Puisi
Puisi Royyan Julian

Puisi Royyan Julian

Syekh Tanah Merah

Kami menyambutmu
di pesisir Bangkalan sebagai sunan
yang membawa Nur Muhammad
dari lidah Adityawarman.

Tetapi kau berkata,
“Mari berakad ulang
sebab syahadatmu
karat dikikis sekarat.”

Engkau tangis seruling yang rindu pulang
ke pangkuan rumpun bambu.
Engkau buih gelombang yang ingin kembali
ke luas samudra.
Engkau kematian yang haus anggur
cawan kehidupan.
Ingsun Allah!”

Prabu Sat Mata,
ajari kami kawruh hulul
agar Ia yang tak kasat

lebih dekat ketimbang urat.

Syekh Wali Lanang Sejati,
pinjami tubuh kabutmu
agar kami berikrar,
“Nguripku manunggaling kawula-Gusti.”

Kau pun melayang
dan di awang-awang
ada gema lantang:

Fana fil fana.
Sirnaning kawula-Gusti.

Lalu segalanya menjadi itu.
Segala-Nya menjadi “Itu”.

2022

Wirid Mestika Embun Dua Belas Nabi

Maka, ketika purnama sidi
bulan Ruwah jatuh
di permukaan laila
dan menjadi tajusalatin
ubun-ubun Rajamina,

Raden Marsada berkata,
“Beri aku amar makruf, Syekh,
agar aku eling dan waspada.”

Lalu raja ikan itu bersabda,
“Wiridkanlah Mestika Embun
Dua Belas Nabi, Junjunganku.”

Beri aku bahtera Nuh
agar aku selamat dari banjir air mata.
Beri aku kapak Ibrahim
agar aku penggal ujub di kepala.
Beri aku wajah Yusuf
agar aku cari cacat durja.
Beri aku tukak Ayub
agar aku tilik titik nadir rasa nerima.
Beri aku tongkat Musa
agar aku belah dada dan kucuci noda hati.
Beri aku lidah Harun
agar aku ungkap dosa-dosa ulil amri.
Beri aku suara Daud
agar aku madah ratap kaum fakir.
Beri aku bahasa Sulaiman
agar aku ajar yang tak bakir.
Beri aku harkat Yunus
agar aku sintas di lambung gelap buana.
Beri aku ifah Yahya
agar aku ludah bujuk dunia.
Beri aku ruh Isa
agar aku tiba di cahaya permana.
Beri aku nur Muhammad
agar aku pulang ke rumah idafi
agar aku kembali ke Johar Awal Suci
agar aku tuju ke fitrah-Ku yang azali. 

2022

Raden Ayu Kumbang 

Paman Mancing,
oh, Paman Mancing,
bâdâ kerrang tao ngèjhung.
Dhin Aju Kombang èkèpè‘ kerrang.

Suara itu sayup,
memanggil-manggilku
sebagai tembang sirep siren.

Sampan-sampan berlayar
di segara mambang
dan lagu langut ikan nun
terbang ke lautan bintang.

“Mari singgah sejenak
di kesuwunganku, Paman.”

Seekor kijing mengisapku
dari dasar bahar
lalu kutinggalkan siul kapal
dan kutanggalkan pendar suar.

Di sini, Denayu,
tak kulihat cangkang.
Di sini, Denayu,
kujumpai ranap tak berufuk,
lengang tanpa tepi,
kehampaan nan daiman abada.

Dan di sini, Denayu,
bising semu atas nama-Mu
menjelma kebisuan yang kekal.

2022

Stigmata Batu Gamping

Jemaat Nasrani Madura

Di tanah ini
Aku yang bangkit
dari kubur batu terbaring kembali
sebagai barisan bukit gamping.

Anak-anakmu melubangi
sekujur tubuh-Ku
menjadi stigmata seribu.

(Allah-Ku, Allah-Ku,
mengapa Kau tinggalkan Aku?)

Jasad latif-Ku mikraj
sebab Aku tak kuasa
menanggung jerih silu
arwah buyutmu yang memikul
salib ke puncak waktu.

“Gunung kapurmu, domba-dombaku,
adalah Bukit Golgota,
adalah dosa dolorosa.”

2022

Kutukan Wignyakenanga

Kekasihku tidur di puing istana
yang terbakar.

“Kita perantau, Dinda.”

Tetapi mereka memilih nasib
sebagai ahli waris dunia
yang tak selesai diciptakan
dan pengungsi abadi di atas sejarah
yang tak diam di ingatan.

Sementara kita, Kekasihku,
berkelana di luar waktu

sebab kita tahu manusia
terlahir sebagai tamu.

“Kita hanya numpang makan
di beranda orang.
Kita cuma mampir minum
di seberang sendang.”

2022


Penulis:

Royyan Julian menulis buku puisi Biografi Tubuh Nabi (Basabasi, 2017). Karyanya, Korpus Ovarium menjuarai Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *