Esai
Meracau Kesadaran Pembaca Lewat Kisah

Meracau Kesadaran Pembaca Lewat Kisah

Dea Anugrah mengawali novel dengan gaya foreshadowing, teknik serupa yang digunakan Gabriel Garcia Marquez dalam menguraikan karyanya. Melalui teknik Garcia Marquez memberi rasa penasaran tentang apa yang akan terjadi di bab selanjutnya.

Dalam novel Seratus Tahun Kesunyian, misalnya, pembaca dari awal novel sudah diberitahu oleh Gabriel Garcia bahwa Aureliano Buendia akan berdiri di depan regu tembak untuk dilakukan eksekusi mati. Namun, pembaca akan bertanya-tanya mengapa tokoh itu dieksekusi mati.

“Bertahun-tahun kemudian, saat menghadapi regu tembak yang akan mengeksekusinya, Kolonel Aureliano Buendia jadi teringat suatu sore, dulu sekali, ketika diajak ayahnya melihat es.” (Marquez, 2021: 12)

Mirip dengan pengantar Marquez yang foreshadowing. Dea juga memainkan rasa penasaran pembaca tentang peristiwa yang akan terjadi di akhir cerita. Namun, pembaca tidak tahu apa yang terjadi pada bab-bab selanjutnya sebelum kejadian itu terjadi.

‘Cerita ini berakhir di Belinyu, kota paling utara di Pulau Bangka, pada suatu siang di bulan Juni 20xx. Rudi Rodhom dan Kobra berhadap-hadapan di bekas lapangan parkir Bioskop Bintang Fajar.’ (Anugrah, 2022: 1)

Kisah dalam novel secara keseluruhan berpusat pada seorang mahasiswa filsafat yang kagum pada puisi. Rasa kagum pada puisi itu diwujudkan dengan menerbitkan buletin Ahasveros. Di buletin Ahasveros, Soda Api (tokoh narator) membawa pembaca pada pencarian seorang penyair obskur Indonesia bernama Rudi Rodhom.

Masalahnya, tak banyak kabar tentang sosok Rudhi Rodhom. Informasi satu-satunya diperoleh Soda Api dari ensiklopedia susunan orang yang paling ia benci bernama Dea Anugrah (tanpa imbuhan nama e di bagian belakang). Tokoh utama pada novel ini sebenarnya bernama Dea Anugrah, namun karena alasan kebencian dia memakai pseudonim Soda Api.

‘Penulis “ensiklopedia” itu telah menghancurkanku sejak awal. Karena dialah aku menganggap nama asliku, Dea Anugerah (dengan dua huruf e), telah jadi semacam kotoran yang menyumbat pipa-pipa kehidupan, dan kuputuskan untuk menjadi Soda Api’ (Anugrah, 2022: 12)

Rasa penasaran membawa Soda Api pada pencarian Rudi Rodhom ke perkampungan kumuh di ibukota, Jakarta. Soda Api pergi ke Jakarta berbekal pengetahuan samar-samar dari Sunlie Thomas dan kawan karibnya, Bodhi. Di Jakarta Soda Api berjumpa dengan organisasi anti komunis yang misterius.

Soda Api berjumpa dengan tokoh bernama Kobra, yang ternyata anak Rudi Rodhom. Dengan kompleksitas kesadaran cerita di dalam cerita, Soda Api meracuni pembaca dengan pertanyaan soal penyair obskur.

Parodi
Novel karangan Dea Anugrah, menjadi parodi bagi dirinya sendiri. Melalui sosok tokoh utama bernama Soda Api, Dea menyisir (baca: mencibir) kemampuan dirinya menjadi pengarang. Penulis novel ini saya pikir punya akar bercandaan yang cukup luwes, terutama dalam memparodikan diri sendiri dan karya orang lain.

Soda Api mengutuk sosok Dea Anugrah (baca: dirinya sendiri) dengan sebutan Ayam Bangkok. Julukan itu saya duga, sesuai dengan gaya hidup dan caranya menulis yang terkesan banal dan memang cukup serampangan.

‘Di bawah foto ayam itu ada pujian mentereng dari Linda Christanty: “Buku ini menunjukkan penguasaan seni bercerita.” Anjing, mungkin maksudnya seni berkokok. Kupikir lebih baik aku melihat nama orang itu di halaman  depan saja ketimbang gayanya yang sok. Buku itu kubalik dan mataku langsung menemukan pujian lain, kali ini dari Eka Kurniawan, “Dia penulis yang menggembirakan!” Cukimay, buku ini menghancurkan ketenangan tropisku seperti perubahan iklim menghancurkan dunia.’ (Anugrah, 2022: 20)

Dea memparodikan dirinya sendiri. Menertawakan caranya menulis yang mungkin dianggap orang lain sebagai hal yang baru. Dia memunculkan sifat skeptis pada kemampuannya sebagai  pengarang. Dea ragu akan diri sendiri, meski sudah diakui oleh para penulis lain. Keraguan ini disampaikan dengan cara parodi. 

Selain itu, Dea juga bermain parodi untuk penulis dan sastrawan Indonesia. Misalnya yang dituliskan untuk Mahwi Air Tawar “Namanya Mahwi Air Tawar, dan kurasa Mahwi lebih menyukai  celurit ketimbang belati. Tapi, ya, Kobra mewarisi belatinya dari Roy, dan mungkin Roy bukan orang Madura seperti Mahwi. Nah, selain celurit, benda yang kerap disebut-sebut oleh para penyair Madura adalah pohon siwalan. Kukira bagus juga jika suatu hari nanti Mahwi menulis puisi tentang balap motor berhadiah celurit emas di atas trek lahan tandus, di mana pohon-pohon siwalan berjajar di kedua sisi jalannya. (Anugrah, 2022: 45)

Dea membuat Mahwi Air Tawar dan beberapa penulis dari Madura sebagai bahan parodi. Narasi Dea pada Mahwi Air Tawar ini sebagai parodi kepada para penyair Madura tentang kecenderungannya dalam menulis. Dea menggunakan parodi untuk mengekspresikan perasaan puas atas rasa kurang senang melalui intensitas gaya yang dirujuk.

Samar-samar tapi pasti parodi Dea Anugrah sampai puisi-puisi Rendra. Percakapan tokoh Soda Api dengan Bodhi memunculkan percikan kecil puisi-puisi Rendra.

“Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan terlepas dari persoalan kehidupan,” kata Bodhi. Lalu dia tertawa. “Lagi apa, Bung?” katanya. “Biasalah, terberak-berak di kaki Dewi Kesenian,” kataku. (Anugrah, 2022: 21)

Cara parodi yang serampangan dari ingatan dan (mungkin) riwayat bacaan, membuat saya teringat pada dua kumpulan esai Dea Anugrah. Membaca novel ini, rasanya sama seperti membaca kumpulan esai Hidup Begitu Indah dan Hanya itu yang Kita Punya yang dilanjutkan dengan buku keduanya Kenapa Kita Tidak Berdansa.

Penutup Pamungkas
Dea Anugrah cukup canggih dalam meramu kisah di dalam novel Hari Hari yang Mencurigakan. Pengarang novel menawarkan kesadaran abstain pada pembaca. Ia menyelipkan kisah yang secara sadar pembaca akan menganggap semesta novel hanya fiksi yang sengaja diciptakan.

Di bagian akhir, saya rasa pembaca akan geleng-geleng kepala. Dea Anugerah masuk pada kisah sebagai tokoh. Dea mematahkan kesadaran tokoh Soda Api. Dea Anugrah berkata kepada para tokoh bahwa dunianya hanyalah rekaan, tokoh yang terlibat dalam kisah hanyalah ciptaannya. Dia (si pengarang) merupakan tuhan bagi para tokoh rekaannya.

‘Dunia ini dan segala isinya hanya karanganku. Maksudku, benar-benar karanganku.” Kukira otak orang ini telah sepenuhnya terpelintir, dan aku benar-benar tidak bisa meresponsnya. “Lihat,” katanya tiba-tiba. “Pengumuman, pengumuman Rudi Rodhom bangun dan berputar-putar di tempat, kemudian meroda tiga kali ke depan, koprol empat kali ke belakang, melolong seperti anjing, dan kembali pingsan.” Dan semua yang diucapkannya benar-benar terjadi, sesuai urutan, Aku menoleh ke Kobra, dan dia balas menatapku sambil tersenyum. Senyum yang kuduga berarti sudah tahu semua ini’ (Anugrah, 2021: 99)

Metafiksi dalam novel ini menjadi penutup pamungkas karena digunakan penulis pada akhir kisah. Pada adegan saat Dea Anugrah (pengarang) masuk ke dalam cerita memutarbalikkan praduga bahwa kisah ini ditulis berdasar pada dunia nyata. Metafiksi digunakan untuk membentuk kesadaran tokoh fiksi yang sekaligus mengaburkan pembaca untuk menyamakan semesta novel ini dengan realitas (baca: mimesis).

Istilah metafiksi merujuk pada pendapat esais dan penulis novel William H Gas (dalam Alfred Knopf 1971: 5). Metafiksi yang dipahami William H Gas bahwa pengarang memberikan kesadaran karakter dalam novel untuk mendapatkan model kesadaran dalam pemahaman konstruksi subjektivitas di dunia luar novel. Metafiksi merujuk pada tulisan fiksi yang memiliki kesadaran dan kemudian mampu untuk mempertanyakan statusnya. Karya metafiksi secara sadar menempatkan karya sastra di antara kesadaran fiksi dan realitas.

Hal paling mendasar dari sebuah karya metafiksi adalah membuat fiksi dan sekaligus memberikan pernyataan tentang pembuatan fiksi tersebut (Waugh,Patricia 1984: 11). Penggunaan metafiksi semacam ini bukan hal baru di jagat kesusastraan Indonesia.

Sebelumnya, karya Mahfud Ikhwan berjudul Anwar Tohar Mencari Mati dan Faisal Oddang dalam novel Raymond Carver Terkubur Mie Instan di Iowa. Metafiksi yang digunakan Dea berbeda dengan gaya Mahfud Ikhwan atau Faisal Oddang.

Bandingkan misalnya, karya Mahfud Ikhwan berjudul Dawuk. Metafiksi dalam novel itu terjadi saat tokoh bernama Mustofa, seorang wartawan dalam kisah itu membuat kisah Warto. Kisah itu menjadi Cerita Bersambung berjudul “Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu” yang muncul teratur setiap minggu di koran tempatnya bekerja.

Baiklah. Seluruh dunia tampaknya sedang bersekongkol untuk memunggungiku, membiarkan pertanyaan-pertanyaanku jadi kebingungan, bahkan mungkin bertepuk tangan karena dugaan-dugaanku saling bertabrakan. Tapi sudah kuteguhkan, apa yang diceritakan Warto Kemplung tak boleh aku simpan sendiri. Ini harus dibagi. (Ikhwan, 2017: 176)

Penggunaan gaya metafiksi Mahfud Ikhwan membuat pembaca merasa lebih dekat dengan tokoh, sekaligus turut terlibat dalam kisah itu. Sementara itu, metafiksi yang digunakan Faisal Oddang dalam novel Raymond Carver Terkubur Mie Instan di Iowa menggunakan sudut pandang orang kedua ‘kamu’ dengan tokoh utama seolah mengajukan keraguan pada pembaca.

Tokoh ‘kamu’ merupakan pengarang novel yang tengah menyiapkan draft untuk diterbitkan dengan tokoh utama bernama Clevie. Clevie pada suatu waktu hadir di dunia nyata dengan mengajukan kerancuan kritis pada si penulis kisahnya. Metafiksi dalam Raymond Carver Terjebak Mie Instan di Iowa diungkapkan Faisal Oddang dengan melalui tokoh bernama Ray. Ray adalah nama julukan dari Raymond Carver yang sebenarnya sudah meninggal dunia. Faisal Oddang menghadirkan Ray sebagai asumsi keraguan pada pembaca bahwa dirinya tidak benar-benar meninggal.

“Bagimu, menentukan Clevie sebagai nama saya sesederhana karena kamu menyukai Raymond Carver-kamu bahkan tidak peduli bahwa ada nama lain, yang diberikan kehidupan lain, yang menjadi identitas saya di kehidupan sebelumnya, yang jauh lebih saya sukai sebelum kamu datang dan seenaknya mengubah nama itu. Kamu sialan, bukan?” (Oddang, 2019: 109)

 Metafiksi dari novel Faisal Oddang menyudutkan pembaca sebagai tokoh dalam cerita karena pilihan kata Kamu yang digunakan sebagai tokoh utama (narator). Pembaca bukan hanya terlibat, tapi menjadi bagian dari karya fiksi itu sendiri.

Novel Hari-Hari yang Mencurigakan menggunakan metafiksi sebagai ledakan di akhir (penutup pamungkas). Penutup dari Dea Anugrah akan membuat pembaca berkesimpulan jika novel ini benar-benar memetafiksikan diri. Menyentil kesadaran seorang pembaca bahwa tokoh-tokoh yang terlibat dalam cerita hanya kalangan seorang Dea Anugrah, tanpa bermaksud melibatkan pembaca dalam cerita.

Kehadiran narator sebagai tokoh cerita dalam Hari Hari yang Mencurigakan bukan saja membuat pembaca merasa pengarang menjadi Tuhan bagi tokoh rekaannya, tetapi juga membuat pembaca percaya bahwa tokoh Soda Api, Bodhi, Sunlie, dan sederet nama yang dicatut pengarang dalam novel ini hanya fiksi.

“Jadi Maksudmu, kau ini Tuhan bagiku, bagi Kobra, mama Wulan, Wahyu, Rudi Rodhom, dan seisi dunia ini? Pwah. Egomaniak keparat. Semoga besok ada landak keluar dari hidungmu”, kataku.

Rasa kesal tokoh Soda Api akan sama persis dengan para pembaca novel Hari-Hari yang Mencurigakan. Ketika di awal pembaca menduga sentilan parodi itu terjadi di dunia nyata. Maka, praduga pembaca akan mentah seiring dengan berakhirnya kisah di novel ini.[]

Referensi:

Anugrah, Dea. Hari-Hari yang Mencurigakan. Tangerang: Marjin Kiri, 2022.
– – – – – – – . Hidup Begitu Indah dan Hanya Itu yang Kita Punya. Yogyakarta: Shira Media, 2021
– – – – – – – – . Kenapa Kita Tidak Berdansa?.  Yogyakarta: Shira Media, 2021.
– – – – – – – -. Misa Arwah. Yogyakarta: Shira Media, 2019.
Camus, Albert. The Close Sea By. Terjemahan Dias P dan Doni Ahmadi. Malang: Pelangi Sastra, 2019.
Currie, Mark.  Metafiction. New York: Routledge, 2013.
Ikhwan, Mahfud. Dawuk: Kisah Kelabu dari Rumbuk Randu. Serpong: Marjin Kiri, 2017.
Oddang, F. Raymond Carver Terkubur Mie Instan di Iowa. Jakarta: Gramedia, 2021.
Márquez, Gabriel García. Seratus Tahun Kesunyian. Terjemahan Djokolelono. Jakarta: Kompas Gramedia, 2018.
Utami, Ayu. Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008.
Waugh, Patricia. Metafiction: The Theory and Practice of Self-Conscious Fiction. London & New York: Routledge, 1984.


Penulis:

Dani Alifian, kelahiran Situbondo 1999. Saat ini aktif menjadi mahasiswa akhir di jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang. Menulis esai sastra, dan puisi di beberapa media. Juara 2 Festival Puisi Mahasiswa Nasional HMJ Universitas Negeri Malang; Juara Favorit Lomba Cipta Puisi Nasional Festival Seni Budaya dan Sastra Universitas Brawijaya Malang. Dapat disapa melalui Instagram @dani_alifian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *