas dan mengeluarkannya dengan cepat seperti mengeluarkan sebuah kekecewaan. Ia pun membiarkan sarung itu terus terhampar dan mengeceknya setiap waktu hingga berhari-hari, tapi permukaan sarung itu tetap saja kosong, seperti daun talas yang tak sudi menerima air.

“Tak ada selembar daun pun yang jatuh ke permukaan sarung ini, tapi mungkin saja ini pertanda ayah tidak baik tapi juga tidak buruk, dalam arti kadang baik dan kadang buruk atau baur, ah! Maksudku bagaimana ya?” Samad pusing dengan kesimpulannya sendiri.

Ketika pelebaran jalan dilakukan, Samad menanyakan keberadaan ayahnya kepada para pekerja dan para petugas, namun semua orang yang ditanya menjawab tidak tahu. Salah seorang petugas yang ikut menjemput paksa ayahnya—yang ia ingat melalui perantara tahi lalat di samping hidungnya—tak lupa ia tanyakan juga. Tapi petugas itu juga mengaku tidak tahu.

Semakin hari, Samad semakin tidak percaya kepada pohon itu, tepatnya ia tidak percaya pada kata-kata ayahnya bahwa pohon itu bisa jadi peramal nasib. Ia berhenti merawat pohon itu, dibiarkannya tumbuh secara alami; dahan dan ranting kian melebar ke berbagai penjuru, disampir lebat daun dan kuntum bunga. Sedang ranting dan daun kering menumpuk tebal di bawahnya. Hitam, lembap, dan melapuk busuk. Ketika ibunya melintas di dekat pohon itu, terbersit sebuah keinginan untuk menanyakan banyak hal kepada Samad mengenai pohon itu, hingga tiba sore yang membuat keduanya duduk santai di beranda.

“Mad! Kenapa pohon itu tidak kau rawat lagi seperti hari-hari yang lalu?”

“Meski tak dirawat kan tetap tumbuh baik, Bu. Lagi pula, pohon itu bagi saya pohon biasa, bukan pohon peramal sebagaimana yang dituturkan ayah.”

“Jangan sembarang ngomong, Mad!,” suara Ibu Samad meninggi, bersamaan dengan posisi wajah yang ia alih pandang ke wajah Samad, seperti menunjukkan rasa kesal. “Aku sudah berkali-kali jadi saksi. Salah satunya ketika aku mengandungmu. Kata ayahmu ‘jika bunga pohon itu banyak yang merah, maka bayiku laki-laki’. Dan nyatanya, lahirlah kamu,” imbuhnya dengan mata agak terbuka. Samad tak menjawab apa-apa. Hanya menopang dagu pada kedua telapak tangannya yang tegak berjajar di datar meja.

Hari setelah terlibat cakap dengan ibunya, Samad kembali merawat pohon itu, namun tujuan utamanya hanya karena demi menghargai perasaan ibunya, bukan karena percaya bahwa pohon itu peramal nasib.

Sore itu Samad melihat pemandangan yang tak seperti biasanya; daun-daun yang gugur nyaris semuanya terlentang. Meski angin agak kencang, tetapi lembar daun-daun itu tetap tak terbalik, bahkan tak bergerak sedikit pun seolah lekat oleh lem perekat. Pemandangan itu membuat Samad sedikit bergidik. Ia teringat kepada ayahnya yang entah ada di mana, terutama teringat pada kata-kata ayahnya mengenai tanda-tanda yang ditimbulkan pohon itu.

Antara percaya dan tidak, Samad segera menghubungi ibunya dan menceritakan peristiwa itu. Ibunya pun paham dengan tanda guguran daun yang terlentang di tanah. Sebagaimana Samad, wajah ibunya pun lekas murung. Keduanya menagis di sisi pintu, sesekali menatap satu-satunya potret Ki Subali yang tergantung di tembok bagian barat. Setelah itu, Ibu Samad segera pergi ke dapur untuk memasak, lalu dibagikan ke tetangga demi keselamatan Ki Subali, sementara Samad berwudu dan cepat menuju kamar untuk mengaji, juga demi keselamatan ki Subalil.

Keesokan harinya, dengan langkah gontai dan wajah sedih, Samad dan ibunya mendatangi pohon itu. Mata keduanya membengkak dan masih terdengar isak tangis pedih. Samad mematung dan tak kuasa melihat daun-daun yang terlentang itu, sedang ibunya perlahan jongkok dan memungut selembar daun itu. Ia amati perlahan, lalu ia lempar ke udara, lembar daun itu kembali jatuh dalam keadaan terlentang. Ia mengulanginya lagi hingga tiga kali, tapi daun itu tetap jatuh terlentang. Samad seketika membalikkannya langsung tanpa dilempar ke udara, tapi daun itu berbalik lagi hingga terlentang, seperti dihempas angin seketika. Samad dan ibunya hanya saling pandang dalam linang air mata yag terus berjatuhan. Keduanya sama-sama menduga, ayahnya sedang tidak baik. Sejak saat itu keduanya dirundung kegundahan yang sangat mendera. Tak ada aktivitas yang dilakukan, selain berdiam di rumah seraya menghapus butiran air mata.

Samad dan ibunya baru bisa tertawa saat malam hari ketika Ki Subali tiba-tiba datang dalam keadaan sehat dan ceria, wajahnya berbinar, tubuhnya tampak lebih berisi. Ia menyatakan bahwa dirinya baik-baik saja dan telah bebas dari hukuman tanpa harus menunggu dua tahun. Melihat kenyataan itu, Samad semakin tidak percaya pada pohon peramal itu; nyatanya daun gugur terlentang yang mestinya menyiratkan kabar duka malah berbalik menunjukkan kabar sukacita.

“Hm, omong kosong kau pohon!” gumam Samad seraya memandangi pohon itu dari beranda.

Keesokan paginya, Ki Subali langsung turun tangan memotong dengan rapi ranting dan dahan pohohn peramal itu yang sudah agak rimbun karena tidak dirawat oleh Samad. Ia memanjat pohon itu hingga di bagian yang tinggi. Semua daun yang berguguran tiba di tanah dalam keadaan terlentang, sama dengan beberapa menit kemudian; Ki Subali terjatuh dan terlentang di tanah hingga tak bernapas.

Samad dan ibunya berlari ke arah Ki Subali sambil menjerit histeris. Keduanya memeluk tubuh yang sudah tak bernapas itu dengan tangis yang dahsyat. Samad lalu mengamati daun-daun yang terlentang, mengamati pohon itu seolah mengamati nasib yang sulit diramal.

Gapura, 2021


Penulis:

A Warits Rovi. Lahir di Sumenep Madura 20 Juli 1988. Karya-karyanya berupa cerpen, puisi, esai dan artikel dimuat di berbagai media  antara lain: Kompas, Tempo, Jawa Pos, Horison, Media Indonesia, Republika, MAJAS, Sindo, Majalah FEMINA, dll. Memenangkan beberapa lomba karya tulis sastra.  Buku Cerpennya yang telah terbit “Dukun Carok & Tongkat Kayu” (Basabasi, 2018), “Kesunyian Melahirkanku Sebagai Lelaki” (Basabasi, 2020). Ia mengabdi di MTs Al-Huda II Gapura. Berdomisili di Jl. Raya Batang-Batang PP. Al-Huda Gapura Timur Gapura Sumenep Madura 69472. email: [email protected]. Phone 087866326277.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *