Puisi
Puisi Mochammad Aldy Maulana Adha

Puisi Mochammad Aldy Maulana Adha

Genealogi Puisi Elegi

/1/
siang bolong. baunya seperti kota roma yang sengaja dibakar kaisar nero. membuat rute. membuat pantheon. membuat jalan yang dilalui para stoik. separuh langit runtuh. membuat lubang sedalam 3 kaki. menghidupkan biola mati di gendang telinga diogenes. membuat tanda tanya di dalam kepalamu. membuat sebuah waktu yang selalu terlihat terburu-buru–diam, kemudian duduk manis di antara tatap mataku & pipi merahmu.

/2/
“apakah pesimisme, memang lahir tepat di tengah-tengah kepergian & kepulangan?” kataku, memecah keheningan. sesudahnya bunyi-bunyian kembali bersembunyi–pada desibel paling rendah. jadi lautan, yang tak dilewati avonturir semacam odysseus. aku menarik napas dalam-dalam. lalu perlahan tenggelam. sedang simpul dari senyummu, tahu caranya berenang. mendomestikasi bahasa sebuah tubuh; yang bahkan belum selesai mengeja jawaban.

/3/
“bagaimana bisa kau jadi puitis–jika aku tak pergi?” timpalmu dengan singkat, padat, & bangsat. batas-batas militer antara masalalu & masadepan, pun tandas. jadi masakini. jadi dionysus yang larut dalam ekstasi; menari-nari > meski pada akhirnya, kita tahu bahwa kepulangan masihlah tetap terdengar lebih merdu, estetis, menarik, & ditunggu-tunggu < tapi, sayangku, perlu kau tahu–puisi-puisiku hanya berupaya mengindeks kegagalanku–menerima efek antroposen sebuah kerinduan; yang rasanya hampir mirip seperti senin pagi–dengan terus-menerus mendorong batu.

(2022)

Omnipotence Paradox

jika tuhan mahakuasa,
sanggupkah ia mencipta
batu yang dapat membuat
sisifus berbahagia?

(2022)

Ode untuk Frin-frin II

bunga fritillaria mekar di musim semi, seperti sungai yang berjanji—untuk menghanyutkan ophelia. separuh langit retak jadi hujan, jadi air bah. jadi sepotong writer’s block yang pecah dalam puisi, lalu jadi tanda baca yang tak pernah selesai bertanya: “kira-kira, berapa kali sebuah bahasa pergi ke kamar mandi, membersihkan dirinya dari seorang pecundang yang memilih diam seribu bahasa—ketika berada di depan kekasihnya?”

sedang mitos-mitos masih tumbuh di kedua bola matamu, sayangku. seperti rindu yang kabur dari pertanyaan tentang waktu. jadi sebilah perang yang berkecamuk pada malam-malam brengsek—berlatar biru paling glumi, tanpa dekapanmu yang matahari. sebelum tuhan meniupkan kata sifat dari surga; ke dalam ciuman pertama sepasang manusia yang dimabuk cinta.

setelah penyair dalam pembuluh darahku, tiba-tiba berubah, jadi seperti ambulans yang terjebak macet—kala dirimu dengan sangsi bertanya: “sampai kapankah kau akan berjihad melawan sepi campur sunyi, seperti orang tolol—sebab melakukannya dengan seorang diri.”

(2022)

Ode untuk Frin-frin III

mitos-mitos masih menunggu demistifikasi. dalam bayang-bayang ilmu pengetahuan pasca-pandemi. aku mengutuki lisensi puitika yang tak berguna. rinduku padamu, bermetamorfosa. jadi semacam piano butut yang separuh purna. pada simfoni paling sunyi. jadi imbesil. seperti eksil dari sejarah orang lain yang tragikomedi.

aku menunggu deus ex machina. di matamu, bahasa sudah terbakar. baunya vitamin d yang overdosis. menolak padam. seperti cahaya tuhan di perpustakaan alexandria. hangus. tanpa sisa. tanpa ampun. & tanpa sangsi, memilih hanyut di sungai-sungai—tempat antropolog berkata: “konon katanya, peradaban selalu dimulai di lembah-lembah yang dialiri air—& berakhir ketika seorang lelaki gagal mentransfigurasi air mata sebuah rindu jadi puisi.”

(2022)

Le Mythe de Existentialiste 

malam itu kau menemukanku tergeletak tak bernyawa. aku bisa merasakan—kau menatapku, seperti folklor di mata orang yang tak pernah peduli pada tradisi. kau tak percaya, jika bunga matahari bisa gugur di musim semi. tanpa bunga bahasa sama sekali. lalu tanpa basa-basi; kau mengautopsi tubuhku, atau mungkin tepatnya memutilasi sebab di dalam setiap tindakan—menggunakan pisau bedah: psikologi sastra.

berikut adalah hasil post mortem-nya:
sebelum mampus, neuron di dalam otaknya sempat beberapa kali putus; meski punya riwayat sakit maag akut, tanpa takut lambungnya sering kali mengadakan festival kafein—karenanya, isi kepalanya dihantui karnaval anxiety selama 24×7 jam sehari; selain nikotin, di paru-parunya terdapat sel kanker paling berbahaya abad ini yang bernama nihilisme—sehingga menyebabkan human life crisis stadium akhir;

jauh di lubuk hatinya, kau tahu ia sedikit menyesal mempelajari filsafat barat—karena membuatnya kesepian—dan kebangsatan itu berlanjut sampai-sampai membuatnya merasa—bahwa hidup tak ubahnya seperti menaiki roller coaster di taman bermain yang sedang mati lampu—mengakibatkan nausea tak henti-henti, di sana & di sini—sebelum berhenti, disudahi waktu, setelahnya barulah kekosongan abadi;

di jantungnya, kau menyadari, orang sinting itu, memiliki kerinduan melankolis—alias nostalgia pada seseorang, tempat, atau sesuatu yang jauh baik dalam ruang maupun waktu—semacam kesenduan samar-samar, seperti mimpi, akan fenomena yang bahkan mungkin tak pernah ada ataupun terjadi; di antara kornea dan pupil matanya, tampak batas-batas realitas yang bisa dipastikan hancur & juga sebuah anak kecil yang menolak mati terlalu—dini.

(2021)

Jalan Lain > Interteks Nietzsche > Perulangan Abadi

bagaimana, jika suatu hari atau malam seorang anak kecil di dalam alam bawah sadarmu yang lindap & lembap—diam-diam menculik kesadaranmu menuju kesepianmu yang paling sepi, kemudian berkata sesuatu kepadamu: ‘hidup ini, seperti yang sedang kau jalani, adalah ular ouroboros yang memakan ekornya sendiri. kau hidup & mati setiap hari, setiap waktu, setiap kau mulai mengingat-ngingat—pengalaman puitik ketika seberkas cahaya tuhan mengevakuasi kata sifat dari neraka di dalam tubuh realitas, setiap kau mulai berhenti mengingat-ngingat—kemudian membias bersama bayangan kebodohanmu yang akan menolak bersekutu dengan api-api pemberontakkan, setiap kali kau bertanya-tanya—apakah separuhmu adalah perjuangan, & separuhmu yang lain adalah kesia-siaan;

tapi kau harus tetap hidup, untuk mengukur berapa harga sebuah mitos-mitos tentang keabadian—di kepala seorang eskapis yang tak pernah mau hidup sejuta tahun lagi. kau harus hidup, untuk melampaui kebencian gelap kepada pagi—untuk belajar mencintai kehidupan yang terlampau kacau ini. kau harus hidup, sekali lagi, & tak terhitung berapa kali lagi; meski tak akan ada sensasi yang baru di dalamnya, kecuali setiap rasa sakit, setiap tangisan—di ruang bersalin, di kuburan tanpa nisan, di batas-batas antara mimpi & kenyataan. semua omong kosong ini, berada dalam rentetan & urutan yang sama: bau kematian, bau kelahiran kembali, bau dinamit di bangunan makna, bau keringat zarathustra di antara laut-laut yang nirmala—bahkan bau kekosongan, bau bangkai waktu masakini, & diriku sendiri. sejarah dalam batang tubuh ruang-waktu mengulangi dirinya sendiri, lagi, & lagi, & kau bersamanya, wahai setitik debu ruang angkasa—di planet bangsat bernama bumi!’

tidakkah kau akan menelan ludah, mengutuk dalam hati, & mulai berpikir untuk menonjok muka anak kecil itu—anak kecil yang kaukira berbicara seperti orang tolol yang menolak mati terlalu dini? ataukah kau akan mulai mencintai seluruh kebrutalan hidup—dengan segenap kesintingan, nyala, & bara yang tersisa pada rongga dadamu seperti icarus yang menantang tengiknya matahari?

(2022)


Penulis:

Mochammad Aldy Maulana Adha lahir di Bogor, Jawa Barat—pada 27 Maret. Bukunya: Timbul Tenggelam Philo-Sophia Kehidupan (2020); Timbul Tenggelam Spirit-Us Kehidupan (2020); Trias Puitika (2021). Pembaca yang suka menulis ini adalah penerjemah, kreator sekaligus kurator puisi, prosa dan cerpen. Kini, dirinya menjadi Editor di Omong-Omong Media, bisa disapa melalui: [email protected]; instagram-@genrifinaldy; twitter-@mochaldyma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *