
Puisi Edy Firmansyah
Masih Adakah Hari?
Sebab malam tanpa kabaret
dan lenguh bising terompet
masih adakah hari ini?
Detak jam masih
Mendengkurkan masa lalu yang tidur
di bawah gugur angka pada kalender
Masih adakah yang baru hari ini?
Di bawah langit biru
orang-orang masih mengulang
yang telah jadi usang
bulan logam dan jarum jatuh
gelombang dan bukan gelombang
hanya angin piuh
Apa yang mesti ditawarkan
setelah ini?
Waktu berasap
doa terbakar
api stuk harga-harga
dan kitir pajak
dan penyakit
Masih adakah hari ini?
masih adakah hari?
masih adakah masih?
/2021-2022
Beri Aku Tanda
Beri aku tanda
pada kedip mata
atau tiga kali ketuk di meja
agar aku berhenti mencari cinta
antara bangku tunggu dan nama-nama
yang dipanggil dari toa
Aku ingin mimpi yang lain
agar jernih segala nampak
pada hari berbenah kelak
Tapi siapa mengatur nasib waktu?
ajalku seolah berakhir di cerlang matamu
Selalu kuhidu
aroma coco chanel 5
di mimpi lalu
saat kita bermuka-muka
Apakah akan terus begini jadinya
sampai segalanya tiada;
kita terpaut di sepi segala sepi
di mimpi segala mimpi
Beri aku tanda
tak mau lagi kucari cinta
antara bangku tunggu dan nama-nama
yang dipanggil dari toa
Agar tak terus penuh ini luka
mengoyak dada
/2021
Mabuk Darat
Angin jahat
masuk
dari jendela terbuka
gigil badan
remang siang
lambung terbakar
penumpang naik
penumpang turun
tangis bocah
ditingkap deru mesin Hino
dan alunan dangdut koplo
dari speaker murah bus antar kota
Tinggal beberapa kilometer lagi
bertahanlah! bertahanlah, perut!
sebentar lagi tiba
bus melambat
macet pasar tumpah
bau ikan bau sampah
dan lambungku meledak
isinya berhamburan
ke dalam plastik hitam
bocor
Insomnia
Suara kersik menggaruk dalam kepala
menghela kantuk yang hendak tiba
langkah siapakah berderap di detik Maret pertama?
mengecup diri dalam insomnia
/2022
Tempat Bermain di Belakang Rumah
Lumpur isap
o, lumpur isap
ke mana agar-agarmu lenyap?
ke dasar bumi atau ikut mengeras
bersama gelondongan batang gayam mati
di lancip gigi gergaji?
Kebun menyempit
ditingkap rumah-rumah
kolla mengering kehilangan mata air
tak ada lagi lumut air
rumah asri keluarga mujair
hanya pondasi cakar ayam
mempersempit segala yang dulu lapang
Ke mana lagi kuberenang
dalam limun gembira masa kanakku?
Kurasakan tanah ini makin kehilangan dirinya
mengisap aku ke dinding-dinding rumah gaya eropa
bagai lubang hitam
menghabiskan yang makin habis
rindu, tawa, dan airmata
Hari Naas Seekor Kucing
Seekor kucing
terjatuh ke dalam selokan
Aku membantu mengangkatnya
tubuhnya yang kuning tembaga
jadi seperti tinta cumi-cumi
dua kaki belakangnya remuk
napasnya menderu
mungkin juga merintih
sambil mengutuk mobil yang mencelakainya
mungkin juga berdoa bak pemeluk teguh
Maut serupa bayang-bayang pada jam 12 siang
Kucing itu menyeret tubuhnya
ke bawah pohon salam
menghindari aspal berasap
dan tertidur selamanya
tapat saat dua buah salam jatuh
mengenai tubuhnya
Ketika aku memikirkan kucing
yang mati di bawah pohon salam itu
aku memikirkan kematianku sendiri
Tiba-tiba seekor kecoak salah mendarat
dengan posisi terlentang
tepat di antara sepasang kakiku yang nyeri
karena asam urat
/2020-2022
Sebab Hari Depan Adalah Kemungkinan
Sebab hari depan adalah kemungkinan
orang-orang memasuki hari ini
berjejalan di antara barang-barang impor
dan lonjakan harga cabai dan telor
Orang-orang mencoba keluar dari kepedihan
untuk kembali masuk ke lain kepedihan
Di antara dingin udara
dan keruh alir sungai cangka
seorang perempuan menggoreng pecahan bata
untuk menghibur tangis anaknya yang lapar stadium tiga
Sebab hari depan adalah kemungkinan
orang-orang memasuki hari ini
dengan tangan mengepal di dalam saku
menahan rasa sakit dan marah
tak jua menemu tinju
/2022
Rumus
Sebuah rumus
telah diciptakan manusia
untuk meraba nasib sendiri
yang masih misteri
O, harapan, mengapa pengetahuan
tak pernah sanggup menjawab segala pertanyaan?
/2022
Tapsiun
Pada apalagi kualamatkan
bau karat besi
sepasang rel yang tidur
dan runcing proboscis nyamuk
di ruang tunggu mengantuk
jika stasiun tua itu
berubah jadi rimbun gerobak tidur?
Tak ada lagi gerbong-gerbong tua
beku dan dingin
dalam kepungan sarang laba-laba
tempat aku dulu membagi hasil
curian kenitu
di belakang gudang besi tua
Ingatan menjulur ke jalan-jalan
membangun lampu-lampu buram
bagi stasiun bekas kolonial
Penjajah di mana-mana sama
membangun untuk merusak
mengambil banyak, teramat banyak
bak benalu di pohon-pohon
Pada apalagi kualamatkan
memori stasiun mati
langkah datang, langkah pergi
perayaan bagi darah dan airmata
kehilangan ini
/2022
Penulis:
Edy Firmansyah lahir di Pamekasan, Madura. Menulis esai, cepen, dan puisi. Buku antologi puisi tunggalnya yang pernah terbit, antara lain: Derap Sepatu Hujan (Indie Book Corner, 2011) dan Ciuman Pertama (Penerbit Gardu, 2012). Buku puisi terakhirnya yang bakal terbit berjudul “Ciuman Terakhir”. Beberapa puisinya juga berserakan dalam antologi bersama, juga tersebar di media cetak dan online. Bisa dihubungi via twitter: @semut_nungging dan IG: @edy_firmansyah