Puisi
Puisi Fatah Anshori

Puisi Fatah Anshori

Krematorium: Pemakaman dalam Deras Hujan

Usung-usungan mayat dalam riuh
angka dan aksara,
bahasa mengemasi dirinya
dalam bentuk liyan,
foto buram seorang imigran
asing dalam beranda
seorang ibu rumah tangga
yang masih remaja

Mulut-mulutnya menganga
seekor serangga melahirkan
telur-telurnya dalam
samar dan igauan
yang diarsipkan pada
tablet-tablet batu
masa lalu

Menhir berjalan di jalan raya kota
kecamatan sebagai karnaval
peringatan hari ulang tahun
seorang anak kecil,

Di baliknya tak ada ingatan
yang mengusung air mata
jadi rintik-rintik doa
hanya kerlip suara yang
tampak dari dermaga

Menenggelamkan negara dalam ritus
suci dalam diri, mereka berlari dalam
ruang yang terkunci. hanya malih rupa
wajah-wajah palsu dalam baliho
kecamatan, dan
banjir yang tak berkesudahan
membuat semuanya mengambang
dan tenggelam: tubuh dan kepala orang
-orang masih berkeliaran, sementara
roda, sepatu sandal dan kaki
berbondong-bondong menyelam
meninggalkan diri dan kenangan kelam

Upacara pemakaman dalam
deras hujan, diperagakan
di tengah-tengah genangan
di tengah-tengah kecemasan
di tengah-tengah kehilangan
serupa lupa, menyamarkan
apa saja, pohon pisang di
tengah jalan, mengisi lubang
-lubang aib kota serupa
mulut buaya serupa mulut
tetangga serupa ketakutan
di hari tua:

menganga, dengan bara
-bara dari neraka

Menyala, mayat-mayat pucat
dikubur dalam genangan
jerit sakit arwah-arwah yang
terjepit di antara batu dan
epitaf bengawanjero
segalanya malih
separo, yang berdiam diri
dan tak kunjung berlari

Kami juga tak menagih janji
dari baliho-baliho yang pernah
berdiri sepanjang pagi hingga
pagi lagi, mereka tak lagi di sini

: telah tenggelam dalam
birahi hidup seribu tahun lagi,
dan segalanya tak kunjung
kembali menemui,

Lamongan, 2022

Cenotaph: Perayaan-perayaan Kelam

Kuburan kosong dalam
buram lorong masa kini
tak lagi menepi
di balik gelap perdu
penuh hantu-hantu
dan siul di balik pintu
menulis ulang:

lebam yang terus
membiru di kening
setiap tagihan;
iuran lingkungan;
arisan ikan; istri
simpanan; belanja
harian; uang jajan
adik perempuan;
biaya perawatan
dan pengobatan
orang tua; tabungan
pernikahan:
melahirkan anak-
anak kecemasan
yang berlarian
dalam siaran iklan
dan setiap sudut
menjadi cermin
penuh pertanyaan
tentang benar dan
tidak benar yang
beterbangan serupa
beburung hitam
di langit-langit
belakang rumah
menjelang sayup-
sayup iqomah dari
masjid sebelah yang
penuh desah pasrah
tubuh-tubuh kusut
susut, menyusut
menyusun nyala uban
di kepala dengan
bebayang: neraka atau

sorga …
dosa atau
pahala …

Jelang senja jauh di
sana, sebuah desa
menelan puluhan
manusia. Mengunyah
mereka dengan
taring-taring angan
yang kian hari kian
remang. Tapi segala
tilas tak lagi berbekas
meski kau cari di
tiap bonggol jati,
atau ingatan mawas
diri: telah lama berlari

mengungsi ke
negeri-negeri
jauh yang tak
tersentuh bibir
angan paling tajam

Meski hukum rajam
dilegalkan negara dan
agama. Kita sempat
saling sapa meski
tak ada cerita dalam
prasasti atau kubur
batu, tanpa epitaf, kata
maaf, atau angan khilaf

Tapi pada cenotaph itu
kita disekap dalam
perayaan-perayaan kelam

Lamongan, 2022

Paralelogram: Muara Paling Muara

Kita hanya biduk yang
larung dari ujung hilir
tapi tak menemu
muara: suara seruan
pulang

Tak kunjung
mengambang pada
remang-remang
malam, kita menaksir
sudut-sudut yang
susut dan lingsir
menyaru takdir dalam
derap takbir mereka
yang berjalan ke
pinggir bukan sebab
tersingkir atau diusir

Segala yang mahir
butuh diasah sejak
lahir, serupa dzikir
batu-batu, reranting
pohon, dan segala
yang kita anggap
tak berkata dan
bahasa, mungkin
lebih arif dalam
sudut-sudut sempit
yang jarang kita intip

Derit dan desahmu
yang kecewa pada
kita: dalam dzikir
kau larungkan
doa ke muara
paling muara

Entah angkasa
atau dada.

Lamongan, 2022

Magasin: Sebelah Netra

Di ujung magasin kau tilik
segala yang ingin kau sudahi
dalam satu titik
yang kau tandai
dalam jeda usia

kau bidik mereka
di sebalik belukar
dan perdu

Juga pernah di antara nyiur
dulu, sebelah netra sempat
terluka,

Dari tangisnya yang miskin
suara, mengalir mayat-mayat
anaknya,

Di malam-malamnya yang
sendiri segalanya menderas
dalam mimpi: demit-demit
yang sengit
menyaru
palu
arit

Lalu di antara baris-baris
jerit kau tak sadar ada yang
telah pamit

Dari kolong-kolong bayang
dan meja harusnya mereka
tetap terjaga

Tak ada tubuh-tubuh yang
lepas dari kepala, tak ada
kata-kata yang pulang ke
sorga atau neraka, hari tua
serupa gugur kamboja tak
berdaya di dekat nisan
orang-orang lama
tanpa muasal
tanpa nama

Hanya rintik-rintik nestapa
yang kerap kita eja
amis aromanya

Lamongan, 2022

Kayisi: Menanti Datangnya Pedati

Kita sama-sama menanti
datangnya pedati di
ujung hari di utara kota ini

Bersama rincing roda kita
tahu cerita-cerita lama
serupa wangi angsoka
di pekuburan tua

Tak terasa, rintih
tumpang tindih jadi
rentetan pedih di antara,

Alpa yang kita sengaja
sudah seharusnya kita
memecah rumah jadi desah
masing-masing, kerap kita asah:

meski asing kian pesing,
runcing dan lengking

Kita menakar hari serupa
menanti pedati, yang ditarik
dua ekor sapi milik petani
di antara tanduran padi kita
akan segera pergi
melupakan janji-janji yang
kerap mereka caci-maki

Mereka bilang kita akan mati
nyatanya kita hanya
kembali

menapaki jalan-jalan
sunyi dalam diri
dengan pedati
hingga nyawiji

Lamongan, 2022

Notifikasi: Bau Perigi yang Terbakar

Di antara riuh notifikasi tak kau temukan bau perigi, hanya lalu lalang informasi serupa jalan raya kota, orang-orang hanya cahaya dalam bingkai fotografi yang dipajang dalam gedung-gedung seni. Kau masih mencari jejak-jejak nabi dalam ingatan pagi usai mengaji. Kecipak kaki yang tenggelam pada genangan jalan tak lagi mengambang. Juga jeda yang memanjang pada persimpangan itu, telah kau tanggalkan dalam beranda puluhan media. Ada yang terbakar: mulut-mulut yang berkelakar serupa ribuan cakar tajam; jutaan kepala bar-bar; rencana-rencana makar gulung tikar; ribuan nyawa ngembara dalam satu kuburan besar yang tak disekar; ribuan jemari bertengkar dengan kata-kata sungsang yang tak berakar; dari rahim konvensi lahir lahar bahasa yang mengalir hingga ujung pesisir. Tapi kau masih fakir: nama-nama nasib yang aib sejak sebermula. Tak akan bisa kau usir meski datang badai pasir, dengan desir segala yang afkir, tak kunjung mangkir. Dan kau tahu, kita hanya musafir terbata-bata mengeja tanda dalam gurun waktu: jejak-jejak kaki hanya sepintas lalu tak teraba oleh mata.

Lamongan, 2022


Penulis:

Fatah Anshori, lahir di Lamongan, 19 Agustus. Bukunya yang telah terbit Ilalang di Kemarau Panjang (2015), Hujan yang Hendak Menyalakan Api (2018), Melalui Mimpi, Ia Mencari Cinta yang Niscaya (Frase Pinggir, 2021). Cerpen dan puisinya telah dimuat beberapa media online, Majalah Suluk (DK Jatim), dan pernah terpilih sebagai Penulis Cerpen Unggulan Litera.co (2018). Bergiat di Guneman Sastra, Songgolangit Creative Space dan KOSTELA.

1 thought on “Puisi Fatah Anshori

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *