Cerpen
Sejumlah Jawaban Tentang Cinta

Sejumlah Jawaban Tentang Cinta

#1 Interogasi

DI hadapan petugas keamanan yang sibuk mengetik—ada yang berdiri dan beberapa duduk di balik mejanya masing-masing—perempuan itu meneteskan sebutir air mata. Dia tahu dan sadar betul kesalahannya. Namun, dia tidak takut sama sekali, hanya sesal mendera hebat dadanya.

“Jadi, apa alasan Anda mencuri, Bu?” tanya polisi muda itu. “Ini cukup aneh. Anda tidak mencuri barang-barang yang punya nilai tinggi, lho. Anda malah mencuri bahan-bahan makanan yang mau kedaluwarsa.”

Perempuan itu semula diam. Tidak tertarik menjawab pertanyaan yang diajukan polisi itu. Namun, dia tidak kuasa bisa bertahan. Semakin dia membisu, keadaannya akan sangat buruk.

“Saya pilih makanan dan obat-obatan yang hampir kedaluwarsa karena saya pikir pemilik rumah itu tidak memakannya lagi. Mereka akan membuangnya. Karena sudah tidak sehat,” perempuan itu mulai menjelaskan. “Anak-anak saya kelaparan, Pak. Saya tidak punya uang untuk membelinya. Keluarga kami tidak mendapat jatah bantuan pemerintah. Salah satu anak saya demam hebat sampai tidak bisa mencium bau apa saja. Saya takut dia dibawa pergi jauh, diisolasi seperti orang-orang. Saya tidak mau kehilangan anak saya, Pak. Saya pun terpaksa mencuri, agar mereka bisa makan dan lekas sembuh.”

 Semua petugas keamanan yang berada di ruangan itu terdiam. Mereka saling menatap. Sementara perempuan itu menunduk dan mulai terisak. Dia semakin menyesal dan bertambah cemas pada nasib anak-anaknya. Hingga salah seorang polisi mengajukan satu pertanyaan lagi.

“Bersama siapa Anda melakukan ini, Bu?”

“Sendirian, Pak. Saya tidak mengajak siapa pun. Saya melarang anak-anak saya ikut,” dia menjawab dengan suara agak serak dan meneruskan ucapannya. “Suami saya belum lama meninggal. Petugas kesehatan mengatakan bahwa dia terpapar virus. Jika dia masih ada, pasti dia melarang keras saya berbuat ini. Dia akan kecewa saya hidup sebagai pencuri.”

Semakin tidak tertahan, akhirnya air matanya pun mengalir lebih deras. Perempuan itu minta maaf berulang kali. Dia sadar akan mendekam di penjara dan hidup anaknya pasti jauh lebih sengsara.

Salah seorang polisi yang terenyuh menghampiri perempuan itu. Ditepuk pelan pundaknya sambil berkata, “Tenang, Bu. Kami akan membantu Ibu menyelesaikan ini. Semuanya akan baik-baik saja.”

***

#2 Puisi

Dia menatap grafik denyut jantung istrinya di elektrokardiograf. Stabil. Lalu dia beralih memandang wajah perempuan yang sudah dua bulan tertidur itu. Terlihat semakin cantik. Membuat dia bertambah rindu masa-masa pertama kali bersitatap dengan sepasang mata indah yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan itu.

Angela, istrinya, koma setelah mengalami cedera berat pada kepalanya usai kecelakaan. Dia menyesal sekali. Rasanya ingin menembak kepalanya sendiri saat menyaksikan langsung tubuh istrinya terpental dan kepalanya menghantam bahu jalan lebih dulu.

Dia seharusnya tidak menyuruh Angela pergi ke toko seberang seorang diri. Namun dia juga tidak tahu kalau takdir akan berkata lain.

Hari itu adalah Minggu sore yang cerah. Dia bersama istri dan anak perempuannya yang masih berumur tiga tahun sengaja pulang jalan kaki bersama usai menutup toko buku milik istrinya. Perempuan kesayangannya itu sangat suka membaca dan ingin mewujudkan cita-citanya sebagai penulis. Akan tetapi, dia lagi-lagi tidak bisa memaafkan dirinya. Hari itu dia meruntuhkan seluruh harapan istrinya dengan meminta perempuan itu membeli sesuatu di toserba yang berdiri persis di depan toko bukunya. Dan hanya dalam beberapa detik saja peristiwa itu pun terjadi. Sebuah mobil yang melaju langsung menabrak Angela.

Dia tidak tahan bila mengingat itu. Kepalanya terasa sangat sakit. Bahkan setelah dua bulan berlalu pun suara hantaman mobil ke tubuh Angela masih terdengar di telinganya, berkali-kali. Kalau sudah begitu dia pasti akan menangis sendirian. Tidak mengizinkan siapapun melihat tangisnya. Termasuk putri kecilnya yang kini harus dititipkan kepada ibu mertuanya.

“Selamat pagi, Tuan Bob.” Tiba-tiba terdengar sapaan yang memecah renungannya.

Ternyata Dokter Sasha. Dokter yang menangani perawatan istrinya. Dia membalas sapa Dokter Sasha seraya tersenyum. Berusaha mengembalikan suasana hatinya.

“Dia tampak lebih baik hari ini. Tubuhnya tidak mengalami gangguan apa pun. Semoga dia lekas pulih.” Dokter Sasha memberitahu keadaan Angela kepadanya. Dan dia bisa sedikit menarik napas lega. “Karena Angela harus melihat langsung lelaki setia yang selalu duduk di sampingnya.” Dokter Sasha buru-buru menambahkan sambil tersenyum dan berpindah tempat.

“Terima kasih, Dokter.” Dia mengangguk lalu melanjutkan ucapannya. “Angela suka puisi. Sangat suka. Kemarin saya melihat puisi-puisinya di laptop. Dia sungguh ingin jadi penulis terkenal. Sebagai penggemar berat Maya Angelou.”

“Wah, luar biasa,” balas Dokter Sasha. “Kalau begitu dia harus lekas bangun dan menulis lagi. Karena saya pun harus segera membaca buku puisi karangannya.”

Kemudian dia dan Dokter Sasha beradu pandang untuk beberapa jenak. Dia tahu sang dokter sedang berusaha menguatkan. Dan ketika Dokter Sasha mengedikkan kepalanya sebagai tanda izin keluar dari ruangan, dia buru-buru berkata, “aku menulis satu untuknya. Mungkin Anda mau mendengar saya membacakannya.”

“Oh,” Dokter Sasha membulatkan bibirnya sambil mengatupkan kedua tangannya di dada. “Tentu saja, Tuan Bob.”

Lalu dia mengeluarkan secarik kertas putih dari saku celananya. Sembari menarik napas dan mengembuskannya perlahan, dia menggenggam lembut tangan istrinya.

“Hari ini aku ingin menikahimu lagi. Tapi maaf, aku lupa tidak membawa bunga-bunga. Aku hanya membawa diriku dan seluruh perasaan yang mekar di dadaku. Ruangan ini seperti gereja. Aku gugup sekali menantimu dari balik pintu itu. Tapi kau sungguh membuat aku tak tahan. Sebab kau yang cantik bergaun putih, ialah keindahan yang nyata dari sebuah puisi.”

Dia mengakhiri pembacaan puisi pendeknya dengan mencium punggung tangan Angela. Sementara Dokter Sasha mengusap pelan bulir air mata yang menetes di pipinya.

***

#3 Punggung

Leo mengayuh sepedanya lebih cepat. Dia agak kelelahan meski jarak tempuh sebenarnya terbilang cukup dekat. Hanya dua kilometer saja.

Namun karena dia baru saja pulang sekolah, dan hanya singgah sesaat di rumahnya untuk pamit kepada ibunya lalu pergi lagi, jadi tenaganya lumayan terkuras. Beruntung dia sampai di tempat tujuan tepat waktu walau keringat mulai mengucur deras di sekitar wajahnya.

“Syukurlah, kau belum pergi.” Leo turun dari sepedanya dan berlari kecil ke arah sekelompok orang berpakaian rapi yang sedang bersiap-siap melakukan perjalanan jauh dengan beberapa mobil, tepat di depan sebuah gerbang rumah besar bertingkat dua.

“Aku tidak akan pernah pergi sebelum melihatmu.” Seorang anak laki-laki yang seumuran menghampiri Leo dengan raut gembira.

“Berapa lama?” tanya Leo kepada anak itu.

“Aku tidak akan kembali, Le.” Anak itu menunduk, wajahnya langsung murung. “Aku sedih kita harus berpisah. Kupikir perpisahan hanya akan terjadi di buku-buku cerita atau di film-film persahabatan. Tapi ternyata itu benar-benar terjadi pada kita.”

“Aku pasti akan sangat rindu padamu, Za.” Leo tersenyum getir. “Aku akan kehilangan momen penting. Menghabiskan kue-kuemu pada hari lebaran.”

“Astaga, cuma itu yang kau ingat?” Anak itu tersenyum lebar dan memukul kepala Leo dengan perasaan sedih. Tapi ia tahu itu adalah usaha Leo menghiburnya. “Aku juga, Le. Pasti sangat rindu padamu. Tapi aku janji akan mengirim kado untukmu di Hari Natal. Asal kau tidak pindah rumah.”

“Terima kasih, Harizan. Anggap saja aku sudah menerima kadomu.” Leo berpura-pura mengangkat kedua tangannya seolah sedang membawa sebuah kotak besar berpita merah. Membuat mereka terbahak bersama. Lalu Leo berkata lagi. “Za, aku tidak memaksamu untuk selalu mengingat persahabatan kita sampai kelas 5 ini. Toh, kita akan sama-sama menemukan jalan cerita yang baru. Hanya saja di tempat yang berbeda. Tapi, kau akan selalu jadi teman terbaik pada masa kecilku.”

Tak kuasa mendengar ucapan Leo, anak itu pun berhambur dan memeluknya erat sekali. Lalu tanpa sadar keduanya sama-sama meneteskan air mata bahagia yang menyedihkan.

“Sekarang, pergilah. Semoga selamat sampai tujuan. Dan biarkan aku tetap memandang punggungmu sampai jauh. Jangan menoleh. Sama seperti saat kau melihat punggungku ketika ujian. Di punggungku selalu ada seluruh jawaban soal ujian, bukan?” kata Leo lagi, tertawa sedih sambil mengusap matanya yang basah. “Sahabat sejati pasti akan bertemu lagi.”

Kemudian anak itu menyusul kedua orang tuanya. Masuk ke mobil dan bergerak menjauh. Sampai akhirnya semua mobil yang terlihat pun menghilang di tikungan. Meninggalkan Leo sendirian, yang ketika dia berusaha melapangkan dadanya lagi dengan meraih sepedanya, dia teringat sesuatu. Seharusnya dia memberikan sebuah hadiah yang telah dia bungkus di dalam saku celananya, kepada sahabat terbaiknya itu. Namun dia malah melupakannya dan larut dalam kesedihan.

Seraya menepuk dahinya sendiri, dia berkata, “pasti ada alasan kenapa aku lupa memberikan ini kepadanya. Mungkin jawabannya ada di masa depan. Ya, barangkali begitu.”

Lalu dia mengayuh lagi sepedanya. Menghibur diri sambil bernyanyi sebuah lagu tentang persahabatan.

***

#4 Surat

Sejak setahun yang lalu, tiap dua minggu sekali, pada hari Senin biasanya, dia akan pergi ke kantor pos. Mengirimkan sepucuk surat untuk seseorang.

Dan hari ini adalah hari yang dia tunggu itu. Hari yang cukup sibuk.

Pria tua berumur 89 tahun bernama Alan Wijaya itu selalu bersemangat mengunjungi kantor pos yang hanya berjarak kurang satu kilometer dari rumahnya. Dia akan melangkah pelan-pelan dan menolak setiap pengendara yang menawarkan diri untuk mengantarkannya ke tempat tersebut. Alasannya sederhana namun menggunggah. Dia ingin hidup sehat dan tidak mau bermanja-manja dengan naik kendaraan. Terlebih kalau jarak tempuhnya dekat. Toh, katanya, dia jadi teringat masa-masa penjajahan dulu yang mengharuskannya jalan kaki sampai jauh, hingga momen itu pun akhirnya bisa mempertemukan dia dengan seorang perempuan cantik baik hati yang kemudian menjadi istri setia untuknya.

“Selamat pagi, selamat datang, Pak.” Sambut petugas kantor pos seraya tersenyum, yang tampaknya sudah kenal betul jadwal pria tua itu mengunjungi kantor pos. “Hari ini ada surat lagi yang mau dikirim?”

“Tentu saja,” dia menjawab sambil mengeluarkan amplop yang terlipat rapi dari saku kemejanya. “Hari ini aku menulis agak panjang. Semoga kalian tidak bosan ya mengirimkannya untukku.”

“Dengan senang hati, Pak Alan.” Petugas kantor pos itu menerima suratnya sambil menatap lekat ke wajah pria tua itu. Sepertinya ia merasa iba dan jadi teringat kedua orang tuanya di kampung. Hanya saja ia tahu betul kalau pria tua yang gemar mengirim surat itu tidak memiliki anak dan sanak saudara di kota ini. Dia sebatang kara. Bahkan, istrinya pun sudah meninggal satu tahun yang lalu. Kadang terlintas di kepalanya, kenapa masih ada orang yang mau mengirim surat pada saat ini. Masa di mana orang bisa berkabar dengan cepat. Namun ia tak butuh waktu lama untuk tahu jawabannya, sejak pertama kali ia mengirimkan surat pesanan pria tua itu ke alamat yang dituju.

Kemudian usai menyerahkan suratnya kepada petugas kantor pos, dia pulang dengan hati riang dan tak sabar menunggu balasan surat itu beberapa  hari lagi. Biasanya sembari menunggu dia akan merawat bunga-bunga peninggalan istrinya dan mengundang tetangga dekatnya untuk makan bersama tiap hari Kamis. Bahkan, para tetangga pun sudah sangat paham bagaimana dia menjalani hidupnya sehari-hari. Meski mengandalkan hidup hanya dari uang pensiun yang diterimanya setiap bulan, dia merasa perlu tetap berbagi pada orang-orang. Tetangga ataupun anak-anak yang kurang mampu. Dengan begitu dia tidak begitu merasa kesepian.

Hingga hari yang dinantikannya pun tiba. Hari Jumat biasanya petugas kantor pos akan muncul dari pintu pagar rumahnya.

Dan benar saja, baru duduk sekitar lima menit di beranda, petugas itu sudah berjalan masuk.

“Wah, terima kasih banyak Pak Pos yang baik. Sudah membawa surat ini untuk saya. Mari duduk sebentar.” Dia menyambut petugas itu dengan sangat ramah.

“Dengan senang hati, Pak Alan.”

Petugas itu pun duduk di sebelahnya.  Melihat dia membaca dulu alamat yang ditulis pada bagian depan amplop, lalu tersenyum dan mengangguk-anggukan kepalanya.

“Berapa usiamu, Pak Pos?” tiba-tiba dia bertanya.

“28 tahun, Pak.”

“Masih sangat muda. Apa Anda suka menulis surat?”

“Dulu sangat suka, Pak. Tapi sekarang saya butuh informasi lebih cepat. Jadi saya menggunakan ponsel.” Petugas pos itu menjawab pertanyaannya. “Tapi saya ingin seperti Anda. Tidak pernah lelah menulis surat untuk seseorang. Istri Anda adalah orang yang bahagia memiliki Anda, Pak.”

Dia lagi-lagi tersenyum. Telihat sekali sepasang matanya memancarkan kilau kebahagiaan dibalut rindu yang dalam, dan  repih kesedihan berguguran ketika ingatannya tertuju pada mendiang istrinya.

“Barangkali nanti Anda mau menulis surat untuk saya, Pak,” kata petugas kantor pos lagi, ketika melihat pria tua bernama Alan Wijaya itu mulai membuka amplop surat yang sebenarnya itu adalah suratnya sendiri yang dikirim tiap dua minggu sekali, pada hari Senin. Surat yang dia tulis untuk istrinya pada alamat yang sama.

“Dengan senang hati, Pak Pos. Berikan aku alamatmu.”(*)


Penulis:

M.z. Billal lahir di Lirik, Indragiri Hulu, Riau. Menulis cerpen, cerita anak, dan puisi. Karyanya termakhtub dalam beberapa kumpulan puisi Bandara dan Laba-laba (2019, Dinas Kebudayaan Provinsi Bali), Antologi Rantau Komunitas Negeri Poci (2020)), Antologi Sebuah Usaha Memeluk Kedamaian (2021) dan telah tersebar di berbagai media seperti Pikiran Rakyat, Haluan Padang, Riau Pos, Fajar Makassar, Kedaulatan Rakyat, Radar Malang, Bangka Pos, ide.ide.id, biem.co, magrib.id, bacapetra.co dll. Fiasko (2018, AT Press) adalah novel pertamanya. Bergabung dengan Community Pena Terbang (COMPETER) dan Kelas Puisi Alit

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *