Esai
Hidup Itu Mampir ‘Dolanan’

Hidup Itu Mampir ‘Dolanan’

ANDREW Greely (2012) pernah menggemakan kembali suara Shakespeare yang mengatakan bahwa dunia adalah tempat bermain yang diperuntukkan untuk manusia. Hal yang serupa pun diungkapkan Plato berpuluh tahun sebelumnya yang mengatakan bahwa kita boleh membayangkan, bahwa tiap-tiap manusia adalah boneka yang dibuat oleh dewa-dewa, mungkin dibuat sebagai sebuah permainan, atau mungkin permainan yang dibuat dengan sangat serius.

Konsep Plato bahwa manusia adalah boneka yang menjadi alat dan menjalankan peran dalam “permainan” yang telah diskenario Tuhan ini, mirip konsep Jawa dalam wayang. Keberpautan manusia dan  wayang dalam masyarakat Jawa secara gamblang dinyatakan dalam Serat Centini  jilid IX pupuh 598 tembang megatruh bait 3 dan 4; //..”janma tama karya lajem mring pandulu/sasmitaning Hyang Sejati, dalang lan wayang dinunung/pamanggone Hyang mawarni/karya upameng pandulon”/ (Manusia utama membuat pandangan samara yang samar/sebagai pertanda Hyang Sejati, dalang dan wayang memiliki tugas tertentu/menempatkan kehendak Tuhan beraneka ragam/dengan cermin yang terlihat).  //”Kelir jagat gumelar wayang pinanggung/asnapun mahluking widhi/gedebog bantala wegung/blencong padhaninging urip/gamelan gendinging lakon//”(Kelir lambang jagat di atas panggung/beraneka ragam titah tuhan/batang pisang melambangkan bumi/sinar blencong melambangkan cahaya hidup/gamelan melambangkan irama lakon manusia//.

Realitasnya, manusia memang terkait dengan bermain dan permainan, bersentuhan mesra dengan dolan dan dolanan. Maka, Johann Huizinga menasbihkan manusia sebagai homo ludens, manusia yang bermain. Manusia dilahirkan dalam permainan, berperan dalam permainannya dan keberadaannya disuburkan oleh permainan. Huizinga dengan tegas berpendirian bahwa permainan pada akhirnya melahirkan kultur sekaligus menjadi pondasi dan sumber dari kultur dan peradaban.

Permainan dan bermain, dolan dan dolanan; menjadi salah satu unsur yang aktif dalam proses pembentukan kultural masyarakat. Bahkan menjadi salah satu unsur penting dalam membentuk fundamental sikap dalam kehidupan sosial. Permainan dan bermain, dolan dan dolanan memiliki beberapa spirit, salah satunya adalah spirit persaingan. Persaingan yang ada dalam permainan dan pada proses bermain (dolanan) menjadi dorongan sosial yang tak sadar muncul dalam proses kehidupan manusia. Persaingan menjadi tuntutan bawah sadar kehidupan manusia. Yang paling konkret mewujud pada dolanan perang-perangan atau permainan perang. Pada dolanan perang-perangan ada aturan perang, strategi perang, penaklukan, persekutuan, jejaring sosial, rasa menghormati, dan kesadaran mengakui keberadaan lainnya, dibangun atas spirit dan pola-pola permainan dan aturan-aturan dalam dolanan.

Melihat betapa bermain atau dolanan menjadi landasan proses kultural manusia, maka Ruben Alves menggarisbawahi bahwa kultur dan proses pembentukan kultur dapat mudah dimengerti melalui ‘wajah permainan’ (sub specie ludi). Pendapat ini menegaskan tesis Huizinga bahwa kultur dan peradaban manusia dibentuk melalui tahap awal yaitu permainan dan proses bermain yang terus berlanjut sepanjang hidupnya.

Melalui permainan, manusia tak sekedar melahirkan kultur namun melalui permainan dan bermain, manusia dapat mentransendensikan dirinya. Bahkan melalui permainan dan bermain; dolan dan dolanan, manusia dapat melakukan upaya katarsis melupakan aktivitas kehidupan sehari-harinya. Kehidupan manusia yang telah menjadi sarat oleh beban pekerjaan dan target pemenuhan ambisi secara kapital dan ekonomis, dapat dinetralisir melalui dolanan (bermain). Melalui dolanan atau bermain, manusia bisa keluar dari beban kehidupan, dapat membebaskan diri untuk sejenak tidak lagi tunduk pada tuntutan yang ambisius yang memenjarakannya. Melalui bermain atau dolanan, manusia bisa melepaskan jiwanya dari berbagai keterpaksaan. Pendek kata, melalui dolanan, manusia dapat memperoleh kembali  kegembiraan.

Harus digarisbawahi di sini bahwa melalui dolanan manusia memang mampu mentransendensikan realitas hidupnya, namun ini hanya bersifat sementara. Artinya, manusia tidak selamanya dolanan, suatu saat ia harus merelakan dirinya untuk kembali ke realitas kehidupannya. Kesementaraan ini pun mengingatkan bahwa tidak ada satupun keabadian dalam proses kehidupan manusia. Melalui permainan dan dolanan bisa dihikmati kesementaraan.

Bermain atau dolanan memiliki dua oposisi biner. Di satu sisi dolanan adalah proses kebebasan yang bergembira dan di sisi lain, dolanan membutuhkan keseriusan. Manusia harus serius dengan apa yang harus dimainkannya. Namun, serius dalam bermain atau dolanan ini dilandasi bukan karena ketertundukkan dan keterpaksaan melainkan melalui pilihan bebas dan penuh kegembiraan. Maka dolan dan dolanan berbeda dengan bekerja. Manusia bisa dipaksa untuk bekerja tetapi tak mungkin dipaksa untuk dolanan (bermain). Dolanan menyatukan kutub-kutub yang berbeda: kegembiraan dan penderitaan, komedi sekaligus tragedi; yang disebut Plato sebagai Philebos!

Kehidupan global telah mengikis eksistensi manusia yang homo ludens dan menggesernya menjadi sekedar homo economikus. Manusia digencet oleh tuntutan ekonomi dan kapitalis untuk memburu target , ambisi dan profit. Kehidupan manusia ditentukan dan dikendalikan hukum-hukum ekonomi dan kapital. Manusia menjadi sekedar kuda beban bagi tuntutan ekonomi dan kapitalis, sehingga tak lagi menikmati kegembiraan dan kemerdekaannya. Tak ada ruang untuk menikmati kegembiraan, tak ada ruang untuk menikmati aktivitas yang riang. Aktivitas manusia terjebak mengabdi pada tujuan ekonomi: untung atau tidak. Maka yang terjadi, manusia menjadi makhluk yang asing dengan dirinya sendiri sekaligus tak sanggup lagi menikmati ketenangan hidup. Manusia hidupnya menjadi diburu target. Menjadi sekedar alat untuk mencapai hasrat kepenuhan lahiriah, yang boleh jadi menjadikan manusia kaya raya namun miskin secara batiniah, kehilangan kebahagian dan kegembiraan sekaligus kehilangan nilai-nilai kemanusiaan. Yang lebih mengerikan lagi, manusia tak lagi bisa merasa cukup, selalu gelisah dan was-was karena merasa selalu kurang. Tak lagi jadi manusia yang mulia tapi sekedar menyia-nyiakan hidupnya menjadi budak rasio ekonomi dan prinsip untung rugi.

Manusia yang terbelenggu dan diperbudak rasio ekonomi akan terjebak pada kesia-siaan karena memperalat hidupnya untuk mengejar bayang-bayang. Oleh karena itu perlu untuk kembali secara serius untuk menyadari bahwa hidup hanyalah sekedar mampir dolan, hidup sekedar mampir dolanan! Ayo bermain, ayo dolanan untuk memerdekakan jiwa! Sekali lagi: hidup hanya mampir dolanan maka bergembiralah! []


Penulis:

Tjahjono Widarmanto. Lahir di Ngawi, 18 April 1969. Meraih gelar sarjananya di IKIP Surabaya (sekarang UNESA) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, sedangkan studi Pascasarjananya di bidang Linguistik dan Kesusastraan diselesaikan pada tahun 2006, pernah studi di program doktoral Unesa.

Buku puisi terbarunya PERCAKAPAN TAN dan RIWAYAT KULDI PARA PEMUJA SAJAK (2016) menerima anugerah buku hari puisi Indonesia tahun 2016. Bukunya yang terbit terdahulu : PENGANTAR JURNALISTI;Panduan Penulis dan Jurnalis (2016), MARXISME DAN SUMBANGANNYA TERHADAP TEORI SASTRA: Menuju Pengantar Sosiologi Sastra (2014) dan SEJARAH YANG MERAMBAT DI TEMBOK-TEMBOK SEKOLAH (2014), MATA AIR DI KARANG RINDU (buku puisi, 2013) dan MASA DEPAN SASTRA: Mozaik  Telaah dan Pengajaran Sastra (2013), DI PUSAT PUSARAN ANGIN (buku puisi, 1997), KUBUR PENYAIR (buku puisi:2002),  KITAB KELAHIRAN (buku puisI, 2003), NASIONALISME SASTRA (bunga rampai esai, 2011),dan  DRAMA: Pengantar & Penyutradaraannya (2012), UMAYI (buku puisi, 2012).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *