Esai
Hum(b)anisme: Sebelum Dan Setelah “Aku Menang”

Hum(b)anisme: Sebelum Dan Setelah “Aku Menang”

Oetimu, Melus, dan Renceng Mose. Tiga kata itulah yang menyulut kuriositas saya untuk mencari gambar utuh tentang hikayat tanah di Nusa Tenggara Timur. Lalu, semesta menggerakkan saya hingga tiba dan berbincang dengan Perempuan Tana Humba.

Oetimu saya jumpai dalam novel Orang-Orang Oetimu (Felix K. Nesi, 2018). Lanskap geografis yang melatari novel etnografis itu lebih menusuk perhatian dibanding segala kebejatan rohaniwan dan selangkangan aparat yang dikisahkannya.  Imajinasi saya melompat-lompat setiap kali menekuri narasi tentang pohon lontar di hutan dan sabana, pohon gewang di bukit-bukit karang, tanah meretak di musim kemarau, dan daun-daun hijau berkesiur ditiup angin.  

Melus adalah tanah ajaib yang dipenuhi perdu khayali di sekujur bentangannya. Ia sanggup menumbuhkan dongeng pencegah penyakit tuna-imajinasi pada anak-anak. Di Melus-lah, Mata dan Atok, bocah belasan tahun rekaan Okky Madasari dalam novel Mata di Tanah Melus, bertualang sebagai anak-anak merdeka. Mereka mewakili generasi utopis yang selalu membawa kerumunan imajinasi di kepala. Imajinasi itulah yang membawa mereka—dan saya—pada labirin mitologi yang sejatinya mengandung kebajikan sosial-ekologi.

Tanah Melus dihadirkan bersama Fulan Fehan dan Hol Hara Ranu Hitu. Lanskap alam dan kepingan sejarah tersebut menjadi saksi pergulatan orang-orang Atambua menyikapi persoalan hidup sehari-hari. Lagi-lagi, narasi tentang Tanah Melus dan Fulan Fehan—lembah di kaki Gunung Lakaan dengan hamparan sabana—lebih memikat saya ketimbang Hol Hara Ranu Hitu—benteng tujuh lapis berusia ribuan tahun.

Renceng Mose adalah klinik jiwa yang merawat orang-orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Renceng Mose berarti harmoni dengan sesama dan semesta. Klinik jiwa di Kabupaten Manggarai itu menggandeng Klub Buku Petra menggelar lomba penulisan cerpen untuk menangkap percikan kisah hidup ODGJ dalam antologi Nadus dan Tujuh Belas Pasung.

Para cerpenis—semua berasal dari NTT—menangkap pergulatan ODGJ dari jarak dekat dengan lensanya masing-masing. Nyaris semua cerpen mengerucut pada tema keterpisahan. Baik terpisah dari intimasi keluarga, komunalitas masyarakat, maupun sistem sosial budaya. Namun, ODGJ tak pernah terpisah dari diri-sejati mereka sendiri. ODGJ selalu punya cara menemukan kemerdekaan di tengah kerumunan stigma keterpisahan yang disematkan orang waras.

Ada yang bergetar tatkala membaca lanskap geografis di mana kisah-kisah ODGJ itu bergulir. Dalam cerpen Nadus dan Sembilan Roh yang Merasukinya, Marto Rian Lesit membuka cerita bak kamera bergerak maju demi mendapatkan gambar lebih detail:

Sebentang lembah. Sungai di antara sebentang lembah. Sebuah jembatan pada sungai di antara sebentang lembah. Semak belukar di tepi jembatan dan sebuah sungai di antara sebentang lembah. (Lesit, 2020)

Di balik lembah itu, lanskap yang melatari cerpen Nian Ina Ema Bulakan dilukis dengan palet warna yang sama. Cerpenis Yanti Mesakh seolah menggunakan kamera setinggi mata, diarahkan ke beberapa titik di ketinggian pohon, lalu bergerak menyusuri permukaan tanah:

Matahari pagi menyelusup celah dedaunan. Di samping rumah mereka tumbuh pohon mangga, jambu air, kelapa, cermai, jamblang, dan nangka yang ditanam sebagai pagar untuk membatasi rumahnya dengan rumah tetangga. (Mesakh, 2020)

Saya tercenung di hadapan film berjudul Perempuan Tana Humba. Layar dibuka oleh kokok ayam memagut matahari pagi, bukan sabana luas ataupun lembah hijau seperti yang saya bayangkan ketika membaca tiga karya sastra di atas. Lalu dua perempuan, seorang lelaki, dan sepasang bocah bergantian menyusuri jalanan. Kamera berpindah dari pasar menuju rumah panggung. Sesekali mengikuti langkah bergegas anak-anak pulang sekolah.

Narator terus bercerita. Kamera menyorot tangan-tangan tangguh di papan tenun. Bergerak lincah memotong dan menata benang aneka warna membentuk motif yang masih samar bentuknya. Derap kuda berpadu dengan go-genga yang dipetik penuh tenaga. Jadilah suasana etnik-dinamik mengiring pergerakan cerita tentang Merapu, Belis, dan Perkawinan. Meski dirajut dari tiga benang babak, film dokumenter ini lebih sedap jika dikupas-potong menjadi dua bagian: sebelum dan sesudah “Aku Menang”. Kedua bagian ini tidak simetris karena frasa “Aku Menang”  muncul di sepertiga akhir babak Perkawinan.

“Aku Menang” keluar dari mulut perempuan Humba yang paling muda dibandingkan narator lainnya. Ia mengenakan kain tenun berwarna merah-hitam. Bicaranya tegas. Kalimatnya rapi. Sorot matanya tajam tanda punya energi tersimpan. Sesekali energi itu mengaliri kedua tangan ketika memberi tekanan pada narasi yang diucapkannya.

Sebelum “Aku Menang”
Film yang diawali dengan kematian sudah jamak. Itu biasa. Mulai dari kematian misterius, kematian massal, hingga kematian berdarah-darah. Namun, kematian yang dinarasikan sebagai perayaan barangkali hanya bisa dipelajari dari kepercayaan Marapu di tana Humba.

Sebagaimana agama dan sistem kepercayaan lain, Marapu sejatinya adalah upaya manusia menjumpai Tuhan. Manusia mengundang Tuhan untuk hadir dalam aktivitas kesehariannya. Apabila Marapu digelar agar Tuhan mendampingi upacara kematian, maka itu adalah penanda bahwa masyarakat Humba meyakini kematian sebagai kesempatan menjumpai Tuhan. 

Marapu bisa dipahami lebih utuh lewat gerak-gerak yang ditampilkan pada perpindahan antar narator. Perahu melaut. Kapal berlabuh. Truk merayapi jalan perbukitan. Kuda merumput di padang. Anak sekolah berjalan cepat di tepi jalan. Bukankah kematian mesti dihayati layaknya kehidupan? Ada waktu untuk melaut dan berlabuh. Ada waktu untuk merumput di padang berkah dan merayapi bukit persoalan. Ada pula waktu untuk sedikit ‘bodo amat’ agar bisa berjalan lurus di tepi arus zaman.

Marapu disambung dengan Belis, tradisi yang kerap disadar-pahami secara bertolak belakang jika dilihat dari dua sisi berlawanan. Orang luar melihat Belis sebagai transaksi jual beli. Tanpa belis, wanita seolah tak punya nilai untuk kehidupan masa depan. Sebaliknya, bagi orang Humba, Belis adalah penghargaan dan penghormatan kepada perempuan.

Jalan terjal yang dilewati lelaki berikat kepala ketika mengawali babak Belis linier dengan jalan terjal untuk memahami Belis.  Tak semua orang Humba dengan mudah memahami hakikat Belis. Padang terjal berganti cepat dengan pohon kering dan matahari terik. Awan putih bergulung memanjang. Di latar belakang, langit biru kontras dengan cokelat tua yang memantul dari padang gersang. 

Pohon kering itu mengajak kita menggugurkan daun sempit-pikir. Biarkan terik matahari mengeringkannya lalu menerbangkan kita menuju langit kesadaran. Matahari yang sama memantulkan Belis ke langit biru. Pemahaman kita akan Belis mesti seluas langit yang tetap membiru kendati zaman terus bergulung-gulung.

Belis berlanjut dengan babak Perkawinan. Babak ini menghadirkan Rambu Ana yang mewakili generasi milenial. Ia lebih terbuka. Pengalaman mengecap pendidikan dan bekerja menawarkan sudut pandang baru. Dibelis tidak berarti putus hubungan. Perempuan yang sudah dibelis memang tidak punya suara di kampung asal, tapi bukan berarti tak boleh berpendapat. Perempuan tersebut justru mendapat kesempatan baru untuk berpendapat dan mengambil peran di kampung suami. Di titik inilah, perempuan mesti memperlengkapi diri dengan ‘nilai lebih’ sebagai bekal untuk membayar lunas peran baru yang diembannya.

Setelah “Aku Menang”
Adat Sumba terlalu kaku. Ada yang harus diikuti, ada yang harus dilawan. Lensa pandang baru itu melecut keberanian Rambu Ana untuk menjadi perempuan Tana Humba yang merdeka dan memerdekakan. Itu sebabnya, ia tak membawa hamba ketika menikah seperti yang dilakukan banyak orang Humba. Narasi itu diakhiri dengan frasa “Aku Menang”.

Lalu terdengarlah bunyi-bunyian lebih rancak. Layar dipenuhi gerak-gerak yang membebaskan. Anak-anak bermain riang di halaman. Jeda pergantian narator diisi dengan langit biru yang mendominasi layar ketimbang padang gersang.

Spirit “Aku Menang” juga tampak pada perubahan pakaian yang dikenakan pengantin. Pasangan pertama mengenakan jas hitam dan gaun putih khas Eropa. Tak ada aroma Humba sama sekali. Pasangan kedua mengenakan jas berbahan kain tenun Humba. Ada perpaduan Humba dengan dunia luar. Pasangan ketiga mengenakan pakaian adat Humba murni. Warnanya merah. Kedua pengantin berjalan mendaki bukit. Di latar belakang, ombak bergemuruh seolah turut merayakan kemenangan.

Di Perempuan Tana Humba tak ada keindahan sabana seperti yang diceritakan Okky Madasari. Yang ada adalah keindahan manusia mengakrabi kemajuan teknologi dengan tetap memeluk tradisi. Tak ada pula relasi miris warga sipil dengan tentara dan rohaniwan seperti yang dikisahkan Felix K. Nesi. Yang ada adalah relasi dialogis agama baru dengan agama lokal-tradisional. Tak ada pula saling singkir antar manusia karena stigma ‘ODGJ’. Yang ada adalah saling memenangkan antara manusia dengan tradisi.

Perempuan Tana Humba pada akhirnya mendedahkan konsep tentang manusia, tradisi, dan dialektika tentang keduanya. Riset yang dikerjakan Olin Monteiro tentu saja tidak sembarangan. Sebagai aktivis-penulis-peneliti yang banyak menyelami dunia perempuan, gender, dan seni, Olin barangkali mendapati data serupa benang dengan pilihan warna terbatas. Namun, pilihan warna terbatas itu menjadi kain tenun bernilai tinggi lantaran ditenun sebagaimana orang Humba menenun dengan hati.

Bagaimanapun, Perempuan Tana Humba takkan sanggup melukiskan setiap lekuk tubuh Nusa tenggara Timur. Untuk melihat kontekstualitas Humba hari ini, kita perlu sandingkan film ini dengan Au Lorun (Dodid Wijanarko, 2015). Dari dalamnya, kita akan mendapati empat perempuan tangguh mempersembahkan diri untuk merawat tradisi tenun ikat. Au Lorun juga menghadirkan perempuan jelita sebagai teropong untuk  memahami Humba dari sudut pandang urban.

Atau, bisa juga kita kait-eratkan dengan Humba Dream (Riri Riza, 2019) yang lebih detail mengangkat upaya anak muda menemukan kembali identitas ke-Humba-annya. Segulung film 16 mm membawa si anak muda pada mimpi sang ayah, cinta, dan kenyataan bahwa Humba sedang bergulat dengan kebingungan dan kebimbangan. Satu poin yang layak dipetik dari Humba Dream adalah ikhtiarnya melibatkan masyarakat. Sementara Perempuan Tana Humba lebih kuat pada bahan baku riset pra-produksi, Humba Dream  lebih lekat merangkul beragam cabang seni lintas bentuk berupa karya instalasi untuk mengorkestrasi Hum(b)anisme dan Hum(b)anitas. 

Ada baiknya juga menautkan Perempuan Tana Humba dengan monolog Radio Ibu (Yustiansyah Lesmana, 2021) yang mengangkat kisah Riwu Ga. Dialah pendamping Bung Karno dalam pengasingan di Ende, Bengkulu, hingga kembali ke Pegangsaan. Namun, Riwu Ga justru memilih undur dari ingar bingar revolusi setelah kumandang proklamasi. Riwu Ga menyepi hingga mati sebagai peladang jagung. Pilihan hidup Riwu Ga tampak ganjil, tapi menjadi masuk akal apabila dibaca dengan kacamata Humba. 

Sebagai film dokumenter, Perempuan Tana Humba ‘gagal’ mendokumentasikan perempuan Humba (semata). Film berdurasi 30 menit ini melampaui batas identitas perempuan-lelaki, lalu menelusupkan  ruh ke-Humba-an pada identitas kemanusiaan. Dalam pada itu, menjadi logis dan gampang dipahami jika pergulatan manusia pada beberapa karya sastra dan karya visual di atas berhimpit dengan garis identitas Humba: berani berimajinasi dalam keterbatasan, lentur berinteraksi dengan kebaruan, serta teguh bertradisi di tengah zaman kebingungan. []

Referensi :
Perempuan Tana Humba (2021). Sutradara: Lasja F. Susatyo. Pemeran: Tamu Hambu Eti, Tamu Umbu Kandangu, Tamu Rambu Margaretha. Perusahaan produksi: Tanakhir Films.
Au Lorun (2015).  Sutradara: Dodid Wijanarko. Penulis: Dodid Wijanarko, Rani Adityasari. Pemeran: Mesty Ariotedjo, Alfonsa Horeng, Theodora Elisabeth. Perusahaan produksi: Dodid Wijarnako
Humba Dream (2019).  Sutradara: Riri Riza. Penulis: Riri Riza. Pemeran: JS Khairen, Ully Triani. Perusahaan produksi: Miles Film.
Radio Ibu (2021). Sutradara: Yustiansyah Lesmana. Penulis: Felix K. Nesi. Pemeran: Arswendy Bening Swara. Perusahaan produksi: Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Baru, Direktorat Jenderal Kebudayaan bersama Titimangsa Foundation dan KawanKawan Media.


Penulis:

Wahyu Kris, Kepala SMPK Pamerdi Kabupaten Malang yang sedang dan senang belajar menulis. Menerima penghargaan Kepala Sekolah Inovatif Literasi Kemendikbud (2020). Menulis buku Mendidik Generasi Z dan A (2018) dan Secangkir Kopi Inspirasi (2019). Pemenang 2 Sayembara Kritik Sastra Nasional, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa (2020). Pemenang 3 Sayembara Resensi Seri Monolog, Titimangsa Foundation (2021)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *