Cerpen
Lelaki Tua yang Mati di Kota Abadi

Lelaki Tua yang Mati di Kota Abadi

Seorang lelaki tua mati menyedihkan. Ia tergeletak di jalan utama kota pusat pemerintahan, meringkuk seorang diri dengan luka dan borok menjijikkan. Namun, betapapun kematiaannya menyedihkan, bagi penduduk kota itu merupakan anugerah. Setiap orang iri melihatnya, dan mereka sangat ingin merasai atau bertukar kehidupan-kematian dengan lelaki tua yang mati itu.

Tubuhnya kurus kering belaka. Tubuhnya serupa tulang-belulang dibalut daging tipis dan borok luka memenuhi sekujur tubuhnya. Anyir busuk menguar hingga ke seluruh penjuru kota. Kegiatan kota itu berhenti demi melihat seorang lelaki yang mati menyedihkan itu. Diam-diam mereka ingin mati seperti itu. Ini adalah pertama kalinya dalam seratus tahun seseorang mati.

Betapa keabadian telah menjadi suatu kejenuhan. Kota itu, tepatnya negara itu, telah mampu membuat seluruh penduduk kotanya abadi. Tubuh mereka berhenti menua pada usia tiga puluh, dan seluruh penduduk kota tidak tampak tua. Jika kau datang ke kota itu, maka kau tidak bisa membedakan umur seseorang dari wajahnya. Mereka tidak bisa mati, bahkan dengan cara bunuh diri sekalipun.

Tentu saja kehadiran orang tua itu mengundang media-media besar di kota itu untuk meliputnya. Telah lama mereka tak melihat wajah yang menua. Dan ia mati dalam damai, meski tubuhnya dikerubungi lalat dan menggeluarkan belatung.

Karena tidak ada yang mengenalnya, maka jasad lelaki itu tidak ada yang segera mengurus. Kepolisian telah datang, dan ia telah memeriksa sekujur tubuh lelaki tua itu, dan tidak ditemukan identitas. Maka mereka membawa ke rumah sakit. Dokter-dokter membicarakannya, dan mereka yakin jika lelaki tua itu tidak berasal dari kota ini. Sangat mustahil seseoramg mengalami kematian di kota ini.

Ada di antara penduduk kota itu yang berusia ratusan tahun, wajahnya masih tampak tiga puluhan belaka. Mereka membaur bersama cucu-cucu mereka. Setiap orang yang lewat, tidak berani menyapa, karena takut salah menyapa, umur seseorang tidak ada yang tahu.

Jumlah kelahiran sangat padat, menjadikan ruang kota itu semakin sempit. Dulu, kota itu merupakan lembah yang sangat hijau dengan sungai jernih yang mengalir di sisi bukit. Namun, setelah seorang penemu menemukan kota itu dan menjadikan kota impian bagi semua orang, di mana matahari terbit dan terbenam menjadi sangat indah, semua orang berdatangan untuk hidup di lembah itu.

Penemu kota itu, yang juga merupakan penemu zat keabadian bagi tubuh manusia, menjanjikan keindahan kehidupan bagi mereka yang mau membeli tanah di lembah itu. Maka ia yang awalnya bukan pemilik, dan kini memilikinya, lembah dan bukit itu, ia jual dengan harga semena-mena.

Mereka telah sumpek dengan kehidupan kota yang dipenuhi rentetan klakson, sedikit demi sedikit tanah lembah itu terjual. Hingga akhirnya seluruh hutan dibabat dan menjelma kota kecil yang kembali panas. Matahari terbit dan terbenam tak lagi tampak indah, sebaliknya, tampak sedemikian buruk. Kota lembah itu menjadi pemukiman yang sangat padat, industri rumahan bermunculan. Kios-kios bertebaran. Terik menyengat, dan entah ke mana perginya hewan-hewan liar.

Industri rumah itu, mulai mengalirkan limbahnya ke sungai. Awalnya hanya satu rumah. Lama-lama semakin banyak, menjadikan air yang semula bening menjadi keruh dan ikan-ikan di dalamnya mati. Manusia-manusia tak dikenal datang. Mereka dengan diam-diam masuk ke dalam rumah si penemu, menemukan zat keabadian dalam bentuk pil, dan menyelinap keluar tanpa seorang pun tahu. Si pencuri membagikan zat-zat itu kepada teman-temannya. Oh, betapa si penemu menangis tersedu-sedu. Meski ia memiliki rekening gemuk, sesungguhnya teramat kesepian.

Di kota ini, seharusnya ia tak menjual tanah dan lembah. Seharusnya ia hidup tenang sendiri di sana, tanpa seorang pun mengusik. Melihat matahari terbit dan terbenam di balik bukit yang jauh. Sepanjang mata memandang yang tampak hamparan hijau belaka. Namun, yang tersisa baginya hanya udara yang sedemikian panas, meski ia telah menyetel suhu paling rendah pada pendingin ruangan.

Orang-orang yang tak bisa mati itu melakukan perampokan dan pemerkosaan. Kota yang semula damai, tiba-tiba ricuh. Maka si penemu kebingungan. Ia pun membentuk pemerintahan kecil-kecilan. Terbentuklah parlemen dan penegak hukum.

Namun gadis-gadis yang diperkosa tak lagi berani keluar rumah, bersekolah, bekerja karena beban jiwa. Gadis-gadis mencoba menggantung diri, dan mereka tidak mati. Betapa pun mereka berusaha. Salah seorang dari perempuan yang diperkosa, mencoba melompat dari gedung tertinggi di kota, dan ia tidak mati. Ia hanya menderita luka yang sedemikian parah. Kaki dan tangannya patah, tetapi tetap hidup.

Betapa si pencuri terkekeh melihat itu semua. Zat keabadian yang ia makan merupakan anugerah. Ia bisa melakukan hal yang ia mau. Sementara orang-orang yang terlanjur menanggung malu, seumur hidupnya selalu dihantui malu dan perasaan lain yang mengguncang.

Satu persatu penduduk kota yang menjadi pencuri, penjarah, dan pemerkosa itu pun tertangkap. Mereka tak diadili. Betapapun para polisi menembaknya, tubuh mereka yang sudah menderita sedemikian parah tetap tak mati. Penegak keamanan itu memang berhasil membuat mereka menderita, hanya itulah yang bisa mereka lakukan.

Gelombang gelap terus berdatangan. Diam-diam, menyelinap dalam malam. Mereka membentuk pemukiman sendiri di pinggir kota yang dulunya merupakan tempat terindah matahari terbit dan terbenam. Kini tempat itu telah menjadi bukit baru, bukit pembuangan sampah. Di mana-mana hanya tercium aroma busuk. Dan si pencuri yang bisa berkomunikasi dengan dunia luar berbahagia mendengar gelombang kedatangan orang-orang yang hidupnya menyedihkan. Konon mereka telah mengembara sepanjang waktu, mencari tempat atau kota yang bisa menerima mereka.

Hari semakian sibuk dan kota sedemikian padat. Para pemulung yang menjadi kawanan si pencuri, berhasil mendapatkan zat keabadian. Kebanyakan dari mereka telah berusia renta. Mereka tetap menua sebagaimana usia mereka. Namun, keadaan mereka tetap menyedihkan. Mereka yang mendatangi kota itu demi keabadian, malah membuat diri mereka tersiksa. Mereka meringkuk dalam sakit yang tak kunjung mati, meski perut melilit sedemikian perih.

Si pencuri berteriak di tengah kota, berorasi, betapa pemimpin kota itu tidak memperlakukan hal yang layak kepada penduduk. Sebaliknya, orang-orang pinggiran yang telah menelan pil keabadian terabaikan dengan rasa sakit yang luar biasa.

Para petugas mendatangi rumah si pemulung. Para pemulung itu tidak memiliki identitas resmi sebagai penduduk kota, dan dinyatakan sebagai penduduk gelap. Pemerintah tak ambil pusing keadaan itu. Mereka tetap diabaikan karena tidak memiliki kartu tanda penduduk yang sah.

Para lelaki dengan puas  meniduri perempuan mana pun yang mereka mau. Begitu pun para perempuan yang bosan dengan laki-laki mereka yang begitu-begitu saja. Diam-diam mereka pergi ke pinggir lembah, ke tumpukan sampah, demi mencari pemuda berbadan dekil hanya untuk bercinta. Betapa para remaja tanggung itu kegirangan memdapatkan tubuh semolek pekerja kantoran. Mereka bersorak sorai. Namun, seandainya mereka tahu, tubuh yang mereka nikmati adalah tubuh nenek-nenek yang sudah renta, mungkin mereka tidak pernah mau menidurinya.

Perselingkuhan dilakukan diam-diam dalam senyap. Mereka saling menyembunyikan. Dan anak-anak, bahkan cucu-cucu yang sudah dewasa dan tampak seusia dengan kakek mereka, dibiarkan mencari kehidupan sendiri karena rumah sudah sedemikian sempit.

Di kota yang penduduknya menjadi abadi, semua membosankan. Bahkan, bocah-bocah remaja di pinggir lembah juga memiliki keinginan mati. Setiap orang telah mencicipi berbagai kenikmatan hingga pada suatu titik merasa jenuh.

Kemudian perkara tentang kematian mulai dibicarakan. Seorang peneliti baru mencoba membeberkan cara terbaik untuk mati. Namun, betapapun ia telah melakukan berbagai percobaan, hasilnya berujung pada menderitanya si korban, bahkan menjadikan korban percobaannya idiot dan menyedihkan. Perbincangan tentang kematian pun menjadi topik hangat di seluruh kota.

Di pagi buta itu seorang lelaki tua terseok-seok di jalan kota. Kota masih sunyi. Ia berteriak lirih, meminta air. Ia berjalan sempoyongan kemudian ambruk. Tubuhnya kurus kering dan ceking. Sekujur tubuhnya dipenuhi luka borok dan nanah. Bau anyir menguar. Saat ia tak mampu berjalan lagi, tiba-tiba ia mati. Tak bernyawa lagi.

Hingga satu orang melihatnya, menggerak-gerakkan badannya, kemudian tahu bahwa lelaki itu sudah mati. Betapa diam-diam ia pun sebenarnya merasa iri, bagaimana lelaki itu bisa mati. Meski banyak luka menyedihkan di sekujur tubuhnya ia tetap damai dalam kematiannya.(*)

~Ciputat, 22 September 2021.


Penulis:

Rumadi, lahir di Pati 1990. Menulis cerpen. Saat ini aktif di FLP Ciputat dan komunitas Prosatujuh. Cerpennya pernah dimuat Harian Republika, Harian Mercusuar, basabasi.co, kompas.id, cendananews.com dan detik.com. Penulis bisa dihubungi lewat Whatsapp 085711734787 atau instagram @pendekar_hati.

1 thought on “Lelaki Tua yang Mati di Kota Abadi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *