Resensi Buku
Yang ‘Sekadar’ Camus

Yang ‘Sekadar’ Camus

Judul : Albert Camus: Tubuh dan Sejarah
Penulis : Goenawan Muhamad
Penerbit : Circa
Terbit : Cetakan Pertama, September 2021
Tebal : 159 hlm
Dimensi : 14,8 x 21 cm
ISBN : 978-623-7624-69-1

Pada masa 1950-an, intelektual dan seniman yang bergiat di Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) disibukan dengan pengembangan tradisi realisme dalam teater seperti di negara-negara Barat. Asrul Sani yang merupakan pelopor melakukan lawatan ke Eropa. Dari sana, ia menulis sepucuk surat yang dimuat dalam sebuah majalah Zenith, tentang apa yang dialaminya. Sekelebat ia menyebut nama Camus, “berbahaya”. Maksudnya, karena tulisannya bagus dan membuat kita terpesona. Sekembalinya dari Eropa, Asrul Sani menerjemahkan karya-karya dari banyak pengarang dunia, termasuk lakon Caligula milik Albert Camus yang kemudian hari membuat nama pengarang ini berseliweran tak asing di telinga pembaca di tanah air.

Asrul Sani telah berjasa. Kini, agaknya Goenawan Mohammad (GM) dengan buku barunya ingin melanjutkan yang Asrul Sani dahulu lakukan. Dan bukan kali pertama GM mengulik pengarang kelahiran Aljazair ini, di Majalah Sastra Horison, November 1988 akan kita temui esai bertajuk Camus dan Orang Indonesia yang ditulis GM. Bisa dikatakan esai itu adalah gagasan padatnya GM atas Camus yang kemudian diurai-urai sehingga menjadi buku berjudul Albert Camus: Tubuh dan Sejarah ini. Buku yang lebih tepatnya menjadikan GM sebagai tameng sekaligus perehab nama Camus dari serangan-serangan cendekiawan sezaman ataupun sesudahnya seperti Jean-Paul Sartre, Simone de Beauvoir, Albert Memmi, Edward Said, Raymond Aron, dan sebagainya. Tulis GM,”yang saya sajikan disini sekadar perkenalan kembali dengan Camus, juga sebuah reevaluasi” (h.12).

Albert Camus, terlahir sebagai pied-noir (koloni Perancis yang hidup di Aljazair) yang miskin dan kesakitan TBC. Kendati demikian, penulis Mite Sisifus ini mampu menampilkan dirinya sebagai sosok yang patut diperhitungkan di kalangan cendekiawan dunia. Camus, alih-alih menganggap kemiskinan adalah nasib malang baginya, justru menjadikannya cahaya gemilang yang menebarkan kekayaan. Paradoks kemiskinan sebagai kekayaan yang tak tergantikan itu kemudian jadi tema sikap hidup dan tulisan Camus (h.27). Tak mengherankan jika kita sering menemukan ekspresi pengalaman Camus dengan tubuh dalam karya-karyanya. Bagi tokoh yang pernah menjadi kiper kesebelasan di tim kampus ini, matahari adalah hartanya, langit biru dan pelukan angin adalah kecintaannya, serta basuhan ombak adalah kebahagiaannya.

“Saya bukan filosof”, katanya. “Saya hanya berbicara tentang hidup yang saya alami” juga “saya berfikir menuruti kata-kata, bukan menuruti ide-ide” tutupnya. Ide-ide ada dari pengentasan nalar. Ide-ide juga mengentaskan ideologi-ideologi yang penuh janji akan “hari nanti” pasti bahagia. Camus tak sepakat dengan itu, apalagi ideologi yang merasa amat yakin tentang masa depan, yang memperdaya dengan menjinjing janji bahwa semuanya akan dibereskan oleh sejarah, seperti kesan yang tersampaikan dari filosof Jerman, Hegel, bahwa sejarah adalah wacana yang mengklaim akan bisa menjelaskan kehidupan manusia seluruhnya – awal, alasan, dan akhirnya – berkat nalar universal. GM dalam hal ini memposisikan dirinya sebagai juru bicara Camus dan mengatakan “ada sikap anti-Hegelian” dan pandangan Camus disini” (h.31). Dan bagi Camus sendiri, cara bermurah hati secara nyata kepada masa depan adalah dengan memberikan semua kepada masa kini. “Ya, aku masa kini” katanya.

Camus bukan seorang pemikir ataupun sastrawan yang setiap hari berpapasan dengan gelora dan keterpojokan dunia ketiga, kecuali hanya beberapa persentuhannya dengan tanah lahirnya, Aljazair. Anugerah Hadiah Nobel Sastra 1957 yang diterimanya dengan rasa bimbang itu menjadi pelengkap bagi cendekiawan dunia lainnya untuk memperhatikan karya-karyanya. Tak jarang bahkan pertanyaan akan keberpihakan Camus sebagai cendekiawan mampir disertai dengan serangan-serangan baik kepada karya ataupun dirinya.

Beauvoir, misalnya, tak kurang pedas cap yang diberikannya ke Camus. Partner Sartre ini menyebut Camus penuh dengan “kepalsuan”. Sikap-sikap Camus baginya menggampangkan orang untuk memadukan perang anti kolonialisme dengan humanisme borjuis. Hal itu juga disepakati oleh Edward Said yang mengatakan “mentalitas kolonial Camus bukan sebagai teman revolusi dan bangsa Arab”.

GM agak berbeda dari dua cendikiawan besar itu. Melihat dari sudut pandang yang berbeda sembari menyelami karya-karya Camus, bagi GM, celaan-celaan itu tak benar sepenuhnya. “Tilikan Said tajam, tapi ada yang melenceng sejak awal. Ia membaca fiksi Camus dari luar. Ia memperlakukannya sebagai salah satu kasus dari yang dipilih sebagai pola sastra Eropa masa imperialisme” (h.74). Dengan begitu, anggapan-anggapan yang muncul dari Said (ataupun lainnya) cenderung menafsir dan menjelaskan keanekaragaman artikulasi yang hidup sebagai fenomena dalam orbit kuasa Eropa.

Antara Said dan Camus sendiri memang terdapat perbedaan mendasar terkait sastra yang “bagus” itu seperti apa. Dalam Reflections on Exile (2000)- nya Said menyebutkan: “Baik sejarah maupun sastra bukanlah pengalaman yang lembam; juga bukan disiplin ilmu yang berada di luar sana untuk dikuasai oleh para profesional dan pakar. Kedua istilah ini dimediasi oleh kesadaran kritis, pikiran pembaca individual ataupun kritikus yang karyanya melihat sejarah dan sastra saling menginformasikan” Jelas bagi Said, sastra itu memotret realitas sejarah yang temporal dan tak bisa terpisah dari kekuasaan yang ada. Camus, melalui GM sebagai juru bicaranya di buku ini berbeda, Camus menganggap sebuah karya sastra yang buruk bila ingin menuangkan seluruh pengalaman sang pengarang dan menjadikan prosanya tersusun beres seperti “sastra penjelasan” (h.76).

Akhirnya, memang semua karya melahirkan tafsirnya masing-masing. Termasuk buku terbaru GM ini yang mencoba menafsirkan ulang Camus, mengenalkan kembali Camus dan karya-karyanya. Camus yang ada dalam buku ini adalah Camus dalam kacamata GM. Tentu pembaca lainnya boleh menggunakan kacamatanya masing-masing baik untuk melihat Camus ataupun melihat Goenawan Mohamad. []


Penulis:

Ahmad Kurnia Sidik. Perantau yang mencoba menulis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *