Puisi
Puisi Tegar Pratama

Puisi Tegar Pratama

Anggur Kebijaksanaan

: Mahaguru Sukrasarya

Barangkali kematian bukan sewarna minuman
anggur persembahan pemberian para raksasa
kepadamu,
sehingga ketika meneguknya kau tidak seperti merasa
kegelisahan mengalir di tubuhmu.

Tetapi sejernih ucapan putrimu
yang berisi putus asa,
yang menggerakkan mulutmu
untuk mengucap ilmu Sanjiwini.

Sebab kehidupan berwarna anggur
di perutmu,
yang memberanikanmu mati sekaligus
melahirkan seorang lelaki
kecintaan putrimu. 

Sukoharjo, 2022

Sajak Cinta Raja Sentanu

: Dewi Gangga

Wahai, perempuan
yang kepadamu berani kupertaruhkan
segala yang kupunya
siapakah dirimu?

Kuhanyutkan cintaku kepadamu
mengaliri sekujur tubuhmu
kau pun merentangkan tangan
mendekap tubuhku, menjadikannya lautan
dan bermuara di sebuah dermaga
: tempat jangkar diturunkan
oleh pertanyaan-pertanyaan.     

Mengapa cinta juga mengandung maut
dan melahirkan kekecewaan?

Bila kelahiran adalah penebusan kesalahan
mengapa kematian menjadi jalan pintas
melepaskan belenggu kutukan
lewat ketujuh buah cinta kita yang seputih susu
Nandini dan terbenam pada dingin Sungai Gangga?

Bila kematian adalah pembebasan diri
dari kutuk seorang resi
mengapa harus kau kandung
dan lahirkan bayi-bayi kita yang akhirnya
kau benamkan dengan wajah berseri-seri?

Tahukah kau kesepianku
melewati puluhan purnama
tanpa cinta?

Namun aku selalu menantikanmu
meski lakumu mengandung maut
dan ucapmu mengundang kecewa
sebab aku mencintaimu.

Wahai, perempuan
yang kepadamu aku bersetia menunggu
kelak rengkuhlah sekali lagi cintaku
sebab ada anak kedelapan kita
yang merindukan peluk ibu.

Sukoharjo, 2022

Kesendirian Amba di Hastinapura

Bila kejujuran sewarna embun
selayaknyakah rumpun
kata-kata menghadirkan suasana
dingin pada laku seseorang
yang mendengar
pertanyaan atau pernyataan
dari kau yang tertimpa kesialan?

Telah kau berikan hati
pada seorang raja dari Saubala
sebelum sayembara
merenggutnya.

Langkahmu bagai dedaunan
kering tersapu angin
: berserakan mencari tempat berpulang
yang dihuni sebuah jawaban,

Tiap malam kau renungkan
hari-hari yang berlalu
begitu saja
tanpa cinta.

Setiap hari hatimu
seperti tertusuk satu duri
dan kau terus mencari
siapa yang sudi mengobati.

Andai keberuntungan sebentuk kalung,
mungkin kau tak akan terpikir
untuk melepasnya.

Bila kejujuran sedingin mataair
lalu mengapa hangat airmata
kerap mengalir
dari sepasang matamu           
lantaran mendapati kenyataan
tak sejernih kebenaran?

Sukoharjo, 2022

Simalakama

: Raja Pandu

Sepasang kijang yang tengah menari
mesra kau sudahi dengan tancap
anak panah, menyisakan si betina
yang terluka hatinya.

Lenguh panjang kijang
jantan mengutuk
dalam suara seorang resi.

“Kematian akan menjemputmu
ketika kau buka pintu persetubuhan.”

Kau tertegun,
kau pandangi sebuah pohon
dan membayangkannya tanpa daun-daun.

“Beginikah aku akan menjelma
tanpa putra mahkota?” ucapmu selirih
embusan angin yang membawa seekor kijang
pergi meninggalkan pasangannya.

Sukoharjo, 2022

Samsara 

: Maharaja Yayati

Kutuk yang telah terucap
dari mulut seorang resi
seperti anak-anak panah
melesat dari busur
: tak dapat ditarik kembali.

Kau dikutuk
mertuamu menjadi tua renta,
meninggalkan masa mudamu
berlalu begitu saja.

Namun mengapa kau tak rela?

Bila menjadi tua
kau rasakan merenggut kesempatanmu
mereguk kenikmatan duniawi,
bukankah kutukan yang menimpamu ini
tersebab kau diam-diam menikahi
seorang putri tanpa sepengetahuan
istrimu sendiri?

Ke manakah perginya kau
yang tak mengenal kata
kalah itu?

Bila menjadi tua
kau takutkan akan membebani
selama memerintah kerajaan
lalu mengapa putra bungsumu,
yang bersedia menukar
kemudaannya justru menggantikan
tanggung jawabmu sebagai raja?

Di manakah beradanya kau
yang selalu menjalani
ajaran kitab-kitab suci
sastra itu?

Bila menjadi muda
pada kesempatan kedua
kau akhirnya mengembalikan
kemudaan milik putra bungsumu,
bukankah menghindari kutukan
hanya mendatangkan kesia-siaan?

Sukoharjo, 2022

Karma

: Begawan Dharma

Wahai, pewarta keadilan
tidak cukupkah khusyuk
tapa resi itu menjadi
kabar yang menghindarkan
hukuman?

Bukankah tidak adil jika
kata-kata sunyi
dalam teduh semadi
harus menjawab pertanyaan
sebunyi sangkakala
penanda gerbang perang dibuka?

Masih kurangkah diam
dipilihnya sebagai jalan
yang menghindarkan
kesalahpahaman?
Bukankah sudah adil jika
para penyamun itu bersembunyi
sementara pasukan kerajaan mencari?

Setimpalkah lakunya
ketika bocah menyiksa belalang dan lebah
dibalas dengan tancap tombak
seperti para penyamun yang bersalah?

Bukankah kelahiran engkau ke dunia
tersebab kutukannya, yang barangkali
menjadi penebusan atas
keadilan yang engkau wartakan?

Sukoharjo, 2022


Penulis:

Tegar Pratama, lahir di Surakarta. Bergiat di Komunitas Kamar Kata Karanganyar, Jawa Tengah.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *