Cerpen
Bapak Sahabat Murai

Bapak Sahabat Murai

Lelaki paruh baya itu memonyongkan bibir, menciptakan bunyi siulan nyaring, persis seperti yang pernah dia lakukan kala menggoda Ibu sewaktu masih perawan dulu. Bedanya, kali ini bukan Ibu yang dibuat tersipu malu olehnya. Melainkan seekor murai di dalam sangkar. Bulu ekornya nan panjang kebiruan bergoyang-goyang. Kakinya lincah melompat-lompat, mencengkeram jeruji sangkar, lalu kembali bertengger tepat di atas sebuah kayu kecil. Seolah-olah tahu sedang diajak bicara, murai itu menyahut dengan kicaunya.

Kuperhatikan lelaki itu sekali lagi. Kulihat wajahnya yang berhias senyum paripurna. O, aku rasa lelaki itu memang jatuh cinta dengan burung murainya. Pemandangan itu membuatku mantap untuk kembali menarik pedal sepeda, lalu memarkirnya tepat di halaman gubuk.

Masih seperti saat terakhir kali berjumpa, bertukar pandang dengan lelaki paruh baya itu selalu menggetarkan hatiku, menimbulkan canggung yang berujung pada salah tingkah. Segala kalimat yang telah kususun dalam pikiran menguap tanpa sisa, mulutku bungkam. Aku rasa lelaki itu juga merasakan hal yang sama. Buktinya, sejak tadi dia masih diam di tempat. Menatapku bingung, mengacuhkan sejenak murainya yang masih berkicau ria.

“Kau, Win. Mari masuk!” perintahnya tanpa menanggalkan gurat kegugupan dari wajahnya.

“Sudah lama kau tak datang kemari,” sambungnya seraya mengambil posisi duduk di kursi kayu, tangannya mengusap lutut beberapa kali.

Aku mengangguk takzim. Pikiranku masih berputar-putar di labirin yang sama, berusaha menemukan sepenggal kalimat yang telah kulupa—atau lebih tepatnya sengaja kulupa—karena hilang keberanianku untuk mengungkapkannya.

“Bagaimana kabarmu?” lelaki itu kembali membuka percakapan, meski terkesan basa-basi.

Tanpa bertanya pun, dia sudah tahu bagaimana kabarku. Sekarang aku masih duduk di hadapannya, tegap dan tanpa merasa kesakitan, itu tandanya aku baik-baik saja.

“Baik,” jawabku demi menghargai pertanyaan lelaki itu, juga demi melatih bibir agar tak terlalu kaku.

Teras gubuk kembali hening. Lelaki itu tampak meraih puntung rokok di hadapannya, lalu mengisapnya perlahan. Sedetik kemudian, kumpulan asap keluar dari mulutnya. Sudah lama aku tak mencium bau menyesakkan semacam ini, paduan tembakau dan kemenyan yang dibungkus kertas garet. Perlahan, asap menyesakkan itu justru membuatku merasa lebih nyaman berada di dekat lelaki pencinta murai itu.

“Aku pamit. Hari ini Ibu akan bertolak ke kota, aku ikut dengannya,” ujarku lebih santai, meski pada kenyataannya hatiku begitu rapuh.

Lelaki itu menghentikan gerakan tangannya mengisap rokok, tertegun dengan apa yang baru saja kukatakan. Tapi, lekas-lekas dia kembali menguasai diri. Berusaha bersikap biasa saja, meski mimik kesedihan makin kentara di wajahnya.

“Kau bisa menunggu muraiku laku, lumayan nanti keuntungannya bisa untuk tambah-tambah uang saku.” Suara lelaki itu bergetar, membuatku makin tak kuasa bila harus berlama-lama di hadapannya.

“Tidak perlu. Ibu hanya memberiku waktu sebentar untuk pamit padamu. Setelahnya, aku harus pergi.” Aku bangkit dari tempat duduk, lalu mengambil langkah menuju sepeda di halaman.

Tanganku mulai meraih setang sepeda, sedang pantatku telah mencumbu jok sepeda nan sempit. Tampak lelaki itu menatapku begitu lama. Kalau saja keberaniannya lebih besar, pasti dia akan mencegah kepergianku, memohon agar aku tetap tinggal bersamanya. Teringin rasanya aku mengabulkan keinginan yang tak mampu dia ungkapkan itu. Namun, aku juga tak bisa mengabaikan permintaan Ibu. Ibu yang lebih dulu mengajakku untuk tinggal bersama, memberi janji jika suatu hari kehidupanku akan berjalan normal lagi, sebagaimana dulu saat lelaki itu masih menjadi pekerja di perkebunan tebu.

Tak ingin menyiksa perasaan lelaki itu terlalu lama, segera kakiku mengayuh pedal sepeda secepat yang kubisa. Meninggalkan gubuk reyot tempat lelaki pencinta murai itu tinggal. Kutengok sekali lagi ke belakang sebelum tikungan jalan di depan sana benar-benar menelanku. Terlihat lelaki itu melambaikan tangan, lambaian tulus seorang bapak pada anaknya. Seketika mataku basah.

***

Sejak perkebunan tebu milik Haji Wahid tutup, Bapak memang lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah, mengandalkan hidup dengan tabungan yang telah dikumpulkannya setahun belakangan. Katanya, tabungan itu akan dia gunakan untuk menyekolahkanku hingga sarjana. Rencana yang apik. Sayangnya, rencana itu tak berumur panjang. Hari demi hari berlalu, tabungan pun makin tipis saja. Ibu makin sering mengeluh, menanyakan kapan Bapak akan bekerja lagi, berangkat pagi-pagi untuk merawat tebu.

Hingga akhirnya, saat tabungan Bapak hampir menyentuh angka nol, dia memutuskan untuk membeli seekor murai dari kawannya sesama pekerja kebun tebu. Bapak tidak bicara banyak, dia hanya mengatakan ingin menjadi pencinta murai yang sukses. Entah apa maksudnya, aku juga tak begitu mengerti. Apalagi Ibu, melihat hewan bersayap yang disenangi lelaki kebanyakan itu kerap membuat Ibu muntab. Lalu berakhir dengan pertengkaran panjang untuk membuktikan siapa yang lebih benar dari yang paling benar.

“Merantaulah ke kota! Cari uang yang banyak! Lihatlah Kasmin! Sekarang dia sudah jadi mandor!” Ibu berkoar-koar hingga otot lehernya kentara.

Bapak diam, terduduk lesu di pojok teras.

“Marni, jangan berani-berani dengan suami! Kualat kau,” umpat tetangga yang kebetulan lewat depan rumah.

Emosi Ibu meletup-meletup, dimakinya tetangga yang lewat itu tanpa ampun. Dan, tak lama setelah itu, Ibu mengemasi barang-barang miliknya, mengajakku pergi meninggalkan Bapak. Saat itulah, Ibu memberi janji padaku akan hidup yang jauh lebih baik. Tidak ada lagi yang bisa diharapkan dari seorang lelaki pencinta murai, pekerjaannya sehari-hari hanya bersiul ria, mengajak bicara murai yang entah mengerti bahasa manusia atau tidak.

Selepas bercerai dengan Bapak, Ibu hampir tak pernah lagi membicarakan masalah Bapak. Hanya rencana-rencana masa depan di kota yang kerap dia tuturkan padaku. Dan, hari ini juga, aku dan Ibu akan bertolak menjemput masa depan itu. Seorang lelaki kota-yang kutahu adalah calon suami Ibu-telah menjemput kami di terminal.

Dilihat dari penampilannya, lelaki itu sungguh jauh beda dengan Bapak. Jika Bapak lebih kerap mengenakan celana pendeknya, maka lelaki itu lebih memilih celana panjang. Jika Bapak berkumis tebal, bertubuh ringkih, berkulit gelap, maka lelaki itu lain lagi. Perawakannya gagah, kumisnya tipis-mungkin karena terlalu sering dicukur, rambutnya klimis. Bau minyak wangi menguar dari balik kemejanya. Tak bisa dipungkiri, lelaki yang sekarang berdiri di samping Ibu itu lebih mirip jejaka.

Sepanjang perjalanan, tiada henti lelaki itu bercerita padaku dan Ibu. Tentang mantan istrinya yang selingkuh, tentang mertuanya yang gemar menyimpan bahan makanan di bawah dipan hingga busuk, tentang kawannya yang puluhan kali melamar kerja tapi terus saja ditolak. Berbusa-busa mulut lelaki itu kala sampai pada puncak ceritanya. Barulah, ketika taksi yang membawa kami berhenti melaju, lelaki itu mengakhiri ceritanya, turun dari dalam taksi, lalu mengajakku dan Ibu masuk ke dalam rumahnya.

Biar masih berdinding kayu, berlantai semen, berpagar bambu, tapi rumah lelaki itu tampak resik. Satu hal yang begitu menarik perhatianku dan Ibu. Sesuatu yang membuat pikiran kami langsung terlempar pada masa saat kemarahan Ibu meledak-ledak. Saat seekor burung murai numpang tinggal, numpang makan, juga numpang buang air di rumah Bapak.

Di antara lubang-lubang genteng, pada palang rumah yang melintang kukuh, tampak sangkar-sangkar burung digantung berjajar. Masing-masing dari sangkar burung itu berisikan seekor murai, persis seperti milik Bapak. Kicaunya seolah-olah menyambut kedatanganku dan Ibu, memanggil-manggil agar secepatnya masuk ke dalam rumah.

“Burung-burung itu… untuk apa?” tanya Ibu ragu, telunjuknya mengarah pada salah satu sangkar di sana.

“Aku merawatnya, mengajarinya berkicau, lalu menjualnya,” tukas lelaki berambut klimis itu seraya mencangking tas besar milik Ibu ke dalam rumah.

Ibu menatapku beberapa detik, mengembuskan napas panjang, lalu membuntuti langkah lelaki itu. Seharusnya, Ibu tak perlu buru-buru meninggalkan Bapak hanya karena seekor murai. Ada banyak hal yang jauh lebih mahal untuk diperhitungkan ketimbang beras habis, lebaran tanpa baju baru, atau keinginan beli ini-itu. Tapi, biarlah hal ini menjadi urusannya, masalah hati tak banyak orang tahu.

Kicau murai bersahutan makin kencang, memanggil kerinduanku pada Bapak. Entah apa yang tengah dilakukannya di gubuk kecil reyot itu, hanya Tuhan dan murai yang tahu. Aku mengetuk dada sejenak, menyimpan rapat-rapat kerinduanku agar Ibu tiada tahu.(*)


Penulis:

Eva Anastian, lahir pada 6 Juni 2002. Tinggal di sebuah desa di lereng Gunung Sumbing.

1 thought on “Bapak Sahabat Murai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *